Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Ekspedisi dan Misi Intelijen ke Gorontalo


Ekspedisi dan Misi  Inheemsche Militie Manado  ke Gorontalo

Batalyon Inheemsche Militie Manado di bawah komandannya kapten J.H.L.A.C. De Swert, beristirahat selama beberapa hari di kampung Liyon, yang terletak di pesisir pantai. Petugas militer dan sipil di tempat itu belum mengambil langkah-langkah persiapan untuk menyediakan kapal motor dan perahu untuk tugas penyeberangan laut di teluk Tomini menuju pelabuhan Poso. Sementara pasukan beristirahat, kapten De Swert menginstruksikan kepada sersan Hendrik Alanos Adam dan lima orang anggota pasukan milisi, yaitu fuselir Engelbert Warouw, fuselir Karel Gerungan dan tiga orang rekan lainnya untuk melakukan pemantauan terhadap situasi kota Gorontalo, apakah kota itu telah jatuh ke dalam tangan pasukan Tentara Jepang atau masih berada dalam kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda.

Telah empat hari lamanya satuan petugas intelijen itu dinanti-nantikan hasil misi pengintaian mereka, namun mereka tidak kunjung kembali ke markas mobil Batalyon Inheemsche Militie di Liyon. Komandan batalyon itu mereka-reka, bahwa sersan Adam bersama kelima orang anggota pasukannya kemungkinan besar telah tertangkap oleh pasukan Tentara Jepang. Waktu itu juga kapten De Swertmemerintahkan kepada sersan Rompas dan pembantunya milisi Stanius Laus untuk mengirim berita kawat radiogram kepada TPC Schilmöller di kota Poso, bahwa satuan pasukan Batalyon Inheemsche Militie Manado siap menunggu kedatangan kapal motor dari Poso di Liyon.

Sementara itu kampung kecil di tepi pantai itu tampak telah berubah total suasana perkampungannya semenjak akhir bulan Januari yang lalu. Keadaannya tampak lebih ramai dari biasanya dan kesibukan berkembang dengan datangnya para pengungsi yang terdiri dari beberapa pejabat pemerintah sipil dan para keluarga mereka, antara lain istri dari kontrolir Manado yang berbaur dengan para istri pimpinan perusahaan swasta Belanda, Inggris, Denmark, dan lain-lain, diantaranya istri Tuan Beendirektur N.V. Moluksche Manado. Mereka semuanya terkumpul di Liyon untuk kemudian melakukan penyeberangan laut di teluk Tomini dengan menumpang kapal motor dan perahu rakyat menuju Poso. Rombongan keluarga sipil itu sempat diberangkatkan pada akhir Januari 1942.

Sementara kapten De Swert dan letnan I Van Daalen menantikan hasil tugas intelijen satuan sersanH.A. Adam dari Gorontalo, kedua komandan pasukan itu disodorkan sebuah berita kawat radiogram “Rahasia” dari Troepen commandant (TPC) mayor B.F.A. Schilmöller dari kota Poso, yang diterima oleh Stanius milisi sipil warga Belanda selaku petugas radiotelegrafis. Isi beritanya: “Pasukan BatalyonInheemsche Militie Manado agar bersiap untuk segera berangkat dengan KM Togian sesuai rencana.” Seterimanya berita yang sangat penting itu, kapten De Swert segera memerintahkan agar seluruh pasukan bersiap-siap untuk melaksanakan ekspedisi militer ke daerah tujuan, yaitu Poso.

Sersan Palit selaku kepala koki di dapur umum Batalyon dengan dibantu oleh rekan-rekannya antara lain spandri Kromodirono, spandri Koesman dan fuselir Kartarega yang berfungsi sebagai penjaga gudang dapur, sibuk mengatur makanan bagi anggota pasukan Batalyon Infantri Inheemsche Militie Manado yang pada waktu itu sedang mengasoh.Sementara itu sektor pengolahan pertanian rakyat di Liyon dan sekitarnya boleh dikata telah terhenti total. Rakyat tidak lagi memiliki peluang untuk bercocok tanam di lahan perkebunan masing-masing, karena mereka secara bergilir diberikan tugas oleh pihak pamongpraja setempat untuk membantu satuan-satuan pasukan dan para pengungsi sipil yang kini sedang terkumpul di kampung mereka itu. Perhatian penduduk dipusatkan pada pemberian bantuan logistik, seperti ikan laut, sayur-sayuran, singkong, buah kelapa, dsb. bagi keperluan satuan pasukan pertahanan dan para pengungsi dengan pembayaran uang tunai yang layak.
 Setiap saat baik pihak militer maupun sipil senantiasa menantikan kemungkinan terjadinya serangan oleh pasukan Tentara Jepang. Bagi rakyat, komunikasi dengan dunia luar telah terputus, tetapi tidak bagi pihak militer. Para nelayan telah enggan melaut untuk menangkap ikan sebagaimana lazimnya. Kapal perang Jepang sering mondar-mandir dari arah utara ke selatan atau sebaliknya di perairan teluk Tomini, baik di waktu siang maupun malam hari. Tanpa disadari kehadiran kapal-kapal perang itu telah memblokir rencana ekspedisi penyeberangan laut satuan pasukan pertahanan dan aparat pemerintahan yang kini berada di pantai kampung Liyon. Namun benarkah pihak militer Jepang telah mengetahui bahwa kampung itu telah dijadikan tempat konsentrasi musuh mereka di kala itu? Pertanyaan yang masih merupakan semacam dilema itu bakal terjawab dengan adanya aksi penyerbuan yang terjadi pada tanggal 28 Februari 1942, di mana sebuah kapal perang Jepang memasuki teluk Liyon sambil melepaskan tembakan-tembakan. 
Dalam misi intelijen yang dibebankan kepada sersan H.A. Adam, sesungguhnya terkandung nilai taktis yang akan menentukan langkah-langkah kebijaksanaan militer yang akan ditempuh oleh komandan batalyon Inheemsche Militie Manado kapten De Swert, dalam hubungan rencana pelaksanaan ekspedisi penyeberangan laut ke wilayah afdeling Poso. Kota Gorontalo pada waktu itu belum jatuh ke dalam kekuasaan Tentara Jepang. Namun demikian, komandan Stad Politie kota Gorontalo E. Coufertelah menyerahkan kekuasaannya kepada Nani Wartabone, R.M. Koesno Dhanupoyo danPendang Kalengkongan. Hal itu berarti bahwa sarana angkutan laut yang ada di sana sudah tidak dapat lagi dikerahkan ke Liyon. Situasi dan kondisi itu telah memberikan jawaban betapa semakin terjepitnya keadaan pasukan pertahanan. 
Kapal perang Jepang yang beroperasi di laut teluk Tomini tidak henti-hentinya mondar-mandir di perairan lepas pantai. Suatu blokade laut yang digalakkan sehingga sarana angkutan laut yang sangat dibutuhkan itu menjadi masalah yang rumit. Kembalinya sersan H.A. Adam ke Liyon mengalami kelambatan selama dua hari, dikarenakan salah satu anggota pasukannya terserang penyakit malaria. Ketika satuan tugas intelijen itu tiba kembali di Terminal “X”, ternyata sebagian anggota pasukan Batalyon Inheemsche Militie telah berangkat menuju Poso dengan kapal motor “Togian” dan perahu-perahu rakyat. Sedangkan mereka yang tertinggal merasa semakin cemas dengan perkembangan situasi yang semakin memburuk, sementara kapal-kapal perang Jepang tetap hilir-mudik di depan hidung mereka.
Bertolak dari situasi yang tidak menentu itu, sersan H.A. Adam bersama kelompok satuan pengintai itu belakangan bergerak sendiri ke arah utara untuk kemudian menyerahkan diri kepada komandan pasukan payung Jepang di Markas Pasukan Payung di kota Langowan, Minahasa. Fuselir Karel Gerungan sendiri menggabungkan diri dengan kelompok gerilya “pegunungan Lembean Tondano”, sedangkan rekan-rekan milisi lainnya dengan kekuatan sekitar satu seksi, bergerak menuju Gorontalo bersama beberapa orang tahanan politik, namun di sana terjebak dan menyerah ke dalam tangan para pejuang pelaksana kudeta dan pasukan korps marinir Jepang.

Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar