Ekspedisi dan Misi Inheemsche Militie Manado ke
Gorontalo
Batalyon Inheemsche Militie Manado di bawah
komandannya kapten J.H.L.A.C. De Swert, beristirahat selama beberapa hari
di kampung Liyon, yang terletak di pesisir pantai. Petugas militer dan sipil di
tempat itu belum mengambil langkah-langkah persiapan untuk menyediakan kapal
motor dan perahu untuk tugas penyeberangan laut di teluk Tomini menuju
pelabuhan Poso. Sementara pasukan beristirahat, kapten De Swert menginstruksikan
kepada sersan Hendrik Alanos Adam dan lima orang anggota pasukan
milisi, yaitu fuselir Engelbert Warouw, fuselir Karel Gerungan dan
tiga orang rekan lainnya untuk melakukan pemantauan terhadap situasi kota
Gorontalo, apakah kota itu telah jatuh ke dalam tangan pasukan Tentara Jepang
atau masih berada dalam kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda.
Telah empat hari lamanya satuan petugas intelijen itu
dinanti-nantikan hasil misi pengintaian mereka, namun mereka tidak kunjung
kembali ke markas mobil Batalyon Inheemsche Militie di Liyon.
Komandan batalyon itu mereka-reka, bahwa sersan Adam bersama kelima
orang anggota pasukannya kemungkinan besar telah tertangkap oleh pasukan Tentara
Jepang. Waktu itu juga kapten De Swertmemerintahkan kepada sersan Rompas dan
pembantunya milisi Stanius Laus untuk mengirim berita kawat radiogram
kepada TPC Schilmöller di kota Poso, bahwa satuan pasukan Batalyon Inheemsche
Militie Manado siap menunggu kedatangan kapal motor dari Poso di Liyon.
Sementara itu kampung kecil di tepi pantai itu tampak telah
berubah total suasana perkampungannya semenjak akhir bulan Januari yang lalu.
Keadaannya tampak lebih ramai dari biasanya dan kesibukan berkembang dengan
datangnya para pengungsi yang terdiri dari beberapa pejabat pemerintah sipil
dan para keluarga mereka, antara lain istri dari kontrolir Manado yang berbaur
dengan para istri pimpinan perusahaan swasta Belanda, Inggris, Denmark, dan lain-lain,
diantaranya istri Tuan Beendirektur N.V. Moluksche Manado. Mereka
semuanya terkumpul di Liyon untuk kemudian melakukan penyeberangan laut di
teluk Tomini dengan menumpang kapal motor dan perahu rakyat menuju Poso.
Rombongan keluarga sipil itu sempat diberangkatkan pada akhir Januari 1942.
Sementara kapten De Swert dan letnan I Van
Daalen menantikan hasil tugas intelijen satuan sersanH.A. Adam dari
Gorontalo, kedua komandan pasukan itu disodorkan sebuah berita kawat radiogram
“Rahasia” dari Troepen commandant (TPC) mayor B.F.A. Schilmöller dari
kota Poso, yang diterima oleh Stanius milisi sipil warga Belanda
selaku petugas radiotelegrafis. Isi beritanya: “Pasukan BatalyonInheemsche
Militie Manado agar bersiap untuk segera berangkat dengan KM Togian sesuai
rencana.” Seterimanya berita yang sangat penting itu, kapten De Swert segera
memerintahkan agar seluruh pasukan bersiap-siap untuk melaksanakan ekspedisi
militer ke daerah tujuan, yaitu Poso.
Sersan Palit selaku kepala koki di dapur umum
Batalyon dengan dibantu oleh rekan-rekannya antara lain spandri Kromodirono,
spandri Koesman dan fuselir Kartarega yang berfungsi
sebagai penjaga gudang dapur, sibuk mengatur makanan bagi anggota pasukan
Batalyon Infantri Inheemsche Militie Manado yang pada waktu itu
sedang mengasoh.Sementara itu sektor pengolahan pertanian rakyat di Liyon dan
sekitarnya boleh dikata telah terhenti total. Rakyat tidak lagi memiliki
peluang untuk bercocok tanam di lahan perkebunan masing-masing, karena mereka
secara bergilir diberikan tugas oleh pihak pamongpraja setempat untuk membantu
satuan-satuan pasukan dan para pengungsi sipil yang kini sedang terkumpul di
kampung mereka itu. Perhatian penduduk dipusatkan pada pemberian bantuan
logistik, seperti ikan laut, sayur-sayuran, singkong, buah kelapa, dsb. bagi
keperluan satuan pasukan pertahanan dan para pengungsi dengan pembayaran uang
tunai yang layak.
Setiap saat baik pihak militer maupun sipil senantiasa
menantikan kemungkinan terjadinya serangan oleh pasukan Tentara Jepang. Bagi
rakyat, komunikasi dengan dunia luar telah terputus, tetapi tidak bagi pihak
militer. Para nelayan telah enggan melaut untuk menangkap ikan sebagaimana
lazimnya. Kapal perang Jepang sering mondar-mandir dari arah utara ke selatan
atau sebaliknya di perairan teluk Tomini, baik di waktu siang maupun malam
hari. Tanpa disadari kehadiran kapal-kapal perang itu telah memblokir rencana
ekspedisi penyeberangan laut satuan pasukan pertahanan dan aparat pemerintahan
yang kini berada di pantai kampung Liyon. Namun benarkah pihak militer Jepang
telah mengetahui bahwa kampung itu telah dijadikan tempat konsentrasi musuh
mereka di kala itu? Pertanyaan yang masih merupakan semacam dilema itu bakal
terjawab dengan adanya aksi penyerbuan yang terjadi pada tanggal 28 Februari
1942, di mana sebuah kapal perang Jepang memasuki teluk Liyon sambil melepaskan
tembakan-tembakan.
Dalam misi intelijen yang dibebankan kepada sersan H.A.
Adam, sesungguhnya terkandung nilai taktis yang akan menentukan langkah-langkah
kebijaksanaan militer yang akan ditempuh oleh komandan batalyon Inheemsche
Militie Manado kapten De Swert, dalam hubungan rencana pelaksanaan
ekspedisi penyeberangan laut ke wilayah afdeling Poso. Kota Gorontalo pada
waktu itu belum jatuh ke dalam kekuasaan Tentara Jepang. Namun demikian,
komandan Stad Politie kota Gorontalo E. Coufertelah menyerahkan
kekuasaannya kepada Nani Wartabone, R.M. Koesno Dhanupoyo danPendang
Kalengkongan. Hal itu berarti bahwa sarana angkutan laut yang ada di sana sudah
tidak dapat lagi dikerahkan ke Liyon. Situasi dan kondisi itu telah memberikan
jawaban betapa semakin terjepitnya keadaan pasukan pertahanan.
Kapal perang Jepang yang beroperasi di laut teluk Tomini
tidak henti-hentinya mondar-mandir di perairan lepas pantai. Suatu blokade laut
yang digalakkan sehingga sarana angkutan laut yang sangat dibutuhkan itu
menjadi masalah yang rumit. Kembalinya sersan H.A. Adam ke Liyon
mengalami kelambatan selama dua hari, dikarenakan salah satu anggota pasukannya
terserang penyakit malaria. Ketika satuan tugas intelijen itu tiba kembali di Terminal
“X”, ternyata sebagian anggota pasukan Batalyon Inheemsche Militie telah
berangkat menuju Poso dengan kapal motor “Togian” dan perahu-perahu rakyat.
Sedangkan mereka yang tertinggal merasa semakin cemas dengan perkembangan
situasi yang semakin memburuk, sementara kapal-kapal perang Jepang tetap
hilir-mudik di depan hidung mereka.
Bertolak dari situasi yang tidak menentu itu, sersan H.A.
Adam bersama kelompok satuan pengintai itu belakangan bergerak sendiri ke
arah utara untuk kemudian menyerahkan diri kepada komandan pasukan payung
Jepang di Markas Pasukan Payung di kota Langowan, Minahasa. Fuselir Karel
Gerungan sendiri menggabungkan diri dengan kelompok gerilya “pegunungan
Lembean Tondano”, sedangkan rekan-rekan milisi lainnya dengan kekuatan sekitar
satu seksi, bergerak menuju Gorontalo bersama beberapa orang tahanan politik,
namun di sana terjebak dan menyerah ke dalam tangan para pejuang pelaksana
kudeta dan pasukan korps marinir Jepang.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan
disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar