Kamis, 25 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Pertempuran Gunung Potong di Noongan



Sementara itu berbagai satuan dalam kelompok kecil dari pasukan Reservekorps, pasukanBeroepsmilitair dan pasukan Kortverband ex-front Km-17/Km-18 Tinoor, Kinilow, Kakaskasen, pangkalan udara Kalawiran dan Kakas, melakukan gerakan mundur secara terpencar-pencar. Sesuai penggarisan kebijaksanaan taktik operasional yang ditetapkan di Markas Komando Pertahanan Kakaskasen, maka Gunung Potong di Noongan dijadikan tempat konsolidasi untuk membangun kubu pertahanan tahap ke dua dalam rangka membendung gerakan ofensif Tentara Jepang ke arah wilayah Minahasa Selatan, yaitu untuk menduduki kota-kota Ratahan, Belang, Tombatu, Amurang dan seterusnya.

Sersan H. Wungkar yang berperawakan tinggi kekar dan bermata biru, dengan didampingi ordonans spandri Patilaya, spandri Wim Kumontoy bersama rekan-rekan mereka, tiba di Gunung Potong dalam satuan-satuan kecil yang terdiri dari tiga-empat serdadu berasal dari berbagai unit brigade, seksi atau kompi pasukan pertahanan. Umumnya satuan pertahanan gabungan Gunung Potong itu telah berkenalan dengan letupan senjata serdadu korps marinir Jepang. Makanan dan minuman disuplai oleh sebagian masyarakat Ratahan dan Belang, terutama ikan laut yang masih fresko (segar), ikan fufu (diasapkan kering), saguer (tuak enau), cap tikus (minuman keras sejenis wiski), selain masih terdapat sisa-sisa persediaan makanan kaleng yang ada di dalam ransel.

Minuman cap tikus, yang merupakan wiski khas rakyat Minahasa yang sangat populer itu, mampu menerjang hembusan udara dingin dari gunung Soputan, gunung Kawatak dan gunung Kelelondei, yang dapat mencengkeram dan melilit sekujur tubuh anggota pasukan Reservekorps, Beroepsmilitairdan Kortverband yang sedang berlindung di bawah daseng-daseng tanpa dinding. Mereka sedang berbincang-bincang sambil bertukar ceritera mengenai pengalaman mereka masing-masing dalam berbagai front pertempuran. Rasanya memang ganjil, bilamana harus merekonstruksikan bagaimana metoda dan gaya taktik operasional gerakan pasukan Tentara Jepang, ketika mereka hendak merebut posisi pertahanan lawan. Pasukan Jepang itu biasanya maju secara berkelompok besar ibarat barisan semut yang sedang mapalus (gotong royong) memikul bangkai lalat, sehingga nampaknya mereka kurang memperhitungkan taktik.

Dalam berbincang-bincang itu, terdengar antara lain berbagai komentar, seperti misalnya, “Sayang sekali, Komandan lupa menyuruh kita membawa minyak gemuk dan tongkat pembersih. Juga cadangan laras watermantel yang cukup serta air pendinginnya, agar dapat menetralkan laras senjata yang sudah kepanasan.” Spandri Patilaya terdengar berkata, “Meskipun hati masih ingin berkelahi, tapi senjata kita sudah bengkok, dan kita pun menjadi kewalahan karena senjata unggulan kita tidak mau lagi meneruskan pertempuran dan akhirnya kita semua mati akal.”

Patilaya turut meramaikan percakapan mereka, karena telah hampir hanyut meminum cap tikussecara berlebihan. Luka di bagian wajah dan lengannya yang dibalut perban menandakan, bahwaPatilaya adalah salah seorang korban pecahan granat mortir kaliber tiga inci pasukan korps marinir Jepang pada front pertempuran “Km-17/Km-18” Tinoor. Kata-kata yang bersemangat, wajah yang keras, tetapi mata yang sering redup mungkin suatu pertanda bahwa ia masih menyimpan sesuatu dibalik bola matanya. Infeksi pada lukanya dirasakan cukup perih, sedangkan musuhnya kini telah berada tidak jauh di depan hidungnya, kota Langowan.

Lain halnya dengan suasana batin para anggota pasukan Reservekorps ex-front pangkalan udara Kalawiran, seperti spandri Paul Sumual, spandri Waworuntu, spandri Manoppo dan kawan-kawan mereka. Ulu hati mereka terasa dipanggang oleh perasaan kecintaan yang sulit terkirakan, karena para istri dan anak-anak mereka berada hanya di ujung jari telunjuk, yaitu di kota Langowan yang hanya berjarak tiga sampai empat kilometer dari Gunung Potong. Pos-pos penjagaan serdadu pasukan payung Jepang, barikade pohon-pohon yang ditumbangkan, dan bagian hutan lebat Gunung Potong dengan jurang-jurang yang terjal, kesemuanya itu merupakan dinding-dinding pemisah kebengisan perang bagi keluarga dan mereka sendiri.

Pukul 05.30 tanggal kalender 19 Januari 1942, keadaan cuaca cerah. Kota Langowan, kampung Noongan dan jalur jalan Gunung Potong menuju kota Ratahan, masih terlena dalam selimut embun pagi dan kabut awan tebal amat dingin yang membuat orang menggigil. Noongan, sebuah tempat pariwisata, yang terkenal dengan keindahan alamnya yang cantik menarik dan dimodali beberapa bangunan bungalow, sarana sanatorium, kolam renang dan penataan taman yang indah, dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda dan pengusaha swasta puluhan tahun yang lampau. Noongan yang terletak di sebelah timurlaut kaki Gunung Potong dan merupakan tempat peristirahatan terkenal bagi orang-orang Eropa, kini hanya menjadi tempat yang ditinggalkan terlantar alias “tidak bertuan”! Pasukan Tentara Jepang sangat bergairah untuk menjadi raja atas alam dan peradaban manusia yang berwatak ramah dan sopan.

Namun di pagi hari yang cerah itu, mendadak ratusan granat senjata berat mortir dari pasukan Tentara Jepang mulai beraksi. Ledakan-ledakan dahsyat yang memekakkan anak telinga, dengan sendirinya mengundang para serdadu pasukan pertahanan untuk berjaga-jaga menghadapi pasukan payung Jepang, yang telah mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk melakukan aksi penyerbuan terhadap kubu pertahanan Gunung Potong. Pasukan payung yang bergerak maju itu, dengan sikap siaga penuh langsung memasuki dan merebut kampung Noongan tanpa adanya perlawanan sedikitpun dari lawan mereka yang telah terkenal bobotnya.

Karena tidak ada perlawanan, maka sadarlah mereka bahwa Noongan memang tidak dipilih dalam daftar undian untuk dijadikan sebagai arena pertempuran di pagi hari itu. Oleh karenanya, tingkat kewaspadaan serdadu Jepang pun mulai mengendor sementara mereka terus bergerak maju menuju Gunung Potong.Situasi medan di Gunung Potong untuk dijadikan gelanggang pertempuran dapat dikatakan ideal sekali, karena memiliki posisi strategis bagi pihak pasukan yang bertahan, dan selain itu diperkuat lagi dengan adanya tiga buah veldbak, walaupun belum sempat dikerjakan secara tuntas. Sebaliknya, sangatlah berbahaya bagi pihak penyerang, karena pada sisi kanan jalan terdapat jurang menganga yang curam sedalam lebih kurang lima puluh sampai seratus meter, sedangkan pada sisi kiri jalan menjulang ruas dinding bukit setinggi empat puluh hingga enam puluh meter sampai ke titik jalan tanjakan Gunung Potong, lalu menurun pada jalur jalan sampai ke kampung Pangu di wilayah distrik Ratahan.

Sementara pasukan payung Jepang melangkah maju sambil napas mereka terengah-engah akibat menyusuri tanjakan pada jalur jalan Gunung Potong, tiba-tiba pasukan pertahanan gabungan melepaskan tembakan-tembakan beruntun tanpa mengenal ampun, dibarengi dengan pekikan “I Yayat U Santi” serta segera disambut pula dengan gema yel-yel “kumukuk” selaku pancaran adat budaya pembangkit semangat juang. Adapun kalimat kesatria itu telah terukir kini bersama “burung manguni” sebagai lambang panji Minahasa. Pekikan itu mungkin juga pernah terdengar di front Kalawiran, sehingga para serdadu marinir pasukan payung Jepang langsung menjadi panik seketika, apa lagi setelah menyaksikan bagaimana rekan-rekan mereka mulai berguguran disambar timah panas pasukan gabungan itu. Selain yang langsung tewas seketika, ada pula yang mengalami luka berat dan ringan sambil berteriak-teriak histeris kesakitan tetapi belum menemui ajalnya.

Sungguhpun pasukan penyerbu Jepang itu terbilang banyak yang rontok, namun mereka tetap bergerak maju bagaikan gelombang serbuan semut merah yang mengamuk dengan ganas, tanpa mempedulikan lagi kawan-kawan seperjuangan mereka yang telah jatuh korban di sekitar mereka. Di pihak pasukan pertahanan sendiri, akhirnya timbul rasa kecewa karena persediaan peluru sedemikian cepat menipis, walaupun pasukan gabungan itu terkenal paling hemat melepaskan tembakan. Ya, karena bagi serdadu-serdadu itu, satu peluru harus dapat menghabisi satu nyawa lawan! Akibatnya, pasukan payung Jepang berhasil maju terus sejengkal demi sejengkal, diselingi sering terdengarnya aba-aba “maju” dari komandan mereka dengan nada suara kering serak.

Sersan H. Wungkar dan kawan-kawannya terpaksa mulai mengerem tembakan senjata tunggal dari senapan karaben serta tembakan senjata semi otomatis dari karaben mitraliur (KM) mereka. Kemudian terdengar suara lantang “terugtrekken” (mundur) dari para komandan brigade pasukan pertahanan, yang memerintahkan untuk mundur. Namun nampaknya spandri Patilaya sengaja tidak mematuhi perintah atasannya itu serta tidak mau keluar dan mundur dari kubu pertahanannya. Dengan wajah pucat yang sudah mirip kain blacu, ia tetap bertahan di dalam lubang stelling-nya, seakan-akan itulah satu-satunya warisan miliknya yang harus dibela dan dipertahankan secara mati-matian.

Spandri Patilaya tetap menembak terus, sementara rekan-rekannya menunggu di atas pada jalan setapak dalam hutan, siap untuk mundur meninggalkan pertahanan Gunung Potong. Suara pekikan “kumukuk Patilaya akhirnya pun lenyap bersama lenyapnya tembakan karaben mitraliur yang ada di tangannya. Ia pun tewas dirobek-robek peluru pasukan payung Jepang, yang di saat-saat itu juga sama-sama nampak seperti kesetanan.

Spandri Patilaya menjadi satu-satunya putra Maluku yang tewas dalam arena adu kekuatan di jalur jalan sempit di puncak Gunung Potong di daerah Minahasa di kala itu.

Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar