Konvoi Jepang sekali lagi mengadakan kosolidasi
pasukan. Mereka harus mengurusi serdadu-serdadu mereka yang tewas dan
luka-luka. Serdadu marinir yang tewas diangkut dengan truk menuju Kema untuk
dilakukan pembakaran mayat (dikremasi). Sedangkan para opsir marinir Jepang
yang gugur, dikremasi di suatu lokasi sekitar tujuh puluh meter di belakang veldbak pada
arah gunung Klabat. Di kemudian hari di masa pendudukan Jepang, pemerintah membangun
sebuah tugu peringatan dengan jalur jalan masuknya selebar empat meter dan
dilapisi batu-batu kerikil. Selanjutnya, ranjau-ranjau potongan besi anti tank
dibersihkan, agar jalan dapat dilewati konvoi truk. Kota Airmadidi berhasil
direbut!
Agi P. Supit menyeberangi jembatan Dinambunan
yang ketika itu sudah hancur sebagian karena dirusak oleh satuan Vernielingskorps.
Tidak seberapa lama kemudian, kedelapan anak buahnya melihatAgi dari atas
bukit Dinambunan, lokasi tempat persembunyian dan kubu pertahanan mereka.
SersanSigar segera mengajaknya naik ke atas bukit. Pasukan marinir Jepang
setelah menyelesaikan makan siang mereka di komplek bekas Markas Pasukan
Pertahanan sektor Tonsea, mulai bergerak maju menuju arah Tondano. Kota Tondano
merupakan jantung daerah Minahasa yang harus direbut dari tiga jurusan,
masing-masing dari front Barat Minahasa: Manado, front Timur Minahasa: Kema,
dan front Selatan Minahasa: Kalawiran.
Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 14.00 ketika itu.
Suara gemerincing aneh mulai membayangi jembatan Dinambunan. Agi P. Supit memperingatkan
kepada satuan brigade pertahanan untuk “opgepast” (waspada), karena bunyi itu
tiada lain adalah bunyi suara tank! Dalam seketika dua pucuk senjata
semi-otomatis KM dan tujuh pucuk senapan karaben yang berada di atas bukit,
diarahkan ke dua buah jembatan Dinambunan yang saling bergandengan, yang sebuah
adalah jembatan konstruksi beton sepanjang lima belas meter dan yang sebuah
lagi jembatan bailey konstruksi kayu sepanjang dua puluh meter. Pada kedua
jembatan yang bergandengan itu telah dipasangkan bahan-bahan dinamit di bagian
atas maupun bagian bawah jembatan. Sumbu-sumbu dinamit itu masih tampak
bergelantungan, dan apabila salah satu sumbu itu macet, maka sumbu lainnya
dapat dipasang.
Dari bukit itu terlihat sebuah kendaraan touring
car, yaitu yang kaca depannya dapat dilipat, datang dari jurusan Tondano dan
berhenti sebelum menyeberangi kedua jembatan itu. Dari dalam kendaraan terlihat
turun seorang pria yang menjabat sebagai kepala unit Vernielingskorps sektor
Tonsea. Petugas yang bernama Adam ini adalah bawahan dari komandan Vernielingskorps, Mohede.
Hampir bersamaan dengan itu muncul pula dari hutan kecil dua orang pria asal
Airmadidi yang langsung melapor kepada Adam. Pada bagian lengan mereka
terdapat lambang satuan berwarna dasar oranye (jingga) dan bertuliskan
huruf-huruf “VK”. Segera terlihat Adam bergegas turun ke bagian bawah
jembatan. Karena ia ternyata tidak membawa korek api, terdengar ia berteriak ke
atas, ”Mana tu macis!” (Mana itu korek api!) sambil mengulurkan tangannya
kepada kawannya di atas jembatan.
Sementara itu suara tank berantai baja itu sudah
semakin berisik karena kian mendekati jembatan. Tetapi sialnya, kedua orang
pembantu Adam itu juga tidak membawa korek api, karena lalai! Adammemerintahkan
kedua pembantunya itu agar segera meninggalkan jembatan. Dengan segera ia pun
kembali ke kendaraannya, menghidupkan mesinnya lalu tancap gas ke jurusan
Tondano. Kira-kira lima puluh meter di jalan tanjakan sesudah tikungan bukit
Dinambunan, Agi P. Supit menghadang kendaraan touring itu,
sambil berkata, “Parkir dulu kendaraan ini di bawah pohon itu, karena hendak
saya pakai!” Wakil komandan kompi itu kembali lagi ke puncak bukit untuk
menggabungkan diri dengan sersan Sigar, sersan David Sumakud, kopral Mandagi,
kopral Sigarlaki asal kampung Sawangan Tonsea, dan kawan-kawan
lainnya.
Kedelapan anggota pasukan Reservekorps itu
sedang bersiap-siaga dan mereka diingatkan untuk menghemat peluru karena
persediaan sangat terbatas. Rata-rata tiap serdadu itu hanya memiliki
persediaan seratus butir peluru karaben. Jika menembak hendaknya jangan
menembak serentak, tetapi satu demi satu, agar dikira tembakan dari sniper (penembak
runduk). Memang para anggota pasukan Reservekorps KNIL itu telah
cukup dikenal dengan julukan sebagai “scherpschutter” (penembak jitu). Jika
menembak serentak, musuh akan membalas dengan tembakan memberondong disertai
tembakan mortir maupun granat meriam-meriam tank. Begitulah kira-kira instruksi
yang selalu diingatkan kepada mereka.
Tiba-tiba, muncul dalam pandangan lepas mereka
iring-iringan konvoi pasukan penyerbu Jepang, yang terdiri dari tiga buah tank
besar di depan, diikuti tiga buah tank kecil, lalu beberapa puluh truk yang
penuh berisi pasukan yang duduk dengan sangkur terpasang pada ujung laras
senjata. Lebih kurang lima meter dari jembatan beton, tank-tank itu pun
berhenti. Tiga anggota pasukan Jepang meloncat keluar, lalu berlari ke sisi
agak serong kanan sekitar sepuluh meter dari tank, lalu bersandar pada tebing
bukit di tepi jalan. Ketiga serdadu itu terlihat meraba-raba pada bagian depan
perut mereka, tangan ditarik ke atas, lalu terlihat tiga batang antena radio. Agi
Supit mengatakan kepada SersanSigar, bahwa mereka itu petugas markonis
atau penghubung.
Kemudian, dua orang berseragam kemeja putih bercelana
abu-abu memakai “topi Bosi”, meloncat turun untuk memeriksa kondisi jembatan. Agi
Supit kembali berbisik, mereka itulah komandan dan opsir karena menyandang
pedang samurai, dan komando pertempuran berada dalam tangan mereka. Perwira
tampan dan gagah itu berteriak ke arah belakang, lalu terlihat seorang serdadu
Jepang berlari-lari sambil membawa sebuah papan pengukur jembatan, yang
maksudnya untuk dicocokkan dengan besarnya tank. Di saat itulah peluru pertama
dilepaskan, mendesing dari arah moncong senapan karaben pasukan pertahanan.
Peluru pertama itu tepat mengenai batok kepala komandan Jepang itu. Ia pun
roboh tersungkur seketika di atas tanah tempat ia berpijak saat itu. Rekan
perwira yang juga memakai samurai dan sedang membungkukkan badannya untuk
menolong rekannya, juga terkena tembakan peluru yang ke dua pada lambung kiri
belakang tubuhnya. Ia pun ikut tumbang, dan suasana pun menjadi kalang kabut.
Perwira-perwira bersamurai pun bermunculan. Siasat
menembak seperti “sniper” itu ternyata berhasil. Para opsir Jepang bersamurai
itu mulai menjadi sasaran empuk pula, ada di antara mereka yang mulai jatuh
terjerembab, seperti opsir Ikemuda. Sedangkan para anak buah mereka yang
seperti kehilangan komando, tidak mampu berbuat banyak. Ada juga perwira yang
berlindung di sisi tank bagian belakang. Tetapi, ketiga serdadu bagian
penghubung tadi itu, malahan telah menghilang. Kemungkinan besar mereka sedang
berusaha mencari bantuan.
Sementara tembak-menembak menjadi semakin ramai selama
tiga puluh menit, sekonyong-konyong muncul lah tiga buah pesawat pemburu Jepang
berputar-putar di atas bukit-bukit dan lembah-lembah. Kedatangan
pesawat-pesawat udara Jepang itu langsung membuyarkan pikiran dan konsentrasi
kesembilan anggota pasukan pertahanan itu. Tetapi ketiga tank besar yang ada di
depan itu ternyata masih menjadi perintang bagi konvoi untuk bergerak maju,
karena lebar jembatan Dinambunan itu tidak sepadan dengan besarnya tank.
Dengan hati yang remuk redam, mereka terpaksa memilih
untuk mundur karena telah kehabisan peluru. Agi P. Supit bergerak
mundur ke jurusan Tondano bersama Adam dengan menaiki kendaraan touring itu,
sedangkan sersan Sigar, sersan Sumakud beserta rekan-rekan
serdaduReservekorps lainnya itu, mencari jalan yang menuju ke Kakaskasen,
Tomohon. Mereka menyusuri kali Tondano yang berbatu-batu dan menghilang ditelan
rimbunan pohon yang tumbuh di tepi sungai itu.
Sehari kemudian, tanggal 12 Januari 1942, di kala
fajar menyingsing di ufuk timur buana Minahasa, pasukan pendarat Jepang dari
front Kema itu memasuki jantung kota Tondano melewati jalur utara Tonsea Lama,
kampung Jawa, Luan, Ranowangko I, Wengkol, Kendis, Katinggolan, Liningaan, dan
akhirnya tiba di Walterplein Tondano, depan gedung kantor Hukum Besar
distrik Toulour, gedung Loji. Dengan langkah tegap penuh semangat kemenangan,
dihiasi wajah lesu tetapi keras, mereka berbaris dalam formasi tempur menutup
sisi kiri-kanan jalan raya, diiringi kendaraan-kendaraan truk perbekalan yang
berjajar di belakang eskadron tank-tank.
Jepang berhasil menancapkan bendera Hinomaru atau
“The Rising Sun” (Matahari Terbit) di tengah-tengah tanah lapang Tondano, Walterplein.
Sejam kemudian pada sekitar pukul 08.00, iring-iringan konvoi pasukan pendarat
Dai Nippon dari front Barat Manado-Tomohon, tiba pula di pusat kota Tondano,
lambang “kota perjuangan” Minawanua Minahasa.
Catatan: Minawanua adalah tempat bermukimnya
suku Toundano atau Toulour di hulu sungai Tondano sebelum kedatangan armada
Inggris di bawah pimpinan Thomas Nelson di daerah Minahasa (1811).
Pada masa pendudukan Inggris, “Tou Minawanua” dimukimkan kembali di
sebelah-menyebelah sungai Tondano dan dikenal sebagai orang Tondano sekarang.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan
disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNi AU
efek api malah bikin web ga enak dibaca
BalasHapus