Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II -Kontak Tembak di Selet Sosor Gunung Kaweng


Keadaan di daerah Minahasa nampaknya belum sepenuhnya dikuasai oleh pihak Tentara Jepang. Rumah pasanggrahan yang terletak di pusat kawasan perkampungan Kakas, kini telah dijadikan Markas Pasukan Payung Tentara Jepang. Suasana kesibukan pada jam-jam dinas berjalan terus, seperti apel bendera di halaman Markas Pasukan Payung itu, mengadakan kegiatan kontak kerja dengan Markas Komando Pasukan Payung di kota Langowan dan Markas Pasukan Marinir di kota Tondano. Suatu gejala bahwa keadaan perang memang belum selesai dan berakhir.
 Pada waktu pasukan payung Jepang menguasai wilayah Kakas, umumnya rakyat masih berada di tempat pengungsian. Kakas masih kosong melompong. Tsuyaku atau tolk (juru bahasa) anggota pasukan payung Jepang yang bernama Tahabata adalah bekas pemilik sebuah toko di Langowan selama lebih kurang lima belas tahun sebelum pecah Perang Dunia II. Menghadapi keadaan kota Kakas yang masih saja sepi itu, Tahabata pun mulai mengumpulkan penduduk setempat dan ternyata berhasil, hal mana tiada lain karena sang tolk telah cukup dikenal oleh penduduk, walaupun belum semua orang berminat untuk kembali ke kampung mereka. Hubungan sosial antara pihak pasukan payung Jepang dengan masyarakat setempat dapat dikatakan belum intim. Ketika itu belum tercipta saling pengertian antara dua bangsa yang memang berbeda budayanya. Umumnya masih digunakan bahasa mimik atau isyarat dalam berkomunikasi, bahkan seringkali masih menimbulkan salah pengertian di antara kedua belah pihak yang berbeda budayanya itu.
 Sebagai perkenalan pertama untuk dapat menarik simpati rakyat, sang tolk menantang para penduduk untuk tidak perlu takut-takut berhadapan dengan anggota pasukan Tentara Jepang. “Warna kulit orang Minahasa sama-sama dengan warna kulit orang Jepang”, demikianlah kalimat kampanye yang sederhana itu berhasil menarik simpati rakyat untuk kembali berkumpul di rumah, di kampung halaman mereka masing-masing. Penduduk memang ingin sekali mengetahui serta menyaksikan dari dekat seperti apa sebenarnya pasukan Tentara Jepang itu, selain tentunya ingin melihat keadaan rumah masing-masing yang mereka tinggalkan sebelumnya. Lebih dari itu, masyarakat setempat umumnya ingin mengetahui apa yang bakal terjadi dengan kehadiran Tentara Jepang yang masih serba asing itu di kampung halaman mereka, Kakas. Rakyat pun mulai diajarkan beberapa patah kata bahasa Jepang yang dianggap penting, seperti “konbanwa” (selamat malam), “konnichiwa” (selamat siang), “ohayo gozaima(t)su” (selamat pagi), “sayonara” (selamat jalan atau selamat tinggal), “hai” (ya, ada, betul), dan “nai” (tidak).
 Pasukan payung Jepang itu terkenal berbudi baik di mata rakyat, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang berperilaku a-sosial dan a-moral di luar batas norma sopan-santun. Opsir bawahanAraki adalah salah satu di antaranya. Opsir bawahan paratrup ini doyan memukul rakyat tanpa pandang bulu, benar atau salah dalam cara menyampaikan penghormatan kepada serdadu Jepang. Apa saja bentuk hukuman yang dikehendakinya, ia perintahkan untuk dilaksanakan, misalnya disuruh kembali lagi ke tempat semula arah datangnya yang bersangkutan, lalu melintas sambil mengulangi memberikan hormat.
 Namun menurut keterangan rekan-rekannya dan perwira atasannya, pikiran Araki agak terganggu dikarenakan salah seorang komandan pasukan payung yang tewas di medan pertempuran di pangkalan udara Kalawiran pada tanggal 11 Januari yang baru lalu, adalah kakak kandungnya sendiri. Selain itu, Araki pun sempat terkena tembakan di bagian kepalanya sewaktu terlibat pertempuran di Sela Im Banua, Kakas. Ketika itu sebutir peluru senapan karaben yang ditembakkan oleh pasukan pertahanan KNIL sempat menembusi topi bajanya, namun beruntung belum sampai mematikan. Jadi,Araki mungkin menjadi agak sinting!
 Pada bulan pertama tahun kalender 1942, ada dua warga masyarakat di Kakas yang ditahan di dalam salah satu ruangan kamar tahanan di Markas Pasukan Payung Jepang. Kedua orang tahanan itu masing-masing bernama Jus Salangka dan Engko Kumendong, seorang mantan karyawan BPM. Kedua-duanya kemudian mengalami nasib malang, hanya akibat salah paham. Peristiwa yang menimpa diri Jus Salangka di hari yang naas itu terjadi sedemikian cepat dan tidak terduga sama sekali sebelumnya. Warna kulit si pemuda itu dapat dikatakan hampir sama dengan warna kulit orang Belanda totok, karena memang ia adalah seorang albino, yang di Minahasa lebih dikenal dengan istilah “budo'”.
 Pemuda itu rupanya ditanyai oleh salah seorang serdadu pasukan payung Jepang yang sedang melakukan patroli, “Waranda-kah?” yang maksudnya apakah si pemuda itu orang Belanda. Jus Salangka secara spontan menjawab “Hai!” (Iya), sedangkan seharusnya ia menjawab “Nai! Sama-sama kuri” (Tidak! Kulit kita sama). Namun pemuda yang malang itu sebenarnya hendak memberikan jawaban “sama-sama kuri”, tetapi dalam hati kecilnya ia mungkin merasa bertentangan dengan keadaan dirinya yang sebenarnya, yang memang albino itu. Karena warna kulitnya jauh lebih putih daripada warna kulit kuning langsat bangsa Jepang, pemuda itu pun akhirnya telah menjadi korban perang!
 Pasukan Tentara Jepang meskipun telah berhasil dalam penguasaan wilayah dan masyarakat di Kakas, namun hal itu belum bisa berarti bahwa irama perang telah selesai dimainkan oleh pihak lawan mereka, Tentara KNIL. Sekelompok kecil dari gabungan satuan pasukan pertahanan masih bercokol dan merajai perkampungan dan kawasan hutan yang berada di daerah pedalaman Minahasa. Serdadu-serdadu itu belum berniat untuk menyerahkan diri kepada sang penguasa baru, Tentara Jepang. Satuan yang berkekuatan setengah brigade plus ex-pasukan pertahanan pangkalan udara Kalawiran, pangkalan udara amfibi Tasuka, kubu pertahanan Sela Im Banua Kakas dan pertahanan Km-17/Km-18 Tinoor, beranggotakan sersan Rompas, sersan Inarai, sersan Sumolang, sersan Manueke, kopralAbner Sangkaeng, kopral Nender, spandri Jan Kaloh, spandri Wonua, dan spandri Timbongoldari satuan Reservekorps dan Beroepsmilitair telah membangun pertahanan sementara di suatu lokasi bernama “Selet Sosor” yang terletak di kaki bagian barat gunung Kaweng, di sebelah selatan pegunungan Lembean di wilayah onderdistrik Kakas.
 Keberadaan serdadu-serdadu itu akhirnya tercium oleh komandan markas pasukan payung di Kakas maupun di markas komandonya di kota Langowan. Seorang pemuda remaja bernama Goan (Gerson) Sangkaeng, ditugaskan sebagai kurir oleh serdadu pasukan payung Jepang yang bermarkas di Kakas, dan kepadanya diserahkan sepucuk surat “rahasia” oleh Araki yang ditujukan kepada satuan brigade pasukan gerilya KNIL yang berada di Selet Sosor itu. Surat yang dibuat oleh komandan pasukan payung itu berisi ajakan yang bersifat ultimatum untuk segera menyerahkan diri. Namun surat itu tidak digubris, bahkan sebaliknya yang dipersoalkan hanyalah berkisar pada tindakan-tindakan negatif serdadu Jepang terhadap sebagian rakyat.
 Sebagai reaksi atas tidak adanya jawaban terhadap ultimatum itu, komandan pasukan payung di Markas Komando Langowan, letnan kolonel marinir pasukan payung Horiuchi, memutuskan perlunya segera dilakukan operasi penumpasan terhadap lawannya itu. Sekitar satu kompi pasukan gabungan Tentara Jepang yang terdiri dari pasukan payung dan pasukan marinir (yang didatangkan dari Tondano), dikerahkan untuk menumpas satuan gerilya KNIL yang dinilai sebagai kelompok pembangkang, karena tidak taat pada sang penguasa baru, Tentara Jepang.
 Puncak gunung Kaweng sedang bermandikan embun putih kelabu. Hujan gerimis pun mulai turun membasahi paruh hutan yang berbukit-bukit itu. Dengan bantuan penunjuk jalan, satuan kompi penggempur Tentara Jepang berhasil tiba di tempat tujuan, yaitu Selet Sosor. Kontak tembak pun meletus, pertempuran berawal dengan diprakarsai oleh satuan brigade pasukan gerilya. Pertempuran terjadi sedemikian seru di pagi hari tanggal 28 Januari 1942 itu. Dua pihak kekuatan pasukan reguler yang profesional sedang beradu nyawa untuk mempertahankan kehormatan, kekuasaan dan keberadaan masing-masing di bumi Toar-Lumimuut. Gerakan kucing-kucingan terjadi di antara lembah dan bukit-bukit berhutan.
 Pihak penyerang seakan-akan tidak lagi menghiraukan segala pengalaman pahit yang pernah mereka derita di front-front pertempuran sebelumnya, seperti pertempuran Km-17/Km-18 Tinoor, Gunung Potong, pangkalan udara Kalawiran, atau lain-lain tempat di Manado dan daerah Minahasa. Para serdadu Jepang hanya mengandalkan semangat, kekuatan personil dan persenjataan mereka yang lebih modern dan tangguh. Namun mereka nampaknya telah lupa, bahwa musuh yang mereka hadapi pada detik-detik itu adalah lawan yang sama, yaitu pasukan elit KNIL yang terkenal sebagai para penembak jitu! Maka korban pun mulai berjatuhan di kedua belah pihak yang sedang bertempur itu. Pasukan Jepang maju terus sambil melancarkan aksi gerakan pengepungan yang ketat untuk melumpuhkan kubu-kubu pertahanan lawan mereka yang berada di puncak bukit Selet Sosor itu. Namun pekikan “kumukuk” dan “I Yayat U Santi” masih saja tetap terdengar di puncak bukit dan menggema ke lembah-lembah perbukitan tempat ajang pertempuran. Tiga serdadu pasukanReservekorps masih tetap nekad bertahan terus sekalipun telah digempur habis-habisan dan meskipun mereka itu hanya bersenjatakan senapan karaben. Sedangkan rekan-rekan mereka lainnya tengah berusaha melakukan terobosan untuk dapat meloloskan diri dari kepungan yang mematikan.
 Akhirnya, ketiga serdadu pasukan gerilya yang militan dan heroik itu dilalap oleh peluru-peluru senapan serdadu pasukan payung Jepang. Walaupun demikian, pihak pasukan penyerang itu terpaksa harus menanggung korban yang tewas sebanyak 42 serdadu di pihak mereka, suatu bayaran yang cukup mahal bagi pasukan payung Tentara Jepang.Sersan Sumolang, sersan Manueke, kopral Abner Sangkaeng, kopral Nender, spandri Jan Kaloh, dan spandri Wonua, berhasil dengan selamat meloloskan diri dan mengundurkan diri ke arah daerah Minahasa Selatan hingga tiba di kampung Karimbow. Sebaliknya, sersan Rompas, sersan Inarai dan spandri Timbongol, ketiga pahlawan yang gugur ini dikebumikan langsung di dalam liang kubu pertahanan mereka, dimonumenkan tanpa upacara seremonial!
  Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar