Keadaan di daerah Minahasa nampaknya belum sepenuhnya
dikuasai oleh pihak Tentara Jepang. Rumah pasanggrahan yang terletak di pusat
kawasan perkampungan Kakas, kini telah dijadikan Markas Pasukan Payung Tentara
Jepang. Suasana kesibukan pada jam-jam dinas berjalan terus, seperti apel
bendera di halaman Markas Pasukan Payung itu, mengadakan kegiatan kontak kerja
dengan Markas Komando Pasukan Payung di kota Langowan dan Markas Pasukan
Marinir di kota Tondano. Suatu gejala bahwa keadaan perang memang belum selesai
dan berakhir.
Pada waktu pasukan payung Jepang menguasai wilayah
Kakas, umumnya rakyat masih berada di tempat pengungsian. Kakas masih kosong
melompong. Tsuyaku atau tolk (juru bahasa) anggota pasukan
payung Jepang yang bernama Tahabata adalah bekas pemilik sebuah toko
di Langowan selama lebih kurang lima belas tahun sebelum pecah Perang Dunia II.
Menghadapi keadaan kota Kakas yang masih saja sepi itu, Tahabata pun mulai
mengumpulkan penduduk setempat dan ternyata berhasil, hal mana tiada lain
karena sang tolk telah cukup dikenal oleh penduduk, walaupun belum
semua orang berminat untuk kembali ke kampung mereka. Hubungan sosial antara
pihak pasukan payung Jepang dengan masyarakat setempat dapat dikatakan belum
intim. Ketika itu belum tercipta saling pengertian antara dua bangsa yang
memang berbeda budayanya. Umumnya masih digunakan bahasa mimik atau isyarat
dalam berkomunikasi, bahkan seringkali masih menimbulkan salah pengertian di
antara kedua belah pihak yang berbeda budayanya itu.
Sebagai perkenalan pertama untuk dapat menarik simpati
rakyat, sang tolk menantang para penduduk untuk tidak perlu takut-takut
berhadapan dengan anggota pasukan Tentara Jepang. “Warna kulit orang Minahasa
sama-sama dengan warna kulit orang Jepang”, demikianlah kalimat kampanye yang
sederhana itu berhasil menarik simpati rakyat untuk kembali berkumpul di rumah,
di kampung halaman mereka masing-masing. Penduduk memang ingin sekali
mengetahui serta menyaksikan dari dekat seperti apa sebenarnya pasukan Tentara
Jepang itu, selain tentunya ingin melihat keadaan rumah masing-masing yang
mereka tinggalkan sebelumnya. Lebih dari itu, masyarakat setempat umumnya ingin
mengetahui apa yang bakal terjadi dengan kehadiran Tentara Jepang yang masih
serba asing itu di kampung halaman mereka, Kakas. Rakyat pun mulai diajarkan
beberapa patah kata bahasa Jepang yang dianggap penting, seperti “konbanwa”
(selamat malam), “konnichiwa” (selamat siang), “ohayo gozaima(t)su” (selamat
pagi), “sayonara” (selamat jalan atau selamat tinggal), “hai” (ya, ada, betul),
dan “nai” (tidak).
Pasukan payung Jepang itu terkenal berbudi baik di
mata rakyat, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang berperilaku a-sosial
dan a-moral di luar batas norma sopan-santun. Opsir bawahanAraki adalah
salah satu di antaranya. Opsir bawahan paratrup ini doyan memukul rakyat tanpa
pandang bulu, benar atau salah dalam cara menyampaikan penghormatan kepada
serdadu Jepang. Apa saja bentuk hukuman yang dikehendakinya, ia perintahkan
untuk dilaksanakan, misalnya disuruh kembali lagi ke tempat semula arah
datangnya yang bersangkutan, lalu melintas sambil mengulangi memberikan hormat.
Namun menurut keterangan rekan-rekannya dan perwira
atasannya, pikiran Araki agak terganggu dikarenakan salah seorang
komandan pasukan payung yang tewas di medan pertempuran di pangkalan udara
Kalawiran pada tanggal 11 Januari yang baru lalu, adalah kakak kandungnya
sendiri. Selain itu, Araki pun sempat terkena tembakan di bagian kepalanya
sewaktu terlibat pertempuran di Sela Im Banua, Kakas. Ketika itu sebutir peluru
senapan karaben yang ditembakkan oleh pasukan pertahanan KNIL sempat menembusi
topi bajanya, namun beruntung belum sampai mematikan. Jadi,Araki mungkin
menjadi agak sinting!
Pada bulan pertama tahun kalender 1942, ada dua warga
masyarakat di Kakas yang ditahan di dalam salah satu ruangan kamar tahanan di
Markas Pasukan Payung Jepang. Kedua orang tahanan itu masing-masing bernama Jus
Salangka dan Engko Kumendong, seorang mantan karyawan BPM.
Kedua-duanya kemudian mengalami nasib malang, hanya akibat salah paham.
Peristiwa yang menimpa diri Jus Salangka di hari yang naas itu
terjadi sedemikian cepat dan tidak terduga sama sekali sebelumnya. Warna kulit
si pemuda itu dapat dikatakan hampir sama dengan warna kulit orang Belanda
totok, karena memang ia adalah seorang albino, yang di Minahasa lebih
dikenal dengan istilah “budo'”.
Pemuda itu rupanya ditanyai oleh salah seorang serdadu
pasukan payung Jepang yang sedang melakukan patroli, “Waranda-kah?” yang
maksudnya apakah si pemuda itu orang Belanda. Jus Salangka secara
spontan menjawab “Hai!” (Iya), sedangkan seharusnya ia menjawab “Nai! Sama-sama
kuri” (Tidak! Kulit kita sama). Namun pemuda yang malang itu sebenarnya hendak
memberikan jawaban “sama-sama kuri”, tetapi dalam hati kecilnya ia mungkin
merasa bertentangan dengan keadaan dirinya yang sebenarnya, yang memang albino itu.
Karena warna kulitnya jauh lebih putih daripada warna kulit kuning langsat
bangsa Jepang, pemuda itu pun akhirnya telah menjadi korban perang!
Pasukan Tentara Jepang meskipun telah berhasil dalam
penguasaan wilayah dan masyarakat di Kakas, namun hal itu belum bisa berarti
bahwa irama perang telah selesai dimainkan oleh pihak lawan mereka, Tentara KNIL.
Sekelompok kecil dari gabungan satuan pasukan pertahanan masih bercokol dan
merajai perkampungan dan kawasan hutan yang berada di daerah pedalaman
Minahasa. Serdadu-serdadu itu belum berniat untuk menyerahkan diri kepada sang
penguasa baru, Tentara Jepang. Satuan yang berkekuatan setengah brigade plus
ex-pasukan pertahanan pangkalan udara Kalawiran, pangkalan udara amfibi Tasuka,
kubu pertahanan Sela Im Banua Kakas dan pertahanan Km-17/Km-18 Tinoor,
beranggotakan sersan Rompas, sersan Inarai, sersan Sumolang,
sersan Manueke, kopralAbner Sangkaeng, kopral Nender, spandri Jan
Kaloh, spandri Wonua, dan spandri Timbongoldari satuan Reservekorps dan Beroepsmilitair telah
membangun pertahanan sementara di suatu lokasi bernama “Selet Sosor” yang
terletak di kaki bagian barat gunung Kaweng, di sebelah selatan pegunungan
Lembean di wilayah onderdistrik Kakas.
Keberadaan serdadu-serdadu itu akhirnya tercium oleh
komandan markas pasukan payung di Kakas maupun di markas komandonya di kota
Langowan. Seorang pemuda remaja bernama Goan (Gerson) Sangkaeng,
ditugaskan sebagai kurir oleh serdadu pasukan payung Jepang yang bermarkas di
Kakas, dan kepadanya diserahkan sepucuk surat “rahasia” oleh Araki yang
ditujukan kepada satuan brigade pasukan gerilya KNIL yang berada di Selet Sosor
itu. Surat yang dibuat oleh komandan pasukan payung itu berisi ajakan yang
bersifat ultimatum untuk segera menyerahkan diri. Namun surat itu tidak
digubris, bahkan sebaliknya yang dipersoalkan hanyalah berkisar pada tindakan-tindakan
negatif serdadu Jepang terhadap sebagian rakyat.
Sebagai reaksi atas tidak adanya jawaban terhadap
ultimatum itu, komandan pasukan payung di Markas Komando Langowan, letnan
kolonel marinir pasukan payung Horiuchi, memutuskan perlunya segera dilakukan
operasi penumpasan terhadap lawannya itu. Sekitar satu kompi pasukan gabungan
Tentara Jepang yang terdiri dari pasukan payung dan pasukan marinir (yang
didatangkan dari Tondano), dikerahkan untuk menumpas satuan gerilya KNIL yang
dinilai sebagai kelompok pembangkang, karena tidak taat pada sang penguasa
baru, Tentara Jepang.
Puncak gunung Kaweng sedang bermandikan embun putih
kelabu. Hujan gerimis pun mulai turun membasahi paruh hutan yang berbukit-bukit
itu. Dengan bantuan penunjuk jalan, satuan kompi penggempur Tentara Jepang
berhasil tiba di tempat tujuan, yaitu Selet Sosor. Kontak tembak pun
meletus, pertempuran berawal dengan diprakarsai oleh satuan brigade pasukan
gerilya. Pertempuran terjadi sedemikian seru di pagi hari tanggal 28 Januari 1942
itu. Dua pihak kekuatan pasukan reguler yang profesional sedang beradu nyawa
untuk mempertahankan kehormatan, kekuasaan dan keberadaan masing-masing di bumi
Toar-Lumimuut. Gerakan kucing-kucingan terjadi di antara lembah dan bukit-bukit
berhutan.
Pihak penyerang seakan-akan tidak lagi menghiraukan
segala pengalaman pahit yang pernah mereka derita di front-front pertempuran
sebelumnya, seperti pertempuran Km-17/Km-18 Tinoor, Gunung Potong, pangkalan
udara Kalawiran, atau lain-lain tempat di Manado dan daerah Minahasa. Para
serdadu Jepang hanya mengandalkan semangat, kekuatan personil dan persenjataan
mereka yang lebih modern dan tangguh. Namun mereka nampaknya telah lupa, bahwa
musuh yang mereka hadapi pada detik-detik itu adalah lawan yang sama, yaitu
pasukan elit KNIL yang terkenal sebagai para penembak jitu! Maka korban pun
mulai berjatuhan di kedua belah pihak yang sedang bertempur itu. Pasukan Jepang
maju terus sambil melancarkan aksi gerakan pengepungan yang ketat untuk
melumpuhkan kubu-kubu pertahanan lawan mereka yang berada di puncak bukit Selet
Sosor itu. Namun pekikan “kumukuk” dan “I Yayat U Santi” masih saja tetap
terdengar di puncak bukit dan menggema ke lembah-lembah perbukitan tempat ajang
pertempuran. Tiga serdadu pasukanReservekorps masih tetap nekad bertahan
terus sekalipun telah digempur habis-habisan dan meskipun mereka itu hanya
bersenjatakan senapan karaben. Sedangkan rekan-rekan mereka lainnya tengah
berusaha melakukan terobosan untuk dapat meloloskan diri dari kepungan yang
mematikan.
Akhirnya, ketiga serdadu pasukan gerilya yang militan
dan heroik itu dilalap oleh peluru-peluru senapan serdadu pasukan payung
Jepang. Walaupun demikian, pihak pasukan penyerang itu terpaksa harus
menanggung korban yang tewas sebanyak 42 serdadu di pihak mereka, suatu bayaran
yang cukup mahal bagi pasukan payung Tentara Jepang.Sersan Sumolang,
sersan Manueke, kopral Abner Sangkaeng, kopral Nender, spandri Jan
Kaloh, dan spandri Wonua, berhasil dengan selamat meloloskan diri dan
mengundurkan diri ke arah daerah Minahasa Selatan hingga tiba di kampung
Karimbow. Sebaliknya, sersan Rompas, sersan Inarai dan spandri Timbongol,
ketiga pahlawan yang gugur ini dikebumikan langsung di dalam liang kubu
pertahanan mereka, dimonumenkan tanpa upacara seremonial!
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre
Legoh dan disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar