Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Jepang Menduduki Tomohon dan Tondano Pertempuran di Kinilow, Tomohon Diduduki, Konsolidasi di Tondano


Akhirnya pasukan korps marinir Jepang yang ribuan jumlahnya itu berhasil juga menyingkirkan batang-batang pohon besar maupun kecil yang dijadikan barikade jalan oleh pasukan lini pertahanan Km-17/Km-18 Tinoor. Selanjutnya mereka pun bergerak maju terus untuk mencapai tujuannya, merebut kota Tomohon. Pada petang hari tanggal 11 Januari 1942 itu, pasukan penyerbu Jepang itu langsung melangkah maju dengan kekuatan penuh. Sambil membereskan serdadu-serdadu mereka yang tewas maupun yang luka berat dan ringan, pasukan Jepang itu secara perlahan-lahan serta penuh kewaspadaan mulai mendekati kampung Kinilow.


Sementara itu, pasukan pertahanan KNIL yang berada di Kinilow itu telah menempati kubu-kubu pertahanan di sisi sayap kiri maupun sayap kanan jalan raya, menantikan lawannya tiba. Di lokasi ini, kekuatan personil pasukan pertahanan berkekuatan tiga brigade. Mereka telah bertekad bulat, bahwa kota sejuk Tomohon tidak bakal dihadiahkan secara cuma-cuma kepada pihak pasukan penyerbu Jepang. Penduduk kampung Kinilow maupun kampung Kakaskasen sejak waktu subuh pada hari sebelumnya telah meninggalkan kampung-kampungnya itu dan mengungsi ke ladang-ladang perkebunan, mengingat pertempuran sewaktu-waktu bisa terjadi di dalam lingkungan kampung-kampung itu. Demikian perintah dari pihak militer ketika itu.
Menurut perhitungan, bila di pintu gerbang masuk sebelah utara kampung Kinilow terbuka front pertempuran yang sengit, maka bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menimpa penduduknya yang tidak berdaya. Pihak Jepang mungkin saja menjadi mata gelap, bilamana di pihak mereka kemudian jatuh banyak korban lagi di dalam pertempuran itu. Satuan pertahanan di Kinilow yang merupakan gabungan dari satuan pasukan Reservekorps dan Beroepsmilitair itu, berada di bawah komando ajudan K.T. Sembel.
Sekitar pukul 16.00 petang itu di balik bukit-bukit di sebelah utara kampung Kinilow, terdengar deru mesin-mesin perang Jepang yang merupakan pertanda, bahwa pasukan marinir Jepang saat itu telah berada di ambang garis pertahanan pasukan KNIL. Pada waktu yang bersamaan terlihat awan hitam kelabu cumulonimbus yang cukup tebal telah menyelimuti puncak gunung Lokon dan puncak gunung Mahawu. Guntur dan petir terdengar sambung-menyambung membelah angkasa. Tidak lama kemudian hujan rintik-rintik pun mulai turun, membasahi petak-petak lahan persawahan di sebelah kiri dan kanan jalan raya strategis, yang terletak di kaki rantai perbukitan tempat ketiga brigade pasukan pertahanan mengambil stelling.
Tank-tank Jepang mulai menampakkan diri pada tikungan yang pertama dan gerak maju mereka seterusnya akan melurus sepanjang lebih kurang 350 meter sampai di tempat permukiman penduduk. Pasukan marinir yang jumlah sangat banyak berjalan di belakang tank-tank dan kendaraan bren-carrierberlapis baja andalan mereka. Jembatan pertama yang harus diseberangi ternyata tidak rusak dan bisa dilewati tank-tank berkulit baja itu. Namun, jembatan ke dua sungai Kinilow yang berjarak lebih kurang hanya 100 meter dari jembatan pertama itu, telah hancur didinamit oleh pasukan pertahanan.
Di saat gerakan pasukan penyerbu Jepang itu terhenti, maka di saat itu pula terdengar tembakan-tembakan gencar dari sepucuk senjata berat watermantel, senjata-senjata semi otomatis KM, senapan-senapan karaben dan sepucuk mortir kaliber tiga inci, dari brigade pasukan pertahanan. Pekikan “kumukuk” terdengar ikut meriuhkan suasana, berbarengan dengan suara ledakan granat-granat mortir yang ditembakkan dari kubu-kubu yang berada di atas bukit. Sambil bergegas, pasukan marinir Jepang segera mencari posisi untuk berlindung di sungai yang lebarnya tujuh meter serta di tanggul-tanggul pada sisi jalan raya.
Sementara itu, lebih dari sepuluh buah kendaraan berlapis baja yang terdiri dari tank-tank dan bren-carrier yang ketika itu sedang terhalang jalannya karena jembatan rusak, mulai menggasak tidak henti-hentinya dengan senjata berat 12,7 mm dan watermantel terhadap kubu-kubu pasukan pertahanan di bukit sebelah barat dan timur jalan raya. Telah cukup banyak korban yang jatuh di pihak pasukan marinir Jepang yang ketika itu berada di medan terbuka, namun dewi Fortuna rupanya berada di pihak mereka dan tidak membiarkan bertambahnya korban lagi.
Sekonyong-konyong turunlah hujan lebat disusul turunnya kabut tebal menutupi lokasi pertempuran itu, yang tentunya sangat mengganggu pandangan mata pihak pasukan pertahanan dari kubu-kubu pertahanan mereka. Pasukan Jepang benar-benar memanfaatkan bantuan alam itu, lalu serangan balasan mulai dilancarkan. Pasukan marinir Jepang itu bergerak maju sambil melebar secara bersaf, lalu membentuk formasi taktis setengah lingkaran untuk menjepit dan menerobos kubu-kubu pasukan pertahanan, sambil mereka memekikkan “Banzai! Banzai!” untuk menambah semangat.
Jepang akhirnya berhasil juga mendobrak pertahanan yang kokoh dari pasukan pertahanan KNIL. Memang telah cukup dikenal dari dulu hingga kini, bahwa cuaca alam Kinilow dengan lembahnya itu bisa secara mendadak berubah ditutupi oleh kabut tebal dan hari pun akan terasa cepat menjadi gelap. Keadaan cuaca yang demikian dan kebetulan terjadi pula pada saat-saat yang genting itu, telah mendorong pihak pasukan pertahanan untuk secara lebih awal meninggalkan kubu-kubu pertahanan mereka. Pasukan pertahanan pada bagian barat akhirnya mundur ke arah gunung Mahawu, sedangkan yang tadinya bertahan di bagian timur jalan raya, bergerak mundur ke arah gunung Lokon.
Pasukan korps marinir Tentara Jepang memforsir kekuatan lapis baja mereka untuk terus bergerak maju tanpa menghiraukan lagi korban-korban yang jatuh sebelumnya di lembah Kinilow dan di kawasan Km-17/Km-18 Tinoor. Namun, setibanya di kampung Kakaskasen, situasinya menjadi lain. Kampung itu terletak bersambungan langsung dengan kampung Kinilow. Di Kakaskasen, pasukan Jepang terpaksa harus menghadapi lagi hambatan yang tetap merepotkan mereka, sehingga cukup memusingkan kepala para komandan pasukan tempur mereka.
Di sepanjang jalan raya yang datar di ujung utara kota Tomohon itu, nampak telah terbentang melintang beberapa batang pohon besar yang memang sengaja ditumbangkan oleh satuanVernielingskorps sebagai barikade untuk menghalangi gerakan ofensif pasukan penyerbu Jepang. Kekuatan pasukan pertahanan di lokasi ini terdiri dari lima brigade plus pasukan gabungan, dipimpin oleh sersan mayor Lucas Timbuleng didampingi rekan-rekannya, seperti sersan mayor Rory Ngantung dan sersan Indong Mangundap serta rekan-rekannya ex-pertempuran Km-17/Km-18 Tinoor. Mereka langsung beraksi dengan melancarkan tembakan-tembakan dari sepucuk senjata berat Vickers watermantel, tujuh pucuk senjata KM dan sepucuk senjata mortir kaliber tiga inci, sedangkan lainnya berupa senapan-senapan karaben.
Pasukan marinir Jepang dengan gelora semangat yang tinggi, tetap bergerak maju sambil mengerahkan pasukan kampak dan gergaji mereka dari zeni tempur untuk memenggal batang-batang pohon yang merupakan barikade itu. Mereka nampaknya bergerak penuh kegirangan karena merasa telah menginjakkan kaki di bumi kota Tomohon, sekalipun terus dihantam oleh peluru-peluru pasukan pertahanan sersan mayor Timbuleng. Dua atau tiga orang opsir Jepang yang perkasa dan sedang memimpin satuan pasukan marinir Jepang itu, sambil berteriak-teriak histeris “Banzai! Banzai!”, telah terkena berondongan peluru senjata berat watermantel dan karaben mitraliur dari arah sawah di sisi kiri kanan jalan raya Kakaskasen. Salah seorang opsir dan seorang serdadu marinir Jepang tewas di lokasi sekitar empat puluh meter dari jembatan Kakaskasen.
Namun demikian, pasukan Jepang tetap tidak goyah menghadapi serangan lawan mereka itu. Dengan segera mereka mengatur taktik yang disesuaikan dengan keadaan medan laga yang datar itu, yang tanpa bukit-bukit seperti halnya di medan pertempuran Tinoor dan Kinilow. Pihak pasukan penyerbu menyadari, bahwa pasukan pertahanan KNIL itu hanya berkekuatan kecil dan hanya memiliki sepucuk senjata berat watermantel. Pihak pimpinan pasukan Jepang itu bahkan mungkin hanya mengklasikasikan serangan dari pasukan pertahanan itu sebagai serangan “penghadangan”, karena tanpa didukung oleh fasilitas veldbak yang permanen dan biasanya sangat berbahaya itu.
Pasukan marinir Jepang mulai bergerak menyebar maju ke sisi kiri-kanan jalan raya sampai sejauh 100 meter lebih dari sumbu jalan, dengan dukungan tembakan perlindungan dari senjata berat kaliber 12,7 mm dan watermantel dari satuan eskadron tank dan bren-carrier mereka. Adapun sasaran utamanya adalah untuk membungkam senjata berat pihak lawan mereka. Juga tidak luput adalah para anggota pasukan pertahanan yang berlindung di balik tanggul-tanggul lahan persawahan; mereka itu disiram oleh peluru-peluru senjata berat dari tank-tank dan bren-carrier.
Menjelang malam hari itu, medan pertempuran pun menjadi semakin ramai. Pekikan-pekikan untuk menambah semangat perang di antara kedua belah pihak pasukan yang berhadapan itu, saling bertabrakan di angkasa medan laga. Jumlah korban yang tewas dan luka-luka baik di pihak pasukan penyerbu maupun pasukan yang bertahan, tidak lagi merupakan suatu ukuran yang akan ikut menentukan kemenangan atau kekalahan dalam pertempuran yang menentukan nasib kota sejuk Tomohon. Sekalipun menguasai medan setempat, namun karena sersan mayor Timbuleng telah mengalami cedera dalam baku tembak itu, akhirnya ia bersama seluruh pasukan yang dipimpinnya angkat kaki juga dan mengundurkan diri ke arah gunung Lokon dan gunung Mahawu. Mereka merasa tidak mampu lagi membendung kekuatan pihak musuh mereka yang jauh “overmacht” alias jauh lebih besar dan lebih kuat.
Sebaliknya pasukan kapten Abbink yang ketika itu berada pada Lini Pertahanan V kota Tomohon, hanya berjarak sekitar dua kilometer lagi dari arena pertempuran di Kakaskasen itu. Pada waktu itu, satuan pasukan Kompi III Kortverband pimpinan kapten Abbink itu tidak dapat memberikan bantuan sama sekali terhadap pasukan sersan mayor Timbuleng. Hal itu disebabkan adanya pertimbangan-pertimbangan mereka yang berikut:
1) Penyerangan yang bertubi-tubi dengan senjata berat oleh eskadron tank dan bren-carrier serta gempuran mortir dari pihak pasukan penyerbu Jepang sulit terbendung.
2) Pemberian dukungan dengan senjata berat dari pasukan pada Lini Pertahanan V terhadap Lini Pertahanan IV (pasukan Timbuleng) sangat riskan, mengingat posisi pasukan Timbuleng yang di saat-saat sedang bertarung melawan musuh, tidak menentu kedudukannya.
3) Tidak adanya fasilitas alat komunikasi seperti walkie-talkie, sehingga sulit untuk dapat mengetahui posisi kawan dan lawan yang sebenarnya.
Akhirnya, dengan berat hati TPC mayor Schilmöller terpaksa memerintahkan kepada kapten Abbinkbersama pasukannya, agar melepaskan kota Tomohon. Perintah itu disampaikan pada detik-detik ketika TPC akan meninggalkan kota Tomohon untuk bertolak menuju Minahasa Selatan. Sementara itu, pasukan pertahanan yang telah terpecah-belah sempat mengadakan konsolidasi di kampung Rurukan, untuk kemudian seluruh pasukan segera berpencar dan memasuki tahap baru, “Perang Gerilya!” Sersan mayor Lucas Timbuleng dan pasukannya mundur ke daerah perkebunan milik keluargaSimon Goni, yaitu di tempat bernama Susuripen yang terletak di kaki gunung Mahawu, di mana terdapat banyak gua kelelawar. Sersan mayor Rory Ngantung dan sersan Indong Mangundapbersama rekan-rekan mereka lainnya, juga berada di lokasi yang sama dan siap terjun dalam “perang gerilya”.
Ribuan pasukan korps marinir Jepang didampingi puluhan kendaraan truk dengan muatan perlengkapan perang serta eskadron tank dan bren-carrier, tiba di pusat kota Tomohon pada malam hari sekitar pukul 20.00 waktu setempat tanggal 11 Januari 1942. Keadaan kota sunyi sepi. Sebagian besar penduduknya masih berada di tempat pengungsian mereka.
Pada esok harinya, sebagian besar serdadu Jepang dengan formasi tank dan bren-carrier serta konvoi truk yang padat dengan pasukan dan perlengkapan perang, mulai bergerak pelan-pelan sambil menyesuaikan diri dengan derap langkah pasukan yang sedang berbaris di jalan raya menuju kota Tondano. Jaraknya hanya sebelas kilometer dari kota Tomohon. Mereka tidak memperoleh sambutan sama sekali dari para penduduk, sebaliknya juga tidak ada lagi perlawanan dari pihak pasukan pertahanan KNIL yang di pagi hari itu telah menahan aksi penyerbuan mereka itu. TPC mayor B.F.A. Schilmöller memang telah menetapkan dalam strateginya, bahwa kota Tondano dinyatakan sebagai “open stad” atau “kota terbuka”.
Walaupun demikian, pada waktu pasukan marinir Jepang melewati kampung Koya, tepatnya di samping gedung gereja setempat, mereka sempat membunuh seorang pemuda warga kampung itu bernamaEvert Wuwungan. Penduduk kampung itu tewas seketika ditusuk bayonet (sangkur) pasukan marinir Jepang, hanya karena ulahnya yang tidak mau memberi hormat dengan membungkukkan badan sembilan puluh derajat! Suatu tindakan provokatif pihak Jepang, yang bisa saja disengaja untuk memancing reaksi dari penduduk terhadap Tentara Jepang sebagai penguasa baru di wilayah itu. Peristiwa itu disaksikan pula oleh lima orang rekan korban di kampung itu, yang langsung lari tunggang langgang menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Pukul delapan pagi tanggal 12 Januari 1942, pasukan penyerbu korps marinir Tentara Jepang dengan jayanya tiba di jantung kota Tondano. Konsolidasi dilakukan di Walterplein (kini: Lapangan DR. Sam Ratulangi) Tondano, dan bertepatan pula dengan tibanya pasukan korps marinir dari front Timur Minahasa (Tonsea). Waktu mencatat, bahwa sejak pendaratan di pantai Bahu-Sario kota Manado (front Barat Minahasa) pada tanggal 11 Januari sekitar pukul 01.00 dini hari hingga saat mencapai kota Tondano pada tanggal 12 Januari pukul 08.00, rute perjalanan yang ditempuh adalah sejauh 32 Km. Jika jarak 32 Km (32.000 m) itu dibagi dengan lamanya waktu perjalanan (31 jam), hasilnya adalah jarak rata-rata yang direbut oleh pasukan Jepang front Barat dalam satu jam, sejauh 1.042 meter.
Pada front Timur dengan pendaratan di pantai Kema pada tanggal 11 Januari sekitar pukul 05.00 hingga saat mereka mencapai kota Tondano pada tanggal 12 Januari pukul 08.00, rute perjalanan yang ditempuh adalah sejauh 42 Km. Jika jarak 42 Km (42.000 m) itu dibagi dengan lamanya waktu perjalanan (27 jam), hasilnya adalah jarak rata-rata yang direbut oleh pasukan Jepang front Timur dalam satu jam, sejauh 1.555 meter.
Kesimpulannya, meskipun pasukan dari front Barat (Manado) harus menempuh jarak yang relatif lebih dekat dibandingkan dengan pasukan dari front Timur (Tonsea) untuk mencapai kota Tondano, namun mereka sangat lambat majunya dikarenakan hambatan medan topografinya, terlebih pula harus menghadapi ketangguhan pertahanan pasukan KNIL di sepanjang rute, seperti di lokasi Km-17/Km-18 Tinoor. Patut pula dicatat, bagaimana cermatnya pihak pucuk pimpinan komando tempur pasukan korps marinir Tentara Jepang memperhitungkan timing-nya, sehingga baik pasukan pendarat dari front Barat Minahasa (Manado) maupun pasukan pendarat dari front Timur Minahasa (Kema), dapat tiba secara bersamaan di jantung kota Tondano pada tanggal 12 Januari sekitar pukul 08.00 pagi.
Menjelang tengah hari, enam buah tank dan tiga buah bren-carrier berlapis baja serta puluhan truk yang penuh berisi pasukan marinir Jepang, bergerak dalam konvoi menuju arah selatan melewati kampung-kampung Touliang Oki, Ranomerut, Tandengan, Eris, Watumea, Telap, Toulimembet, Tasuka, Kaweng, Kakas, Wasian, dan akhirnya tiba di pangkalan udara Kalawiran untuk selanjutnya menuju markas komando pasukan payung Angkatan Laut Jepang di kota Langowan.
Pasukan payung pada front Selatan Minahasa yang diterjunkan di pangkalan udara Kalawiran itu, nampaknya mengalami kesulitan menghadapi perlawanan sengit dari pihak pasukan pertahanan KNIL di kawasan itu. Mereka justru membutuhkan bantuan perkuatan, karena dari 519 anggota pasukan payung yang diterjunkan itu, korban yang tewas relatif sangat besar, yaitu lebih dari 130 orang. Oleh karenanya, mereka tidak mungkin dapat segera meninggalkan kawasan pangkalan udara militer Kalawiran untuk langsung bergerak maju lebih lanjut.
Sebenarnya sesuai strategi yang digariskan oleh pihak pimpinan komando tempur bala tentara Jepang, kota Tondano yang merupakan “jantung” Minahasa harus direbut dari tiga arah (merupakan segitiga), yaitu dari front Barat (Manado), front Timur (Kema) dan front Selatan (Kalawiran) itu. Dengan kata lain, pasukan dari front Selatan Minahasa itu diharapkan akan dapat ikut juga bergerak menuju kota Tondano, setelah berhasil merebut pangkalan udara Kalawiran dan kota-kota sekitarnya.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legohdan disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNi AU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar