Sementara itu berbagai satuan dalam kelompok kecil dari pasukan Reservekorps, pasukanBeroepsmilitair dan pasukan Kortverband ex-front Km-17/Km-18 Tinoor, Kinilow, Kakaskasen, pangkalan udara Kalawiran dan Kakas, melakukan gerakan mundur secara terpencar-pencar. Sesuai penggarisan kebijaksanaan taktik operasional yang ditetapkan di Markas Komando Pertahanan Kakaskasen, maka Gunung Potong di Noongan dijadikan tempat konsolidasi untuk membangun kubu pertahanan tahap ke dua dalam rangka membendung gerakan ofensif Tentara Jepang ke arah wilayah Minahasa Selatan, yaitu untuk menduduki kota-kota Ratahan, Belang, Tombatu, Amurang dan seterusnya.
Sersan H. Wungkar yang berperawakan tinggi kekar dan
bermata biru, dengan didampingi ordonans spandri Patilaya, spandri Wim Kumontoy bersama rekan-rekan mereka, tiba di
Gunung Potong dalam satuan-satuan kecil yang terdiri dari tiga-empat serdadu
berasal dari berbagai unit brigade, seksi atau kompi pasukan pertahanan.
Umumnya satuan pertahanan gabungan Gunung Potong itu telah berkenalan dengan
letupan senjata serdadu korps marinir Jepang. Makanan dan minuman disuplai oleh
sebagian masyarakat Ratahan dan Belang, terutama ikan laut yang masih fresko (segar),
ikan fufu (diasapkan kering), saguer (tuak
enau), cap tikus (minuman keras sejenis wiski), selain
masih terdapat sisa-sisa persediaan makanan kaleng yang ada di dalam ransel.
Minuman cap tikus,
yang merupakan wiski khas rakyat Minahasa yang sangat populer itu, mampu
menerjang hembusan udara dingin dari gunung Soputan, gunung Kawatak dan gunung
Kelelondei, yang dapat mencengkeram dan melilit sekujur tubuh anggota pasukan Reservekorps, Beroepsmilitairdan Kortverband yang
sedang berlindung di bawah daseng-daseng tanpa dinding. Mereka sedang
berbincang-bincang sambil bertukar ceritera mengenai pengalaman mereka
masing-masing dalam berbagai front pertempuran. Rasanya memang ganjil, bilamana
harus merekonstruksikan bagaimana metoda dan gaya taktik operasional gerakan
pasukan Tentara Jepang, ketika mereka hendak merebut posisi pertahanan lawan.
Pasukan Jepang itu biasanya maju secara berkelompok besar ibarat barisan semut
yang sedang mapalus (gotong royong) memikul bangkai lalat,
sehingga nampaknya mereka kurang memperhitungkan taktik.
Dalam berbincang-bincang itu, terdengar antara lain
berbagai komentar, seperti misalnya, “Sayang sekali, Komandan lupa menyuruh
kita membawa minyak gemuk dan tongkat pembersih. Juga cadangan laras watermantel yang
cukup serta air pendinginnya, agar dapat menetralkan laras senjata yang sudah
kepanasan.” Spandri Patilaya terdengar berkata, “Meskipun hati
masih ingin berkelahi, tapi senjata kita sudah bengkok, dan kita pun menjadi
kewalahan karena senjata unggulan kita tidak mau lagi meneruskan pertempuran
dan akhirnya kita semua mati akal.”
Patilaya turut meramaikan
percakapan mereka, karena telah hampir hanyut meminum cap tikussecara berlebihan. Luka di bagian wajah dan
lengannya yang dibalut perban menandakan, bahwaPatilaya adalah salah seorang korban pecahan
granat mortir kaliber tiga inci pasukan korps marinir Jepang pada front
pertempuran “Km-17/Km-18” Tinoor. Kata-kata yang bersemangat, wajah yang keras,
tetapi mata yang sering redup mungkin suatu pertanda bahwa ia masih menyimpan
sesuatu dibalik bola matanya. Infeksi pada lukanya dirasakan cukup perih,
sedangkan musuhnya kini telah berada tidak jauh di depan hidungnya, kota
Langowan.
Lain halnya dengan suasana batin para anggota pasukan Reservekorps ex-front
pangkalan udara Kalawiran, seperti spandri Paul Sumual,
spandri Waworuntu,
spandri Manoppo dan kawan-kawan mereka. Ulu hati
mereka terasa dipanggang oleh perasaan kecintaan yang sulit terkirakan, karena
para istri dan anak-anak mereka berada hanya di ujung jari telunjuk, yaitu di
kota Langowan yang hanya berjarak tiga sampai empat kilometer dari Gunung
Potong. Pos-pos penjagaan serdadu pasukan payung Jepang, barikade pohon-pohon
yang ditumbangkan, dan bagian hutan lebat Gunung Potong dengan jurang-jurang
yang terjal, kesemuanya itu merupakan dinding-dinding pemisah kebengisan perang
bagi keluarga dan mereka sendiri.
Pukul 05.30 tanggal kalender 19 Januari 1942, keadaan
cuaca cerah. Kota Langowan, kampung Noongan dan jalur jalan Gunung Potong
menuju kota Ratahan, masih terlena dalam selimut embun pagi dan kabut awan
tebal amat dingin yang membuat orang menggigil. Noongan, sebuah tempat
pariwisata, yang terkenal dengan keindahan alamnya yang cantik menarik dan
dimodali beberapa bangunan bungalow, sarana sanatorium, kolam renang dan
penataan taman yang indah, dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda dan
pengusaha swasta puluhan tahun yang lampau. Noongan yang terletak di sebelah
timurlaut kaki Gunung Potong dan merupakan tempat peristirahatan terkenal bagi
orang-orang Eropa, kini hanya menjadi tempat yang ditinggalkan terlantar alias
“tidak bertuan”! Pasukan Tentara Jepang sangat bergairah untuk menjadi raja
atas alam dan peradaban manusia yang berwatak ramah dan sopan.
Namun di pagi hari yang cerah itu, mendadak ratusan
granat senjata berat mortir dari pasukan Tentara Jepang mulai beraksi.
Ledakan-ledakan dahsyat yang memekakkan anak telinga, dengan sendirinya
mengundang para serdadu pasukan pertahanan untuk berjaga-jaga menghadapi pasukan
payung Jepang, yang telah mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk melakukan
aksi penyerbuan terhadap kubu pertahanan Gunung Potong. Pasukan payung yang
bergerak maju itu, dengan sikap siaga penuh langsung memasuki dan merebut
kampung Noongan tanpa adanya perlawanan sedikitpun dari lawan mereka yang telah
terkenal bobotnya.
Karena tidak ada perlawanan, maka sadarlah mereka bahwa
Noongan memang tidak dipilih dalam daftar undian untuk dijadikan sebagai arena
pertempuran di pagi hari itu. Oleh karenanya, tingkat kewaspadaan serdadu
Jepang pun mulai mengendor sementara mereka terus bergerak maju menuju Gunung
Potong.Situasi medan di Gunung Potong untuk dijadikan gelanggang pertempuran
dapat dikatakan ideal sekali, karena memiliki posisi strategis bagi pihak
pasukan yang bertahan, dan selain itu diperkuat lagi dengan adanya tiga buah veldbak, walaupun belum sempat dikerjakan secara tuntas.
Sebaliknya, sangatlah berbahaya bagi pihak penyerang, karena pada sisi kanan
jalan terdapat jurang menganga yang curam sedalam lebih kurang lima puluh
sampai seratus meter, sedangkan pada sisi kiri jalan menjulang ruas dinding
bukit setinggi empat puluh hingga enam puluh meter sampai ke titik jalan
tanjakan Gunung Potong, lalu menurun pada jalur jalan sampai ke kampung Pangu
di wilayah distrik Ratahan.
Sementara pasukan payung Jepang melangkah maju sambil
napas mereka terengah-engah akibat menyusuri tanjakan pada jalur jalan Gunung
Potong, tiba-tiba pasukan pertahanan gabungan melepaskan tembakan-tembakan
beruntun tanpa mengenal ampun, dibarengi dengan pekikan “I Yayat U Santi”
serta segera disambut pula dengan gema yel-yel “kumukuk” selaku pancaran
adat budaya pembangkit semangat juang. Adapun kalimat kesatria itu telah
terukir kini bersama “burung manguni” sebagai lambang panji Minahasa. Pekikan itu
mungkin juga pernah terdengar di front Kalawiran, sehingga para serdadu marinir
pasukan payung Jepang langsung menjadi panik seketika, apa lagi setelah
menyaksikan bagaimana rekan-rekan mereka mulai berguguran disambar timah panas
pasukan gabungan itu. Selain yang langsung tewas seketika, ada pula yang
mengalami luka berat dan ringan sambil berteriak-teriak histeris kesakitan
tetapi belum menemui ajalnya.
Sungguhpun pasukan penyerbu Jepang itu terbilang banyak yang
rontok, namun mereka tetap bergerak maju bagaikan gelombang serbuan semut merah
yang mengamuk dengan ganas, tanpa mempedulikan lagi kawan-kawan seperjuangan
mereka yang telah jatuh korban di sekitar mereka. Di pihak pasukan pertahanan
sendiri, akhirnya timbul rasa kecewa karena persediaan peluru sedemikian cepat
menipis, walaupun pasukan gabungan itu terkenal paling hemat melepaskan
tembakan. Ya, karena bagi serdadu-serdadu itu, satu peluru harus dapat
menghabisi satu nyawa lawan! Akibatnya, pasukan payung Jepang berhasil maju
terus sejengkal demi sejengkal, diselingi sering terdengarnya aba-aba “maju”
dari komandan mereka dengan nada suara kering serak.
Sersan H. Wungkar dan kawan-kawannya terpaksa mulai
mengerem tembakan senjata tunggal dari senapan karaben serta tembakan senjata
semi otomatis dari karaben mitraliur (KM) mereka. Kemudian terdengar suara
lantang “terugtrekken”
(mundur) dari para komandan brigade pasukan pertahanan, yang memerintahkan
untuk mundur. Namun nampaknya spandri Patilaya sengaja tidak mematuhi perintah
atasannya itu serta tidak mau keluar dan mundur dari kubu pertahanannya. Dengan
wajah pucat yang sudah mirip kain blacu, ia tetap bertahan di dalam lubang stelling-nya, seakan-akan itulah satu-satunya warisan
miliknya yang harus dibela dan dipertahankan secara mati-matian.
Spandri Patilaya tetap menembak terus, sementara
rekan-rekannya menunggu di atas pada jalan setapak dalam hutan, siap untuk
mundur meninggalkan pertahanan Gunung Potong. Suara pekikan “kumukuk” Patilaya akhirnya
pun lenyap bersama lenyapnya tembakan karaben mitraliur yang ada di tangannya.
Ia pun tewas dirobek-robek peluru pasukan payung Jepang, yang di saat-saat itu
juga sama-sama nampak seperti kesetanan.
Spandri Patilaya menjadi satu-satunya putra Maluku yang
tewas dalam arena adu kekuatan di jalur jalan sempit di puncak Gunung Potong di
daerah Minahasa di kala itu.
Sumber: Draft buku susunan
alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot
Tempur TNI AU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar