Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Batalyon Inheemsche Militie Tiba di Poso


Rombongan Batalyon Inheemsche Militie Manado tiba di pelabuhan Poso di malam hari pada sekitar tanggal 25 Februari 1942. Komandan batalyon kapten J.H.L.A.C. De Swert dan wakilnya letnan IW.H.J.E. Van Daalen bersama pasukannya disambut di pelabuhan oleh TPC mayor B.F.A. Schilmöller, residen F.C.H. Hirschmann, yang menggantikan residen Van Rijn, asisten residenL.C.J. Rijsdijk yang menggantikan asisten residen Jan Jurian Mendelaar, kontrolir H.J. Van Schravendijk, bestuursassistent Wim S. Warouw, dokter A.G.J. Kandouw, kommies Katili, jaksaTheodorus Polii, jaksa Barends Pontoh, kepala kantor pos Umboh, school opziener (penilik sekolah) Marthin Supit, Tuan Raja Talasa, serta para pemuka masyarakat lainnya.

Pasukan pertahanan tersebut langsung masuk tangsi militer yang masih dalam keadaan utuh, karena tidak sempat terkena gempuran bom-bom pesawat pembom-tukik Jepang. Tangsi itu juga kosong karena pasukan Beroepsmilitair yang sebelumnya bertugas di kota Poso, telah dialihtugaskan ke kota Palu, sedangkan sebagiannya lagi telah bergabung kembali dengan induk pasukan yang bermarkas di kota Kolonodale di bawah pimpinan komandan detasemen pertahanan letnan I J.A. De Jong.
Badai angin utara penyebar iklim peperangan dengan jatuhnya kota Manado dan kota-kota di daerah Minahasa, telah menghembus dan terukir pada roman muka para serdadu yang kini berstatus “serdadu profesional” dan bukan sekedar serdadu milisi belaka. Kepedihan juga terbayang mengenangkan nasib para aparat pemerintah dan kehidupan masyarakat umum di sana yang kini hidup di bawah telapak penguasa aru, Tentara Jepang. Seribu satu kenangan indah kini dibayangi oleh bayangan-bayangan hitam dari pasukan penyerbu dari negara Sakura itu. Namun bayangan hitam itu sama sekali tidak tampak efek destruktifnya di dalam suasana pertemuan pada saat kedatangan rombongan pasukan Batalyon Inheemsche Militie Manado itu di kota Poso. Memang serdadu-serdadu muda belia itu telah bertekad untuk memberikan kontribusi, ikut berperan dan memetik pengalaman dalam Perang Dunia II itu.
Bukankah para serdadu dari ujung utara Sulawesi itu telah terseleksi secara alamiah dan telah ditakdirkan untuk berjuang di tempat yang masih serba baru itu? Sebagian besar rekan-rekan mereka dari batalyon tersebut memang belum ditakdirkan untuk dapat menyeberangi laut dari Liyon ke Poso. Rekan-rekan seangkatan mereka yang tertinggal itu kini berada dalam keadaan kocar-kacir tanpa komando, lagi pula keadaannya tidak aman karena sewaktu-waktu situasi bisa berubah total akibat diobrak-abrik oleh gempuran meriam kapal perang Jepang di Terminal “X” Liyon.
Banyak di antara para serdadu milisi itu terpaksa meninggalkan daerah itu dan akhirnya melaporkan diri ke pos-pos pasukan Jepang di Kotamobagu, Belang, Langowan dan tempat lainnya di Minahasa, setelah bergemanya pengumuman kapitulasi berupa “Pernyataan Kalah Perang” kepada Angkatan Perang Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, yang dinyatakan oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten di kota Bandung. Tetapi ada juga sebagian pasukan, yaitu serdadu-serdadu yang tidak berniat melaporkan diri, menghilang dengan begitu saja tanpa diketahui rimbanya dan tahu-tahu muncul dan “bergaya” kembali setelah Jepang kalah perang.
Sebelum pendudukan Jepang, di teritorial residensi Manado terdapat para tahanan politik, baik yang berdiam di dalam kota maupun di luar kota, yang diciduk oleh petugas Stad Politie dan Veld PolitieHindia-Belanda atas perintah pemerintah di kala itu. Ventje A.B.H. Waworuntu, salah seorang di antara para tokoh perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, ketika itu ditangkap di Noonganonderafdeling Minahasa, di saat ia sedang berkumpul bersama istrinya, Nicolina Juliana Pandeiroot dan keempat orang anaknya Jolly, Johnny, Winny dan Julie.
Politikus yang lahir pada tanggal 4 November 1891 itu bertugas sebagai komandan Vernielingskorpssesuai ketentuan burgelijke dienstplicht (dinas wajib sipil) dan masih menjabat sebagai unsur pimpinan pada lembaga Minahasa Raad, yang dipilih melalui pemilihan umum oleh rakyat daerah Minahasa. Dalam eselon pemerintahan kota, Ventje Waworuntu pernah menjabat sebagai Directeur Gemeente Werken (direktur tatakota) Manado dan pernah pula menjabat sebagai Locoburgemeester (pejabat pengganti walikota) di masa jabatan walikota dipegang oleh Van De Wetering sebelum pecah Perang Dunia II.
Peluru dan senapan Lamber milik pribadi disita berikut dokumen-dokumen penting dan rahasia, yang menyangkut kegiatan politik para tokoh pejuang nasional yang berada di Batavia, yaitu
DR.G.S.S.J. Ratulangie, Zus Kandouw, Abe A.B.H. Waworuntu (adik kandung Ventje A.B.H. Waworuntu), Husni Thamrin, dengan para tokoh politik dalam wilayah residensi Manado, yang membentuk poros Batavia-Manado. Dokter Tilaar, teman seperjuangannya, datang menjenguk Ny.Juliana Waworuntu-Pandeiroot di rumahnya untuk memberi dukungan moril yang sangat diperlukan, berkaitan dengan perkembangan situasi yang tidak menentu dan kurang menguntungkan di kala itu.
Abe A.B.H. Waworuntu selaku sekertaris dan redaktur majalah mingguan “Nationale Commentaren” yang dipimpin oleh DR. G.S.S.J. Ratulangie dan tokoh perjuangan nasional lainnya seperti Adam Malik, Husni Thamrin dan Zus Kandouw, yang menjadi pendiri badan perjuangan nasional GAPI(Gabungan Politik Indonesia), telah ditangkap terlebih dulu di kota Garut, Jawa Barat oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1941. Sedangkan tokoh-tokoh perjuangan nasional wilayah residensi Manado yang juga diciduk oleh pemerintah Hindia-Belanda, adalah antara lain Dicky A.Th. Gerungan dan Marinus Pandeiroot, kedua-duanya adalah pejabat hukum kedua, O.H. Pantouw,G.E. Dauhan, R.C.L. Lasut, dan Max B. Tumbel.
Mereka berstatus tahanan politik atas tuduhan aktif melakukan kegiatan korespondensi dengan pihak pemerintah Jepang yang dinilai mengarah pada aktivitas “mantelspionnage” (mata-mata terselubung). Hal itu sebenarnya merupakan tuduhan yang keliru. Para tahanan politik itu langsung diangkut dari kota Manado ke kota Kotamobagu, onderafdeling Bolaang-Mongondow. Interogasi politik diterapkan terhadap mereka tanpa ujung pangkal oleh para petugas penyelidik pemerintah Hindia-Belanda.
Namun dari Kotamobagu, Dicky A.Th. Gerungan ketika itu dipulangkan ke Manado karena kesehatannya memburuk akibat gangguan mental yang dialaminya. Di kemudian hari, Dicky Gerungan diangkat menjadi Hukum Besar Amurang (Maret 1942) dan sebagai Kepala Daerah Tingkat II Minahasa menjelang pengakuan kedaulatan (20 Maret 1948 – 17 Desember 1949). SedangkanVentje A.B.H. Waworuntu akhirnya dengan selamat dapat berkumpul kembali dengan keluarganya. Bersama-sama dengan para tokoh politikus lainnya, mereka berhasil “luput” dari cengkeraman maut, terhindar dari aksi gempuran meriam kapal perang Angkatan Laut Jepang di lepas pantai Liyon.
Menurut rencana ketika itu, sebenarnya para tahanan politik itu bersama seluruh serdadu pasukan pertahanan KNIL yang terkumpul di Liyon, akan diberangkatkan dulu ke Poso untuk selanjutnya diangkut ke benua Australia. Di Poso akan dibentuk suatu satuan pasukan gabungan yang dinamakan “Legiun pasukan Manado”, yang direncanakan akan diberangkatkan ke pulau Jawa bersama mayorWalangitan untuk memperkuat benteng pertahanan pulau tersebut. Keadaan kocar-kacir di Liyon dimanfaatkan oleh para tahanan politik untuk meloloskan diri. Dengan sebuah perahu penduduk, mereka berhasil mendarat di Gorontalo dan diberikan pelayanan oleh tokoh-tokoh PPPG Nani Wartabone, R.M. Koesno Dhanupoyo dan Pendang Kalengkongan.
Namun di kota itu situasi berkembang tidak menentu, karena masih terjadi gesekan antara pihak pro dan kontra, ditambah lagi belum ada jaminan kepastian tanggapan positif dari pihak Tentara Jepang terhadap aksi kudeta pada tanggal 23 Januari 1942 di Gorontalo. Oleh karena itu, para tokoh politik dari Minahasa itu memilih untuk segera kembali ke Manado dan daerah Minahasa. Dengan mengenakan kain sarung, para tokoh politik itu harus menempuh dengan berjalan kaki jarak sejauh kurang lebih 500 kilometer dari kota Gorontalo menuju Minahasa dan Manado. Mereka harus menembus hutan rimba raya, bukit-bukit dan pegunungan, baru akhirnya berhasil tiba dengan selamat di rumah kediaman mereka masing-masing. Itu pun setelah mereka harus dibebani secara terpaksa mengusung rekan mereka Max B. Tumbel dan Marinus Pandeiroot, yang terkena penyakit selama dalam perjalanan pulang itu.
Para tokoh pejuang perintis kemerdekaan itu menyusun kembali kekuatan eselon onderbouw politik mereka, yang meliputi para pemuda kader pejuang yang aktif berjuang melaksanakan garis politik perjuangan nasional, yang telah dirintis oleh para tokoh politik jauh sebelum pasukan Tentara Jepang menginjakkan kaki mereka di bumi Nusantara tercinta ini. Dicky Gerungan yang pernah menjabat sebagai Hukum kedua onderdistrik Tatelu, Likupang periode tahun 1936-1938, memanggil kembali rekan pemuda pejuang Arend Ganda asal Tatelu untuk menyusun dan mengutuhkan barisan perjuangan yang disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi selama “masa pemerintahan Jepang”.
Pemuda Arend Ganda diserahi tugas sebagai koordinator wilayah onderdistrik Tatelu sampai Likupang, yang meliputi kurang lebih empat puluh dua kampung. Ia secara rutin harus melaporkan kegiatan politik kepada pimpinan yang memberikan kepercayaan terhadap dirinya. Pemuda kelahiran Tatelu tanggal 5 Januari 1912 yang beristrikan Emma Dotulong itu, dipercayakan menjadi pucuk pimpinan Pasukan Pemuda Indonesia (P.P.I.) wilayah onderdistrik Tatelu Likupang, tepatnya di masa perjuangan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan kakak kandungnya Oscar Ganda selaku unsur pimpinan Pemuda KRIS di kota Yogyakarta di kala itu, turut aktif berjuang sejajar dengan saudaranya.
Hal yang serupa berlaku juga bagi pemuda pejuang George Hendrik alias “Dore” Pandeiroot asal Langowan, yang bekerja sebagai advokat (pengacara) di kota Manado, setelah melepaskan pekerjaannya dari perusahaan minyak BPM Balikpapan sebelum pecah Perang Dunia II. Pemuda pejuang yang beristrikan Leentje Lintang, diasuh oleh kakak kandungnya Marinus Pandeirootyang menjabat Hukum kedua kota Manado serta Ventje A.B.H. Waworuntu yang merupakanbovenbouw eselon politik di kala itu. Di masa pemerintahan Jepang, Ventje A.B.H. Waworuntu, putra Tumpaan ini pernah diangkat menjadi “Shiyoyaku” atau pejabat wakil walikota kotapraja Manado, sedangkan Yanai Minoru menjadi “Shicho” atau walikota kotapraja Manado, sebelum ia kemudian ditunjuk menjadi Residen wilayah residensi Manado.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar