Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Kapal Perang Jerman “Emden” di Minahasa


 Di daerah Minahasa pada masa sebelum Perang Dunia II telah terdapat banyak warga berkebangsaan Jerman dan warga keturunan Jerman (Indo) sejak Perang Dunia Pertama. Jazirah Minahasa yang terletak di bagian ujung utara pulau Sulawesi dengan luasnya 4.734 kilometer persegi, menempati posisi geografis dekat khatulistiwa pada posisi 0º 25' - 1º 8' L.U. (lintang utara) dan 121º - 127º B.T. (bujur timur), pernah di masa Perang Dunia I menjadi tempat bersembunyi dan tempat berteduhnya sebuah kapal perang penjelajah berat armada Angkatan Laut Jerman yang terkenal, bernama “Emden”.
 Kapten Karl Von Müller sebagai komandan kapal perang Jerman itu telah meraih sukses yang cukup banyak. Ia memiliki keahlian navigasi serta kecakapan dalam menjalankan tugas penyergapan dan penggempuran terhadap kapal-kapal musuh yang sedang berlayar di Samudra Pasifik dan Lautan Hindia. Sebelum Perang Dunia I meletus, Karl Von Müller masih menjabat sebagai kapten pada salah satu kapal niaga milik perusahaan “Deutsche Lloyd”, yang menjalani rute pelayaran Hamburg – Tsing Tao – New Guinea bagian Timur – kepulauan Bismarck dan Gilbert – Singapura – Hamburg. Kapal niaga yang dipimpinnya itu biasa melintasi laut perairan pantai utara pulau Sulawesi, bahkan banyak kali menyusuri selat pulau Lembeh, Minahasa.
 Sewaktu pecah Perang Dunia I, kapten Karl Von Müller dikenakan wajib militer. Ia lalu ditugaskan sebagai kapten kapal perang bernama “Emden” itu, yang termasuk dalam jajaran Armada Tempur Angkatan Laut Kerajaan Jerman. Perwira muda yang tampan dan gagah berani serta pintar dan bijaksana itu, sangat dikagumi dan disegani oleh pihak kawan maupun lawan selama terjadi pertarungan laut di zona Samudra Pasifik.
 Kapal perang Emden dimasukkan ke dalam jajaran Eskader Tempur Asia Timur, tetapi setelah Tsing Tao jatuh ke tangan pihak Sekutu, kapten Karl Von Müller lalu menjalankan taktik “perang gerilya” di Samudra Pasifik dan di Lautan Hindia. Armada kapal niaga kerajaan Inggris banyak yang menjadi mangsanya dan mencium dasar laut. Tetapi keselamatan bagi para anak buah kapal (ABK) kapal musuh itu selalu diutamakan. Bilamana perahu penolong telah mampu menanggulangi para korban, mereka akan diangkut dan dilepaskan di salah satu pelabuhan yang aman.
 Kapal perang Emden yang bercerobong asap tiga buah itu, sering menyamarkan diri menjadi bercerobong empat buah, di mana cerobong yang ke empat merupakan cerobong samaran atau palsu yang terbuat dari kain terpal, yang dipasangkan sebelum ia mulai beraksi. Suatu peristiwa yang terjadi di pelabuhan Singapura, yaitu di kala Karl Von Müller menyergap dan menenggelamkan kapal perang penjelajah Syemtsur dari A.L. Rusia dan sebuah kapal perang pemburu torpedo A.L. Prancis. Dengan cepat Emden berhasil menghilang, lalu berteduh di selat Lembeh, Minahasa.
 Di selat Lembeh itu, kapal tersebut mengambil air tawar pada salah satu mata air di pantai selat itu. Karena ulah kapal perang Emden itu, sehingga generasi masyarakat di kala itu memberikan nama mata air itu “Aerprang” (air perang) hingga hari ini. Lokasi tersebut terletak pada bagian utara kampung Aertembaga, di wilayah kota Bitung, Minahasa. Para anak buah kapal termasuk para perwira kapal perang Emden ini sempat berinteraksi dan bersosialisasi secara positif dengan masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Di Kema misalnya, bisa ditemukan kemudian keturunan dengan nama marga bangsa Jerman.
 Pada tanggal 9 November 1917, terjadilah pertempuran laut yang hebat di kepulauan Cocos antara Emden dengan lawannya, kapal perang penjelajah “Sydney” dari Angkatan Laut Australia. Kali itu Müller benar-benar kehabisan peluru dan Emden pun diperintahkan segera menyerah. Karl Von Müller menyatakan menyerah, namun kapal kebanggaannya yang berbendera kerajaan Jerman itu, tidak sudi ia serahkan dengan cuma-cuma kepada kapal Sydney lawannya. Emden dikaramkannya sendiri! Namun demikian, kapten Müller tidak dikenakan hukuman militer oleh pihak lawan. Sebaliknya, Müller bersama para ABK Emden oleh Sydney diberikan penghormatan militer dan digemakan lagu kebangsaan kerajaan Jerman “Die Wacht am Rhein” (syair Max Schneckenburger, 1840, populer setelah tahun 1870), yaitu lagu kebangsaan di kala kerajaan Jerman berada di bawah pemerintahan kanselir Von Hindenburg, di masa ketika kaisar Wilhelm sedang bertahta. Suatu penghormatan bagi kepahlawanan sang perkasa, Karl Von Müller!
  Warga Jerman dan Jepang di Keresidenan Manado
 Sementara itu, rakyat mulai memikirkan keadaan bencana perang yang suhunya semakin meningkat. Pada hal mereka pada dasarnya hanya mampu membangun analisis-analisis sesuai dengan taraf kemampuan daya pikir mereka masing-masing. Ketika itu terdengarlah siaran radio yang memberitakan, bahwa pada tanggal 10 Mei 1940 bala tentara Angkatan Perang Nazi-Jerman dengan kekuatan sebesar 136 divisi pasukan tempur, telah menerobos masuk ke wilayah negeri Belanda. Peristiwa yang sangat penting itu tentunya memberikan efek di bidang sosial politik dan ekonomi di kalangan masyarakat di seluruh wilayah Hindia-Belanda yang menjadi jajahan Belanda.
 Masyarakat di wilayah residensi Manado, khususnya di kota Manado dan daerah Minahasa, semakin ramai pula memperbincangkan situasi yang telah merebak di Eropa itu. Mereka kemudian mencoba membuat analisis yang lebih jauh dan luas mengenai segala kemungkinan di bidang politik, ekonomi, sosial, psiko-sosial dan militer yang dapat terjadi, yang selanjutnya akan mempertanyakan, “Tindakan politis dan militer apakah yang akan dilakukan serta suasana yang bagaimanakah yang mungkin harus dihadapi di tanah Toar-Lumimuut yang tercinta ini?”
 Apa yang menjadi dugaan masyarakat di daerah ini ternyata mengandung kebenaran. Tidak seberapa lama kemudian mulai tampak di daerah afdeling Manado, Gorontalo, Poso, Donggala, dan di kota Manado khususnya, kelompok satuan tugas pemerintah sipil bersama satuan polisi pemerintah Hindia-Belanda, giat keluar masuk kota sampai ke pelosok-pelosok kampung, di mana para warga berkebangsaan Jerman berdomisili. Mereka mulai digiring! Operasi penangkapan oleh para petugas itu dilakukan terlebih dahulu terhadap para pengusaha dan karyawan di kantor-kantor serta di rumah-rumah kediaman bangsa Jerman, baik di kota-kota maupun di berbagai pelosok daerah ini.
 Ada pula beberapa orang Belanda yang juga turut diciduk, karena mereka dituduh terlibat sebagai anggota “Nationaal Socialistische Beweging” (NSB) yang berkiblat ke Nazi-Jerman. Di antaranya adalah Ir. Task yang enjabat sebagai kepala perusahaan listrik NIGEM (Nederlands Inlandsche Gas en Electrische Maatschappij) di kota Manado, Tuan Kraad selaku apoteker pada perusahaan farmasi di kota Manado, seorang pimpinan “Nederlands Algemeene Handelsbank”, pendeta F.W. Hering di Poso dan pendeta K. Riedel di Tinompo.
 Tersebut terakhir kemudian dibebaskan karena keyakinannya yang benar-benar anti Nazi-Jerman.Kata “alligator” menjadi kode sandi dari kelompok NSB, yang identik pula dengan mereka yang berada di negeri Belanda yang berkiprah ke Nazi-Jerman. Selaku kepala NSB di Hindia- Belanda adalah Beretti, yang juga menjabat sebagai kepala redaktur kantor berita “Aneta” (Algemeen Nieuws- en Telegraafagentschap) yang bermarkas di Huize Isola, Bandung (kini: Bumi Siliwangi). Mereka selalu berseragam hitam mengkilap, bertopi bivakmuts hitam, tampak tampan dan setiap kali berpapasan atau bertemu dengan anggota kelompok mereka, akan terdengar sapaan dengan suara lantang “Hoezee!” yang artinya “Hidup!”
 Namun kini mereka yang ada di Manado dan Minahasa telah diamankan dan ditahan di sebuah kamp yang berlokasi di Sasaran, Tondano, milik Normaalschool (sekolah guru bawah), yang kini merupakan komplek Pemda Tk.II Minahasa. Dengan demikian, komplek Sasaran Tondano praktis dijadikan kamp interniran bagi warga bangsa Jerman dan kelompok NSB pada medio tahun 1940. Tindakan penahanan itu dijalankan atas perintah pemerintah pusat Hindia-Belanda di Batavia Centrum, dengan kode sandi “Berlijn”(Berlin).
 Selain bangsa Jerman yang berjuang membanting tulang mencari nafkah di wilayah residensi Manado ini, juga terdapat kelompok masyarakat bangsa asing lainnya yang berstatus hukum “Vreemde Oosterlingen” (warga Timur asing) di kala itu. Dalam golongan ini termasuk warga Cina, Arab, India, Pakistan, dan lain-lainnya. Pada waktu itu, bangsa Jepang menurut ketentuan hukum yang berlaku dikategorikan bangsa Eropa!
 Beberapa warga Jepang yang pada masa sebelum Perang Dunia II menjalankan usahanya di wilayah keresidenan Manado, adalah sebagai berikut:
 - Yanai Minoru, pemilik Firma Futaba dengan toko Kaneko dan Hosaya, yang pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Residen Manado.
 - Kurimo, pemilik gilingan padi dan otobis Republika.
 - Kawai, pemilik toko di kota Tondano dan sewaktu pendudukan Jepang memakai nama samaran “Kapai” selaku pegawai pemerintah.
 - Yamata, pemilik toko dan otobis carteran Chevrolet.
 - Sugawara, tukang potret di kota Tondano dan anaknya bernama Tomiyo San, tamatan sekolah MULO Tondano dan sewaktu aksi pendaratan Jepang ia kembali lagi ke Minahasa sebagai seorang perwira menengah Tentara Jepang.
 - Tahabata, pemilik toko di kota Langowan.
 - Tomoye, pemilik toko di kota Langowan.
 - Yamaguchi, rekan Tomoye, yang kemudian menjadi kepala Tokai Tai di Manado.
- Kobayashi, pengusaha kepompong pada perkebunan murbei di Noongan dan dikenal rakyat sebagai kepala urusan kapas pada masa pendudukan Jepang.
 - Arimura, pemegang hak guna usaha konsesi perkebunan kelapa di kampung Basaan, Belang, karena tidak bersedia kembali ke Jepang, mereka sekeluarga diinternir di Minahasa.
 - Uno, mantan kepala onderneming (perkebunan) kelapa konsesi Pungkol di Amurang, yang kemudian kembali ke Minahasa sebagai seorang perwira Tentara Jepang.
 - Ike, pengusaha ikan cakalang di Bitung, Tonsea, untuk diolah menjadi ikan cakalang kayu.
 - Akiyama, seorang dokter dan tukang gigi yang terkenal di kota Manado, yang terakhir keluar dari kota ini kembali ke Jepang.
 - Inagaki, pemilik toko di kota Manado.
 - Ichi, pengusaha tukang gigi di kota Manado.
 - Narumi, pengusaha, pemilik toko Kaneko di kota Poso.
 - Harutoki Wakana, pemegang hak guna usaha perkebunan kelapa dan karet di kampung Kalasei.
 Para pengusaha Jepang itu telah agak lama bermukim dan mencari nafkah di wilayah keresidenan Manado yang subur ini. Mereka membuka aneka jenis usaha di bidang ekonomi di kota Manado dan kota-kota lainnya di Minahasa. Pergaulan mereka dengan masyarakat di daerah ini dapat dikatakan sangat baik, serasi dan harmonis. Bahkan lebih jauh dari itu, telah terjadi asimilasi berupa hubungan kawin-mawin antara warga Jepang dengan penduduk bumiputra. Secara kebetulan pula, kedua umat berlainan kebangsaan itu cenderung memiliki ciri-ciri lahiriah yang sama, seperti memiliki warna kulit kuning langsat.
 Namun dibalik itu, para pengusaha Jepang tersebut umumnya memiliki tugas rangkap dan khusus: “tugas intelijen” dalam jaringan spionase pemerintah Dai Nippon!
 Intelijen Jepang Sejak Masa Silam
 Ilmu pengetahuan senantiasa menjadi landasan berpikir bagi Dinas Rahasia Jepang. Di antara semua bangsa di dunia, tidak ada yang melebihi hasrat bangsa Jepang dalam hal ingin menguasai ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Sejak membuka diri terhadap dunia Barat, Jepang telah meningkatkan diri menjadi salah satu kekuatan besar di dunia dengan cara menerapkan penghimpunan data intelijen demi tujuan damai. Dengan perkataan lain, Jepang memanfaatkan data tersebut untuk memakmurkan bangsanya.
 Perbedaan di antara berbagai dinas rahasia itu, diuraikan oleh Richard Deacon dalam bukunya yang berjudul “Menyingkap Dinas Rahasia Jepang”. Lalu, kapankah sejarah spionase Jepang itu berawal? Spionase Jepang telah dimulai semenjak 2.450 tahun yang silam, sejak Sun Tzu, ahli strategi Cina menyebarkan teknik-tekniknya di bidang spionase. Tetapi dalam perkembangannya, spionase Jepang bersifat unik, karena tidak saja terbatas untuk kepentingan di bidang politik serta pertahanan dan keamanan (militer), melainkan mencakup semua bidang termasuk masa depan yang mereka jangkau lewat peramalan. Peramalan yang kemudian berkembang menjadi futurologi yang jitu. Tepatlah bila Deacon menyebutnya dengan istilah “total intelligence”, atau intelijen total.
 Untuk memahami motivasi dinas rahasia Jepang itu, ada dua faktor menonjol yang menyangkut watak nasional bangsa Jepang, yang perlu diketahui. Pertama, semangat berdiri di atas kaki sendiri dan individualisme yang kuat menyebabkan Jepang selama berabad-abad memisahkan diri dari dunia luar. Ke dua, hasrat yang mendalam terhadap segala macam ilmu pengetahuan, yakni rasa ingin tahu yang telah menjadi pembawaan bangsa itu sejak lahir. Dalam buku itu diceritakan pula tentang spion-spion Jepang yang terkenal sepanjang zaman. Mereka menyamar sebagai nelayan, tukang potret, kuli, dan penunggu toko kelontong. Mereka melancarkan perang sandi. Mereka juga mengoperasikan rumah pelacuran.
 Aktivitas mereka antara lain terlihat pada rencana mayor Kuroki yang menyelamatkan Tsar Rusia Nicolaas II dan keluarganya di Yekaterinburg pada tahun 1918 dari dalam tahanan komunis, sekalipun usaha itu mengalami kegagalan; spionase yang dilancarkan oleh Mayor Jenderal Kenji Doihara dan agen wanita Yoshiko Kawashima, yang gemar menyamar sebagai laki-laki di Manchuria; spionase Angkatan Laut (Kaigun) Jepang di Amerika Serikat sebelum penyerangan atas pangkalan Angkatan Laut A.S. di Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941; dan kisah bintang film pelawak terkenal di zaman film bisu, Charlie Chaplin, yang kemudian ternyata adalah agen dinas rahasia bernama Toraichi Kono.
 Bagi kita di Indonesia, kiranya cukup menarik untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh petugas intelijen Jepang di Asia Tenggara, khususnya pada zaman Hindia-Belanda dulu. Deacon bercerita, bahwa pada tahun 1930-an ada sebuah tim opsir kesehatan Jepang yang diutus ke Hindia-Belanda untuk mengamati kondisi sanitasi dan statistik penyakit di kawasan ini. Laporan tim itu telah memungkinkan para penguasa Jepang untuk merencanakan, bagaimana upaya menghindari timbulnya penyakit di kalangan pasukan tentara mereka ketika terjadi penyerbuan pada tahun 1942. Seorang dokter Jepang dalam tim tadi, malahan menemukan hal lain dalam diskusi dengan para perwira KNIL Belanda ketika dilakukan sensus di beberapa rumah pelacuran setempat.
 Ternyata belakangan, pengusaha Jepang membuka sejumlah rumah pelacuran di Jawa, dengan tujuan untuk memancing dan kemudian merekrut orang-orang bumiputra yang bekerja dalam pemerintahan, sebagai mata-mata Jepang. Presiden direktur agen-agen ini adalah seorang saudagar terkemuka bernama Tomegoro Yoshizumi, yang kemudian diusir oleh penguasa Hindia-Belanda. Selain itu, kapal-kapal nelayan Jepang beroperasi sebagai barisan siaga, ketika intelijen Angkatan Laut mereka berada di sekitar Lautan Hindia.
 Sebuah laporan yang diterima pihak Belanda menyatakan, bahwa dua perwira cadangan Jepang menyamar sebagai tukang cuci (binatu), dengan harapan dapat menemukan dokumen yang tertinggal dalam saku pakaian seragam tropis orang-orang Belanda. Konsesi perkayuan yang diperoleh perusahaan Jepang dekat Balikpapan, dimanfaatkan pula untuk membuka jalur tanah hutan yang rencananya akan dijadikan landasan rahasia bagi pesawat-pesawat terbang Jepang kelak. Di samping itu, Jepang juga mperoleh data mengenai hampir semua landasan lapangan udara darurat Belanda. Itulah yang dikerjakan oleh jaringan mata-mata Jepang sebelum Perang Dunia II di Hindia-Belanda.
 Kempei Tai (polisi militer) Jepang dibentuk pada tahun 1881. Kempei Tai berkembang secara sangat berbeda dengan kebanyakan instansi polisi militer bangsa-bangsa lain. Ia akhirnya menjadi semacam bentuk kombinasi dari dinas kontra intelijen Inggris (MI-5), cabang khusus kepolisian, dan DST milik Prancis (intel intern). Sebagai sebuah kekuatan yang berdikari, kedudukannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan hubungannya dengan Angkatan Darat Jepang sendiri. Dalam Perang Dunia II, Kempei Tai sempat mematahkan Sorge, spion Uni Sovyet di Jepang ketika itu. Aktivitas spion Yoshikawa di Hawaii sebelum penyerangan atas Pearl Harbor, yaitu ia dapat mengetahui jenis dan jumlah kapal perang Amerika Serikat yang sedang berlabuh secara terinci, sehingga memudahkan aksi penyergapannya.
 Namun demikian, tidak selamanya dinas rahasia Jepang itu unggul. Mereka juga pernah bersikap kurang hati-hati, sehingga tanpa mereka sadari laporan para agennya itu telah dibuka-sandikan oleh pihak dinas rahasia Amerika Serikat. Salah satu akibat diketahuinya sandi Jepang oleh Amerika Serikat, yaitu berhasil disergapnya pesawat udara yang ditumpangi Laksamana Yamamoto di wilayah udara Rabaul, sehingga perencana serangan Angkatan Laut Jepang terhadap Pearl Harbor itu tewas.
  Warga Jepang Di-persona-non-grata-kan
 Sebelum meletusnya Perang Dunia II di kawasan Asia dan Pasifik, sebagian besar pengusaha warga Jepang telah menutup usaha mereka, lalu pulang ke tanah asalnya. Demikian halnya yang terjadi di wilayah residensi Manado. Akan tetapi, setelah Jepang menyerbu ke Manado-Minahasa di awal tahun 1942, sebagian besar di antara mereka kembali lagi sebagai perwira-perwira tentara pendudukan Jepang. Dengan kepulangan para pengusaha warga Jepang ke negara asalnya itu, maka di berbagai kota di seluruh kepulauan Nusantara, barang-barang dagangan di toko-toko Jepang seperti toko “De Zon” (matahari), diobral secara besar-besaran.
 Ketika itu pemerintah Hindia-Belanda mengambil tindakan politik terhadap warga Jepang yang berada di Hindia-Belanda, setelah pada tanggal 27 September 1940 pemerintah Jepang menyatakan sikap politiknya terhadap dunia dengan bergabung ke dalam “Pakta Tripartit” bersama Axis Rpma-Berlin (Nazi-Jerman dan Italia). Semenjak itu, pemerintah Hindia-Belanda mulai mempersona-non-gratakan para warga Jepang yang ada di Hindia-Belanda, termasuk pula yang berada di wilayah residensi Manado.
 Menjelang akhir tahun 1941, penguasa Hindia-Belanda mulai lagi mengadakan aksi penangkapan di Minahasa dan kota Manado. Kali ini, terhadap puluhan istri warga Jepang asal Minahasa. Mereka juga diinternir di kamp Sasaran, Tondano. Suami-suami mereka serta rekan-rekan sebangsanya, telah lebih dahulu dideportasi meninggalkan wilayah ini untuk kembali ke negara asalnya. Para istri dan anak-anak mereka yang imukimkan di kamp interniran itu tidak berlangsung lama. Sebelum tentara Jepang melakukan aksi invasi ke daratan Minahasa dan kota Manado, mereka sudah lebih dulu diberangkatkan ke pulau Jawa dan ditampung di Cianjur, Jawa Barat. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia-Belanda ketika itu dimaksudkan untuk mencegah timbulnya faktor X, yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat dan saling berhadapan dalam situasi perang itu. Pada akhir tahun itu juga, setelah Jepang berhasil menaklukkan Hindia-Belanda, semua keluarga Jepang keturunan Minahasa dipulangkan kembali ke kampung halaman mereka masing-masing oleh pemerintah Dai Nippon.
 Disadur dari tulisan alm. Jimmy A. Legoh
Disunting oleh mantan Pilot tempur TNI AU, Bpk Johanes Mundung

spaci� � n r � � `�� ans: 2; text-align: left; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px; -webkit-text-size-adjust: auto; -webkit-text-stroke-width: 0px; background-color: rgb(255, 255, 255); ">- Harutoki Wakana, pemegang hak guna usaha perkebunan kelapa dan karet di kampung Kalasei.

Para pengusaha Jepang itu telah agak lama bermukim dan mencari nafkah di wilayah keresidenan Manado yang subur ini. Mereka membuka aneka jenis usaha di bidang ekonomi di kota Manado dan kota-kota lainnya di Minahasa. Pergaulan mereka dengan masyarakat di daerah ini dapat dikatakan sangat baik, serasi dan harmonis. Bahkan lebih jauh dari itu, telah terjadi asimilasi berupa hubungan kawin-mawin antara warga Jepang dengan penduduk bumiputra. Secara kebetulan pula, kedua umat berlainan kebangsaan itu cenderung memiliki ciri-ciri lahiriah yang sama, seperti memiliki warna kulit kuning langsat.

Namun dibalik itu, para pengusaha Jepang tersebut umumnya memiliki tugas rangkap dan khusus: “tugas intelijen” dalam jaringan spionase pemerintah Dai Nippon!


Intelijen Jepang Sejak Masa Silam

Ilmu pengetahuan senantiasa menjadi landasan berpikir bagi Dinas Rahasia Jepang. Di antara semua bangsa di dunia, tidak ada yang melebihi hasrat bangsa Jepang dalam hal ingin menguasai ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Sejak membuka diri terhadap dunia Barat, Jepang telah meningkatkan diri menjadi salah satu kekuatan besar di dunia dengan cara menerapkan penghimpunan data intelijen demi tujuan damai. Dengan perkataan lain, Jepang memanfaatkan data tersebut untuk memakmurkan bangsanya.

Perbedaan di antara berbagai dinas rahasia itu, diuraikan oleh Richard Deacon dalam bukunya yang berjudul “Menyingkap Dinas Rahasia Jepang”. Lalu, kapankah sejarah spionase Jepang itu berawal? Spionase Jepang telah dimulai semenjak 2.450 tahun yang silam, sejak Sun Tzu, ahli strategi Cina menyebarkan teknik-tekniknya di bidang spionase. Tetapi dalam perkembangannya, spionase Jepang bersifat unik, karena tidak saja terbatas untuk kepentingan di bidang politik serta pertahanan dan keamanan (militer), melainkan mencakup semua bidang termasuk masa depan yang mereka jangkau lewat peramalan. Peramalan yang kemudian berkembang menjadi futurologi yang jitu. Tepatlah bila Deacon menyebutnya dengan istilah “total intelligence”, atau intelijen total.

Untuk memahami motivasi dinas rahasia Jepang itu, ada dua faktor menonjol yang menyangkut watak nasional bangsa Jepang, yang perlu diketahui. Pertama, semangat berdiri di atas kaki sendiri dan individualisme yang kuat menyebabkan Jepang selama berabad-abad memisahkan diri dari dunia luar. Ke dua, hasrat yang mendalam terhadap segala macam ilmu pengetahuan, yakni rasa ingin tahu yang telah menjadi pembawaan bangsa itu sejak lahir. Dalam buku itu diceritakan pula tentang spion-spion Jepang yang terkenal sepanjang zaman. Mereka menyamar sebagai nelayan, tukang potret, kuli, dan penunggu toko kelontong. Mereka melancarkan perang sandi. Mereka juga mengoperasikan rumah pelacuran.

Aktivitas mereka antara lain terlihat pada rencana mayor Kuroki yang menyelamatkan Tsar Rusia Nicolaas II dan keluarganya di Yekaterinburg pada tahun 1918 dari dalam tahanan komunis, sekalipun usaha itu mengalami kegagalan; spionase yang dilancarkan oleh Mayor Jenderal Kenji Doihara dan agen wanita Yoshiko Kawashima, yang gemar menyamar sebagai laki-laki di Manchuria; spionase Angkatan Laut (Kaigun) Jepang di Amerika Serikat sebelum penyerangan atas pangkalan Angkatan Laut A.S. di Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941; dan kisah bintang film pelawak terkenal di zaman film bisu, Charlie Chaplin, yang kemudian ternyata adalah agen dinas rahasia bernama Toraichi Kono.

Bagi kita di Indonesia, kiranya cukup menarik untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh petugas intelijen Jepang di Asia Tenggara, khususnya pada zaman Hindia-Belanda dulu. Deacon bercerita, bahwa pada tahun 1930-an ada sebuah tim opsir kesehatan Jepang yang diutus ke Hindia-Belanda untuk mengamati kondisi sanitasi dan statistik penyakit di kawasan ini. Laporan tim itu telah memungkinkan para penguasa Jepang untuk merencanakan, bagaimana upaya menghindari timbulnya penyakit di kalangan pasukan tentara mereka ketika terjadi penyerbuan pada tahun 1942. Seorang dokter Jepang dalam tim tadi, malahan menemukan hal lain dalam diskusi dengan para perwira KNIL Belanda ketika dilakukan sensus di beberapa rumah pelacuran setempat.

Ternyata belakangan, pengusaha Jepang membuka sejumlah rumah pelacuran di Jawa, dengan tujuan untuk memancing dan kemudian merekrut orang-orang bumiputra yang bekerja dalam pemerintahan, sebagai mata-mata Jepang. Presiden direktur agen-agen ini adalah seorang saudagar terkemuka bernama Tomegoro Yoshizumi, yang kemudian diusir oleh penguasa Hindia-Belanda. Selain itu, kapal-kapal nelayan Jepang beroperasi sebagai barisan siaga, ketika intelijen Angkatan Laut mereka berada di sekitar Lautan Hindia.

Sebuah laporan yang diterima pihak Belanda menyatakan, bahwa dua perwira cadangan Jepang menyamar sebagai tukang cuci (binatu), dengan harapan dapat menemukan dokumen yang tertinggal dalam saku pakaian seragam tropis orang-orang Belanda. Konsesi perkayuan yang diperoleh perusahaan Jepang dekat Balikpapan, dimanfaatkan pula untuk membuka jalur tanah hutan yang rencananya akan dijadikan landasan rahasia bagi pesawat-pesawat terbang Jepang kelak. Di samping itu, Jepang juga mperoleh data mengenai hampir semua landasan lapangan udara darurat Belanda. Itulah yang dikerjakan oleh jaringan mata-mata Jepang sebelum Perang Dunia II di Hindia-Belanda.

Kempei Tai (polisi militer) Jepang dibentuk pada tahun 1881. Kempei Tai berkembang secara sangat berbeda dengan kebanyakan instansi polisi militer bangsa-bangsa lain. Ia akhirnya menjadi semacam bentuk kombinasi dari dinas kontra intelijen Inggris (MI-5), cabang khusus kepolisian, dan DST milik Prancis (intel intern). Sebagai sebuah kekuatan yang berdikari, kedudukannya jauh lebih kuat dibandingkan dengan hubungannya dengan Angkatan Darat Jepang sendiri. Dalam Perang Dunia II, Kempei Tai sempat mematahkan Sorge, spion Uni Sovyet di Jepang ketika itu. Aktivitas spion Yoshikawa di Hawaii sebelum penyerangan atas Pearl Harbor, yaitu ia dapat mengetahui jenis dan jumlah kapal perang Amerika Serikat yang sedang berlabuh secara terinci, sehingga memudahkan aksi penyergapannya.

Namun demikian, tidak selamanya dinas rahasia Jepang itu unggul. Mereka juga pernah bersikap kurang hati-hati, sehingga tanpa mereka sadari laporan para agennya itu telah dibuka-sandikan oleh pihak dinas rahasia Amerika Serikat. Salah satu akibat diketahuinya sandi Jepang oleh Amerika Serikat, yaitu berhasil disergapnya pesawat udara yang ditumpangi Laksamana Yamamoto di wilayah udara Rabaul, sehingga perencana serangan Angkatan Laut Jepang terhadap Pearl Harbor itu tewas.


Warga Jepang Di-persona-non-grata-kan

Sebelum meletusnya Perang Dunia II di kawasan Asia dan Pasifik, sebagian besar pengusaha warga Jepang telah menutup usaha mereka, lalu pulang ke tanah asalnya. Demikian halnya yang terjadi di wilayah residensi Manado. Akan tetapi, setelah Jepang menyerbu ke Manado-Minahasa di awal tahun 1942, sebagian besar di antara mereka kembali lagi sebagai perwira-perwira tentara pendudukan Jepang. Dengan kepulangan para pengusaha warga Jepang ke negara asalnya itu, maka di berbagai kota di seluruh kepulauan Nusantara, barang-barang dagangan di toko-toko Jepang seperti toko “De Zon” (matahari), diobral secara besar-besaran.

Ketika itu pemerintah Hindia-Belanda mengambil tindakan politik terhadap warga Jepang yang berada di Hindia-Belanda, setelah pada tanggal 27 September 1940 pemerintah Jepang menyatakan sikap politiknya terhadap dunia dengan bergabung ke dalam “Pakta Tripartit” bersama Axis Rpma-Berlin (Nazi-Jerman dan Italia). Semenjak itu, pemerintah Hindia-Belanda mulai mempersona-non-gratakan para warga Jepang yang ada di Hindia-Belanda, termasuk pula yang berada di wilayah residensi Manado.

Menjelang akhir tahun 1941, penguasa Hindia-Belanda mulai lagi mengadakan aksi penangkapan di Minahasa dan kota Manado. Kali ini, terhadap puluhan istri warga Jepang asal Minahasa. Mereka juga diinternir di kamp Sasaran, Tondano. Suami-suami mereka serta rekan-rekan sebangsanya, telah lebih dahulu dideportasi meninggalkan wilayah ini untuk kembali ke negara asalnya. Para istri dan anak-anak mereka yang imukimkan di kamp interniran itu tidak berlangsung lama. Sebelum tentara Jepang melakukan aksi invasi ke daratan Minahasa dan kota Manado, mereka sudah lebih dulu diberangkatkan ke pulau Jawa dan ditampung di Cianjur, Jawa Barat. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia-Belanda ketika itu dimaksudkan untuk mencegah timbulnya faktor X, yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat dan saling berhadapan dalam situasi perang itu. Pada akhir tahun itu juga, setelah Jepang berhasil menaklukkan Hindia-Belanda, semua keluarga Jepang keturunan Minahasa dipulangkan kembali ke kampung halaman mereka masing-masing oleh pemerintah Dai Nippon.


Disadur dari tulisan alm. Jimmy A. Legoh
Disunting oleh mantan Pilot tempur TNI AU, Bpk Johanes Mundung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar