Kamis, 25 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Perwira Samurai Gugur di Dinambunan


 Konvoi Jepang sekali lagi mengadakan kosolidasi pasukan. Mereka harus mengurusi serdadu-serdadu mereka yang tewas dan luka-luka. Serdadu marinir yang tewas diangkut dengan truk menuju Kema untuk dilakukan pembakaran mayat (dikremasi). Sedangkan para opsir marinir Jepang yang gugur, dikremasi di suatu lokasi sekitar tujuh puluh meter di belakang veldbak pada arah gunung Klabat. Di kemudian hari di masa pendudukan Jepang, pemerintah membangun sebuah tugu peringatan dengan jalur jalan masuknya selebar empat meter dan dilapisi batu-batu kerikil. Selanjutnya, ranjau-ranjau potongan besi anti tank dibersihkan, agar jalan dapat dilewati konvoi truk. Kota Airmadidi berhasil direbut!

 Agi P. Supit menyeberangi jembatan Dinambunan yang ketika itu sudah hancur sebagian karena dirusak oleh satuan Vernielingskorps. Tidak seberapa lama kemudian, kedelapan anak buahnya melihatAgi dari atas bukit Dinambunan, lokasi tempat persembunyian dan kubu pertahanan mereka. SersanSigar segera mengajaknya naik ke atas bukit. Pasukan marinir Jepang setelah menyelesaikan makan siang mereka di komplek bekas Markas Pasukan Pertahanan sektor Tonsea, mulai bergerak maju menuju arah Tondano. Kota Tondano merupakan jantung daerah Minahasa yang harus direbut dari tiga jurusan, masing-masing dari front Barat Minahasa: Manado, front Timur Minahasa: Kema, dan front Selatan Minahasa: Kalawiran.
 Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 14.00 ketika itu. Suara gemerincing aneh mulai membayangi jembatan Dinambunan. Agi P. Supit memperingatkan kepada satuan brigade pertahanan untuk “opgepast” (waspada), karena bunyi itu tiada lain adalah bunyi suara tank! Dalam seketika dua pucuk senjata semi-otomatis KM dan tujuh pucuk senapan karaben yang berada di atas bukit, diarahkan ke dua buah jembatan Dinambunan yang saling bergandengan, yang sebuah adalah jembatan konstruksi beton sepanjang lima belas meter dan yang sebuah lagi jembatan bailey konstruksi kayu sepanjang dua puluh meter. Pada kedua jembatan yang bergandengan itu telah dipasangkan bahan-bahan dinamit di bagian atas maupun bagian bawah jembatan. Sumbu-sumbu dinamit itu masih tampak bergelantungan, dan apabila salah satu sumbu itu macet, maka sumbu lainnya dapat dipasang.
 Dari bukit itu terlihat sebuah kendaraan touring car, yaitu yang kaca depannya dapat dilipat, datang dari jurusan Tondano dan berhenti sebelum menyeberangi kedua jembatan itu. Dari dalam kendaraan terlihat turun seorang pria yang menjabat sebagai kepala unit Vernielingskorps sektor Tonsea. Petugas yang bernama Adam ini adalah bawahan dari komandan Vernielingskorps, Mohede. Hampir bersamaan dengan itu muncul pula dari hutan kecil dua orang pria asal Airmadidi yang langsung melapor kepada Adam. Pada bagian lengan mereka terdapat lambang satuan berwarna dasar oranye (jingga) dan bertuliskan huruf-huruf “VK”. Segera terlihat Adam bergegas turun ke bagian bawah jembatan. Karena ia ternyata tidak membawa korek api, terdengar ia berteriak ke atas, ”Mana tu macis!” (Mana itu korek api!) sambil mengulurkan tangannya kepada kawannya di atas jembatan.
 Sementara itu suara tank berantai baja itu sudah semakin berisik karena kian mendekati jembatan. Tetapi sialnya, kedua orang pembantu Adam itu juga tidak membawa korek api, karena lalai! Adammemerintahkan kedua pembantunya itu agar segera meninggalkan jembatan. Dengan segera ia pun kembali ke kendaraannya, menghidupkan mesinnya lalu tancap gas ke jurusan Tondano. Kira-kira lima puluh meter di jalan tanjakan sesudah tikungan bukit Dinambunan, Agi P. Supit menghadang kendaraan touring itu, sambil berkata, “Parkir dulu kendaraan ini di bawah pohon itu, karena hendak saya pakai!” Wakil komandan kompi itu kembali lagi ke puncak bukit untuk menggabungkan diri dengan sersan Sigar, sersan David Sumakud, kopral Mandagi, kopral Sigarlaki asal kampung Sawangan Tonsea, dan kawan-kawan lainnya.
 Kedelapan anggota pasukan Reservekorps itu sedang bersiap-siaga dan mereka diingatkan untuk menghemat peluru karena persediaan sangat terbatas. Rata-rata tiap serdadu itu hanya memiliki persediaan seratus butir peluru karaben. Jika menembak hendaknya jangan menembak serentak, tetapi satu demi satu, agar dikira tembakan dari sniper (penembak runduk). Memang para anggota pasukan Reservekorps KNIL itu telah cukup dikenal dengan julukan sebagai “scherpschutter” (penembak jitu). Jika menembak serentak, musuh akan membalas dengan tembakan memberondong disertai tembakan mortir maupun granat meriam-meriam tank. Begitulah kira-kira instruksi yang selalu diingatkan kepada mereka.
 Tiba-tiba, muncul dalam pandangan lepas mereka iring-iringan konvoi pasukan penyerbu Jepang, yang terdiri dari tiga buah tank besar di depan, diikuti tiga buah tank kecil, lalu beberapa puluh truk yang penuh berisi pasukan yang duduk dengan sangkur terpasang pada ujung laras senjata. Lebih kurang lima meter dari jembatan beton, tank-tank itu pun berhenti. Tiga anggota pasukan Jepang meloncat keluar, lalu berlari ke sisi agak serong kanan sekitar sepuluh meter dari tank, lalu bersandar pada tebing bukit di tepi jalan. Ketiga serdadu itu terlihat meraba-raba pada bagian depan perut mereka, tangan ditarik ke atas, lalu terlihat tiga batang antena radio. Agi Supit mengatakan kepada SersanSigar, bahwa mereka itu petugas markonis atau penghubung.
 Kemudian, dua orang berseragam kemeja putih bercelana abu-abu memakai “topi Bosi”, meloncat turun untuk memeriksa kondisi jembatan. Agi Supit kembali berbisik, mereka itulah komandan dan opsir karena menyandang pedang samurai, dan komando pertempuran berada dalam tangan mereka. Perwira tampan dan gagah itu berteriak ke arah belakang, lalu terlihat seorang serdadu Jepang berlari-lari sambil membawa sebuah papan pengukur jembatan, yang maksudnya untuk dicocokkan dengan besarnya tank. Di saat itulah peluru pertama dilepaskan, mendesing dari arah moncong senapan karaben pasukan pertahanan. Peluru pertama itu tepat mengenai batok kepala komandan Jepang itu. Ia pun roboh tersungkur seketika di atas tanah tempat ia berpijak saat itu. Rekan perwira yang juga memakai samurai dan sedang membungkukkan badannya untuk menolong rekannya, juga terkena tembakan peluru yang ke dua pada lambung kiri belakang tubuhnya. Ia pun ikut tumbang, dan suasana pun menjadi kalang kabut.
 Perwira-perwira bersamurai pun bermunculan. Siasat menembak seperti “sniper” itu ternyata berhasil. Para opsir Jepang bersamurai itu mulai menjadi sasaran empuk pula, ada di antara mereka yang mulai jatuh terjerembab, seperti opsir Ikemuda. Sedangkan para anak buah mereka yang seperti kehilangan komando, tidak mampu berbuat banyak. Ada juga perwira yang berlindung di sisi tank bagian belakang. Tetapi, ketiga serdadu bagian penghubung tadi itu, malahan telah menghilang. Kemungkinan besar mereka sedang berusaha mencari bantuan.
 Sementara tembak-menembak menjadi semakin ramai selama tiga puluh menit, sekonyong-konyong muncul lah tiga buah pesawat pemburu Jepang berputar-putar di atas bukit-bukit dan lembah-lembah. Kedatangan pesawat-pesawat udara Jepang itu langsung membuyarkan pikiran dan konsentrasi kesembilan anggota pasukan pertahanan itu. Tetapi ketiga tank besar yang ada di depan itu ternyata masih menjadi perintang bagi konvoi untuk bergerak maju, karena lebar jembatan Dinambunan itu tidak sepadan dengan besarnya tank.
 Dengan hati yang remuk redam, mereka terpaksa memilih untuk mundur karena telah kehabisan peluru. Agi P. Supit bergerak mundur ke jurusan Tondano bersama Adam dengan menaiki kendaraan touring itu, sedangkan sersan Sigar, sersan Sumakud beserta rekan-rekan serdaduReservekorps lainnya itu, mencari jalan yang menuju ke Kakaskasen, Tomohon. Mereka menyusuri kali Tondano yang berbatu-batu dan menghilang ditelan rimbunan pohon yang tumbuh di tepi sungai itu.
 Sehari kemudian, tanggal 12 Januari 1942, di kala fajar menyingsing di ufuk timur buana Minahasa, pasukan pendarat Jepang dari front Kema itu memasuki jantung kota Tondano melewati jalur utara Tonsea Lama, kampung Jawa, Luan, Ranowangko I, Wengkol, Kendis, Katinggolan, Liningaan, dan akhirnya tiba di Walterplein Tondano, depan gedung kantor Hukum Besar distrik Toulour, gedung Loji. Dengan langkah tegap penuh semangat kemenangan, dihiasi wajah lesu tetapi keras, mereka berbaris dalam formasi tempur menutup sisi kiri-kanan jalan raya, diiringi kendaraan-kendaraan truk perbekalan yang berjajar di belakang eskadron tank-tank.
 Jepang berhasil menancapkan bendera Hinomaru atau “The Rising Sun” (Matahari Terbit) di tengah-tengah tanah lapang Tondano, Walterplein. Sejam kemudian pada sekitar pukul 08.00, iring-iringan konvoi pasukan pendarat Dai Nippon dari front Barat Manado-Tomohon, tiba pula di pusat kota Tondano, lambang “kota perjuangan” Minawanua Minahasa.
 Catatan: Minawanua adalah tempat bermukimnya suku Toundano atau Toulour di hulu sungai Tondano sebelum kedatangan armada Inggris di bawah pimpinan Thomas Nelson di daerah Minahasa (1811). Pada masa pendudukan Inggris, “Tou Minawanua” dimukimkan kembali di sebelah-menyebelah sungai Tondano dan dikenal sebagai orang Tondano sekarang.

Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNi AU

1 komentar: