Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Bantuan Tembakan Udara Pesawat "Zero"


Beberapa serdadu pasukan pertahanan KNIL juga tidak luput dimakan peluru serta pecahan granat mortir pasukan Jepang. Mereka yang jatuh korban disingkirkan dari arena pertempuran dengan diangkut memakai kendaraan truk yang tersedia, sedangkan rekan-rekan mereka tetap mempertahankan jalan raya Km-17/Km-18 Tinoor. 
Selembar kain berwarna kuning yang panjangnya berkisar antara tujuh sampai sembilan meter, sesaat kemudian terlihat dibentangkan di atas tanah oleh pasukan marinir Jepang pada ujung jalan bagian utara, yang memberikan isyarat bahwa mereka meminta bantuan tembakan dari udara.
Karena pihak pasukan pertahanan memahami juga akan makna isyarat itu, mereka pun semakin lebih gencar menggempur serdadu-serdadu marinir Jepang dengan tembakan-tembakan yang bertubi-tubi.
 Akibatnya, senjata berat watermantel andalan mereka tidak lagi terkendalikan dengan baik, karena senjata itu tidak lagi diberikan kesempatan untuk didinginkan larasnya, yang kian meninggi suhunya oleh tembakan-tembakan secara non-stop oleh si pemakai. Cadangan laras yang terakhir tidak dapat dihindari lagi untuk dipasang. Pada akhirnya, air di dalam mantel baja yang membungkus laras senjata berat itu pun mendidih, dan akibatnya laras dari baja itu pun berubah menjadi merah membara lalu melengkung. Spandri Les Warouw, juru tembak senjata Vickers watermantel dari Seksi III itu menjadi kebingungan, karena laras cadangan maupun air pendingin telah habis terpakai. Ia pun menjadi kehilangan akal sama sekali.
 Dalam keadaan tidak berdaya bagi keempat senjata berat watermantel yang diandalkan itu, seorang serdadu satuan pasukan Kortverband, kopral J.D. Adam, dengan ditemani oleh seorang serdadu rekannya yang sama-sama baru saja turun dari atas kendaraan truk, berlari-lari ingin menggabungkan diri dengan rekan-rekan mereka yang sedang beradu nyawa di cot kubu pertahanan Km-17/Km-18 itu. Kedua serdadu itu merasa kesal karena kedatangan mereka sendiri terlambat, yaitu justru di saat-saat pasukan pertahanan sedang bersiap-siap untuk bergerak mundur. Kedua orang anggota pasukanKortverband itu baru saja tiba dari kota Langowan, dan mereka sebenarnya menerima tugas dari kapten J.D.T.W. Abbink, komandan Kompi III Kortverband, untuk mengantarkan sepucuk surat ke Markas Komando Pasukan Pertahanan KNIL di Kakaskasen. Isi surat, tidak diketahui!
 Di tengah-tengah desingan peluru-peluru pasukan marinir Jepang serta dentuman dan ledakan pecahan-pecahan granat mortir yang berserakan di sani sini, kopral J.D. Adam bertemu dengan sahabatnya spandri Kortverband Jan Suwawa, juru tembak senjata berat watermantel di Sektor I. Kopral J.D. Adam lalu menanyakan situasi yang sedang berlaku di front saat itu. Namun jawaban yang ia peroleh dari spandri Jan Suwawa adalah bahwa komandan telah memerintahkan untuk segera mundur, karena pihak musuh telah meminta bantuan pesawat udara. Spandri Jan Suwawamenambahkan, bahwa senjata watermantel yang ia hanteer (gunakan) itu, sudah tidak berdaya lagi. Laras cadangan dan air pendingin sudah habis, bahkan sampai sudah dikencingi oleh para serdadu pelayan amunisi
namun tidak berhasil, dan hanya tinggal uap saja yang mengepul. Akhirnya laras itu berubah menjadi merah seperti bara api, melengkung menjadi bengkok, tidak bisa digunakan lagi, lalu ditinggalkan begitu saja di tempat. Demikian kisah Jan Suwawa, juru tembak watermantel yang malang itu.
 Kekaguman justru mencuat keluar di saat-saat pasukan pertahanan itu sedang bersiap-siap melangkah untuk melakukan gerakan mundur. Pemuda spandri Wim Kumontoy dan Jan Kaloh, serdadu-serdadu bujangan pasukan Kompi VII Beroepsmilitair, membuat kejutan yang luar biasa menakjubkan, terutama bagi orang awam. Kedua serdadu itu, masing-masing putra Ranowangko II Tondano dan putra Remboken, segera turun dari bukit kubu pertahanan, lalu secara mencengangkan membuang senjata semi otomatis KM dari tangannya masing-masing karena memang kehabisan peluru. Mereka berdua secara nekad langsung menyerbu dengan cepat ke arah garis pertahanan musuh, sambil mencabut kelewang marsose yang disandangnya masing-masing, lalu memekikkan semboyan “I Yayat U Santi” yang langsung disambut dengan pekikan “kumukuk” oleh rekan-rekannya yang lain.
 Para serdadu anggota pasukan pertahanan putra-putra Minahasa itu, seluruhnya biasa mengikatkan pada leher dan bagian kepalanya sehelai kain merah, sebagai perlambang budaya Minahasa. Warna merah memang merupakan satu-satunya warna tunggal yang telah menyatu dan mendarah daging di dalam kehidupan orang-orang Minahasa. Warna itu melambangkan suatu tekad, semangat juang dan keberanian untuk mempertahankan kehormatan bangsa dan tanah leluhur Toar-Lumimuut tempat mereka berpijak.
 Kebolehan kedua serdadu tadi sengaja diperlihatkan, bahkan seolah-olah dipamerkan. Jan Kalohdengan kelewangnya itu, mulai membabat tubuh-tubuh pasukan tempur korps marinir Jepang yang sedang terperanjat kebingungan. Justru di saat-saat itu serdadu-serdadu Jepang itu dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana kedua serdadu itu beraksi. Meskipun telah terkena tembakan peluru yang bertubi-tubi dari pasukan marinir Jepang, tetapi ternyata kedua-duanya itu seolah-olah tidak mempan peluru dan tidak bisa roboh ataupun tergeletak, apa lagi tewas. Boleh dipercaya atau tidak, kedua serdadu KNIL itu memang terkenal “kebal peluru” di zamannya itu! Namun,
kedua serdadu yang seolah-olah memiliki “kemampuan supernatural” itu, terlihat kemudian mundur berpencaran, ketika di udara mulai terdengar deru “burung-burung besi”.
 Dua pesawat udara tempur Jepang segera terlihat menderu-deru di angkasa dan kian lama kian mendekati lokasi daerah pertempuran, tempat beradanya kubu-kubu pasukan pertahanan KNIL di kawasan Km-17/Km-18 Tinoor. Komandan pasukan tempur KNIL, pembantu letnan Andrias S. Purukan, memberikan isyarat untuk segera meninggalkan kubu-kubu pertahanan dan melakukan gerakan mundur sesuai dengan rencana.Pasukan pertahanan Seksi I dan Seksi III mundur ke arah kota Tomohon melalui Kinilow dan Kakaskasen. Pasukan Seksi II bersama komandan pembantu letnanAndrias S. Purukan mundur pada tahap terakhir melalui jalan lintas hutan kampung Kinilow dan Kakaskasen, lalu menyusuri jalan kampung Kayawu-Woloan-Pinaras, untuk kemudian menempati Lini Pertahanan V di kota Tomohon. Adapun Lini Pertahanan I, II, III dan IV secara berturut-turut adalah pertahanan jembatan Pineleng, pertahanan Km-17/Km-18 Tinoor, pertahanan Kinilow, dan pertahanan Kakaskasen.
 Pasukan Seksi II yang berkubu di lokasi Km-17/Km-18 itu tidak sempat mundur melalui jalan raya sebagaimana dilakukan oleh Seksi I dan Seksi III, karena Seksi II ini hampir terkepung oleh gempuran pasukan korps marinir Jepang yang sedang giat melakukan tusukan gerakan melambung yang tidak terbendungkan lagi. Sebelum pasukan pertahanan melangkah mundur meninggalkan keenam buahveldbak, para pemuda sukarelawan asal kampung Tinoor, seperti Paul Lalawi, Efraim Rompas dan kawan-kawannya sempat menghancurkan tempayan yang berisi cap tikus yang berkadar alkohol cukup tinggi itu, lalu membakarnya.
 Pada sisi lain, komandan brigade sersan Jan Siwi dari satuan Reservekorps beserta para serdadu anggota pasukannya, antara lain kopral Willem Rapar dan spandri Pondaag, sedang bersiap-siap hendak meninggalkan lini pertahanan Veldbak I dan II. Namun, sang komandan terkena tembakan musuh tepat mengenai topi bajanya, selagi ia sedang menyeberangi jalan raya menuju Veldbak III, IV, V dan VI ke arah timur. Sersan Jan Siwi ketika itu terpelanting dan jatuh teronggok ke dalam selokan yang berada di tepi jalan raya. Namun ia tampaknya hanya pingsan saja.
 Pada saat yang bersamaan, letnan I F. Masselink dan letnan I Van Den Laar baru saja menggabungkan diri kembali dengan pasukan pertahanan Km-17/Km-18 Tinoor, setelah selesai dari mengikuti rapat staf komando dengan TPC mayor B.F.A. Schilmöller di Kakaskasen. Menyaksikan musibah yang menimpa diri sersan Jan Siwi itu, Masselink langsung menyuruh para serdadu anggota brigade pasukan Siwi untuk mengusung korban, lalu dimasukkan ke dalam sebuah lubang perangkap tikus, yang dalamnya satu meter dengan garis tengahnya satu setengah meter.
 Di bawah desingan hujan peluru, letnan Masselink yang religius itu memanjatkan doa kepada Yang Maha Pengasih, sambil memompa dan memijat-mijat bagian tertentu dari badan sang komandan brigade yang pingsan itu. Setelah sekitar lima belas menit lamanya letnan I Masselinkmengerjakannya demikian, barulah sersan Reservekorps itu terlihat siuman kembali, dan sembuh total!Dari tempat ini letnan Masselink bersama brigade sersan Jan Siwi mundur melintasi hutan dengan cara potong kompas menembus pinggiran kampung Kinilow.
 Sementara itu, di kawasan jembatan Kinilow yang merupakan Lini Pertahanan III, sedang terjadi pertempuran yang sengit. Brigade ini tidak dapat bergabung dengan pasukan pertahanan Kinilow karena telah kehabisan peluru dan amunisi. Oleh karena itu, Masselink bersama brigade Jan Siwibergerak mundur ke arah kampung Kayawu, terus ke Woloan, Pinaras, Sawangan dan berakhir di kampung Tincep. Di Tincep mereka bertemu dengan tiga serdadu milisi Eropa, ex-pertahanan jembatan Pineleng yang dikomandoi oleh sersan mayor Ter Voort. Dari kampung Tincep, letnan Masselinkbeserta ketiga serdadu milisi Eropa yang dibawahinya bersama sejumlah serdadu dari satuan campuran lainnya, bergerak menuju Tanawangko.
 Sedangkan sersan Reservekorps Jan Siwi dan beberapa anggota pasukannya pulang kembali ke kampung asalnya di Kakaskasen pada tanggal 14 Januari 1942. Mereka kini berpencar memasuki gerbang “perang gerilya”, atau mungkin juga gerbang “tawanan perang”! Sementara itu, dua pesawat udara tempur Jepang jenis pemburu “Zero”, tampak mulai mengambil ancang-ancang untuk melakukanstrafing, yaitu penembakan dari udara ke darat secara memberondong dengan kanon. Pesawat-pesawat pemburu itu berputar-putar di udara terlebih dahulu sambil mengamati sasaran-sasarannya, karena mereka cukup menyadari, bahwa merekalah saat itu yang memiliki “air superiority” (keunggulan di udara) di atas wilayah tersebut, mengingat tidak adanya ancaman dari
satuan meriam penangkis serangan udara ataupun pesawat udara tempur yang dimiliki oleh pasukan pertahanan.
 Pada putaran yang pertama, pesawat-pesawat pemburu itu melintas rendah tepat di atas bukit-bukit di jalan raya Km-17/Km-18, sehingga dengan secepat itu pula seluruh pasukan pertahanan langsung meninggalkan kubu-kubu mereka sambil berpencar mencari tempat perlindungan dalam kelompok-kelompok kecil. Namun pada putaran yang ke dua, kedua pesawat pemburu Jepang itu menghujani tembakan-tembakan dari mulut laras senjata berat kaliber 12,7 mm ke arah sasaran-sasarannya. Tembakan-tembakan beruntun itu diarahkan langsung ke kubu-kubu pertahanan pasukan KNIL. Namun rupanya tidak juga membuahkan hasil. Tidak ada korban jiwa yang jatuh di pihak pasukan pertahanan, karena mereka telah terlebih dahulu meninggalkan kubu-kubu pertahanannya itu.
 Empat pucuk senjata Vickers watermantel yang laras-larasnya telah membengkok, telah dibiarkan begitu saja di tempatnya, ditinggal pergi oleh para pemakainya. Hanya bekas uap panas yang tersisa di badan watermantel itu, menemani mayat-mayat yang bergelimpangan tidak keruan di atas jalur jalan raya yang bersejarah di awal Perang Dunia II, di lokasi lini pertahanan Km-17/Km-18 Tinoor. Pembantu letnan Andrias S. Purukan, selaku komandan tempur pasukan pertahanan di lokasi Lini Pertahanan II itu, telah lenyap ditelan hutan bersama sebagian anggota pasukannya dan bergerak menuju tempat konsolidasi pasukan yang telah ditentukan. Hanya semangat patriotik, keberanian, dan keuletan bertempur, serta bekas-bekas sepatu kumpeni yang dibiarkan tertinggal di atas lahan perbukitan dan lembah-lembah pada urat nadi jalan raya Km-17/Km-18 Tinoor. Kisah pertempuran di lokasi yang bersejarah ini, telah menjadi salah satu kisah yang tersohor di antara serentetan kisah kepahlawanan selama Perang Dunia II di wilayah residensi Manado.
 Sementara itu, sebagian anggota pasukan milisi Eropa di bawah pimpinan komandannya letnan F. Masselink bersama kapten Wim Kroon, komandan satuan Beroepsmilitair, mengadakan konsolidasi di kampung pegunungan Rurukan, yang terletak lebih kurang empat kilometer di sebelah timur kota Tomohon. Kampung ini diapit oleh dua gunung, yaitu gunung Mahawu pada sebelah barat-laut dan gunung Masarang pada sebelah barat-daya. Hukum tua (kepala kampung) Paul Kaunang bersama perangkat kampung serta para penduduk kampung berhawa sejuk itu, tidak menduga sama sekali kampung mereka yang terpencil itu menjadi pusat perhatian pasukan
pertahanan KNIL. Mereka hanya menjadi agak bingung, karena untuk menjamu makan hanya tersedia sedikit piring makan, sehingga terpaksa harus menggunakan batang pohon nibong yang dibelah dua sebagai tempat makan pengganti piring.
 Pecahan-pecahan uang perak bernilai satu gulden atau rupiah Hindia-Belanda, yang kemudian dicurahkan keluar dari dalam karung goni, ditimbun membukit di atas sebidang tanah yang dialasi kain terpal. Selanjutnya, uang-uang tersebut pun dibagi-bagikan kepada seluruh anggota pasukan, dengan masing-masing anggota menerima uang perak sebanyak satu topi baja KNIL penuh, tanpa perlu dihitung lagi berapa jumlah nominalnya. Itu diberikan sebagai jatah gaji untuk selama tiga bulan. Beberapa anggota masyarakat di kampung itu sempat dibuat terheran-heran, karena hal itu merupakan peristiwa yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
 Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bapak Johanes Mundung, mantan Pilot Tempur TNI AU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar