Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Kakas, Langowan dan Kalawiran Terancam


Kakas, awal Januari 1942. Sebagian penduduk kampung Talikuran Kakas telah mengungsi ke ladang-ladang perkebunan mereka. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan di tempat, di antaranya pendeta Wim Wagey dan beberapa orang pegawainya. Seorang serdadu pasukan pertahanan mendatangi pendeta itu, lalu berkata, “Oom pandita, Belanda ingin menggunakan ruangan di dalam gereja ini sebagai gudang makanan.” Tentu saja Wim Wagey terkejut bukan main. “Masa’ rumah Tuhan juga mau dilibatkan dalam peperangan,” ia mengeluh di dalam hati.
Namun, secara diam-diam pendeta itu memutuskan untuk tidak akan merelakan gereja baru dan kokoh itu, yang menjadi kebanggaan umat Kristiani di seluruh perkampungan Kakas, digunakan sebagai fasilitas untuk militer. Koster (penjaga gereja) disuruhnya mengunci pintu utama gereja di bagian depan dan pergi membawa kunci itu untuk disimpan alias diamankan. Sedangkan pendeta itu sendiri hanya memegang kunci ruang konsistori.

Di penghujung jalan telah terdengar deru kendaraan-kendaraan truk militer beriringan menuju gedung gereja itu. Lalu suara rem yang mencicit terdengar dalam kepulan debu. Seorang perwira KNIL turun dari kendaraan yang terdepan untuk menemui pendeta Wim Wagey di gereja itu. Ia adalah kaptenW.C. Van Den Berg, komandan pasukan pertahanan Sektor distrik Toulour, yang meliputi pula pertahanan pangkalan udara Kalawiran. Begitu ia berhasil menemui Wim Wagey, Van Den Bergmenyatakan keinginannya untuk meminjam ruangan di gereja itu sebagai gudang logistik makanan.
“Wah, sayang sekali pintu depan terkunci. Kunci itu kebetulan pula dibawa oleh koster, yang entah ke mana pula perginya,” jawab pendeta itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Diajaknya perwira muda itu masuk ke dalam gereja melalui pintu belakang. Kapten Van Den Berg meneliti keadaan di dalam gereja itu, sedangkan pendeta Wim Wagey tidak henti-hentinya berdoa sambil komat-kamit dengan hampir tidak terdengar. Pendeta itu lalu mendekati orgel yang merupakan alat musik satu-satunya di dalam gereja itu, dan mulai memainkan beberapa lagu gerejani yang ternyata cukup menyentuh hati sang komandan Van Den Berg. Opsir itu nampak sangat terkesan. “Wat is dit mooi!” (Alangkah indahnya!), demikian opsir itu berkomentar. Ia berbalik keluar dan agaknya segera melupakan niatnya untuk menjadikan gedung gereja itu sebagai gudang logistik.
Kakas – Langowan, 11 Januari 1942. Sekitar pukul setengah dua dini hari, komandan pasukan pertahanan KNIL yang berkedudukan di Tondano, kapten W.C. Van Den Berg, menerima berita dari TPC Schilmöller: “Tanda bahaya! Pendaratan akan terjadi.” Kekuatan pasukan Van Den Berghanyalah terdiri atas enam brigade pasukan yang ditugaskan untuk mempertahankan wilayah distrik Toulour, termasuk pangkalan udara Kalawiran.
Pukul empat pagi, Van Den Berg menghubungi letnan Wielinga, komandan pasukan pertahanan pangkalan udara Kalawiran di Langowan dan letnan M. Fuchter, komandan pasukan pertahanan pangkalan udara amfibi Tasuka. Pasukan Reservekorps yang dibawahinya itu sudah memperkirakan, bahwa Jepang kemungkinan besar akan menerjunkan pasukan payung mereka di pangkalan udara Kalawiran atau daerah sekitarnya, meskipun telah diperoleh berita pula bahwa pasukan payung Jepang akan didaratkan di daerah pegunungan Kaweng, di sebelah tenggara Kakas. Kapten Van Den Berg segera meminta dua mobil berlapis baja (panser) yang sedang bertugas di kota Langowan untuk mencegat pasukan payung itu. Ia juga menerima instruksi untuk menggunakan ketiga brigade tempur yang sudah terlatih.
Menjelang subuh pada tanggal 11 Januari 1942 dan sebelum fajar menyingsing di pagi hari yang sunyi itu, terdengarlah bunyi dolo-dolo disusuli suara lantang dari seorang pemuda petugas “plakat” kampung, yang mengumumkan “supaya rakyat yang masih berada di kampung bersiap-siap, karena musuh [Jepang] sudah mendarat di Manado dan Kema.”
Mendengar berita yang sangat penting itu, dengan tergesa-gesa penduduk mulai berkemas-kemas untuk bersiap mengungsi ke tempat yang telah direncanakan, tidak jauh dari kampung mereka. Pendeta Wagey spontan naik sepeda "Fongers" bikinan Holland di pagi hari yang dingin itu, langsung menuju jalan raya dengan maksud ingin mengetahui situasi yang berkembang di perkampungan Kakas. Kira-kira enam puluh meter dari pertigaan jalan Sela Im Banua, dilihatnya dua buah panser yang penuh dengan serdadu pasukan Reservekorps sedang bertengger tidak teratur di atas kendaraan panser itu. Nampaknya mereka sedang menanti-nantikan dengan serius dan dengan hati yang berdebar-debar, sesuatu peristiwa penting yang bakal terjadi pada detik-detik terakhir pengabdian mereka dalam dinas kemiliteran.
Seorang serdadu pasukan panser yang sedang bersandar pada laras senjata berat otomatis 12,7 mm yang ada di panser itu, segera mengetahui kehadiran pendeta yang telah ia kenal itu di tempat tersebut. Dengan roman muka yang keras ia pun berkata dalam bahasa Tondano kepada pendetaWim Wagey itu, “Oom Pénelong, tolong doakan dan beritahu keluarga saya, apabila saya tidak kembali lagi,” sambil memberitahukan identitas diri dan keluarganya.
Agaknya serdadu itu telah memperoleh semacam firasat, bahwa ia bakal tidak akan kembali lagi berkumpul bersama keluarganya. Beberapa hari kemudian, ia tewas di depan regu tembak Tentara Jepang di kaki bukit Sampuk, Totolan. Sebaliknya, anggota pasukan panser lainnya terlihat acuh tak acuh, bahkan menganjurkan kepada pendeta itu untuk meninggalkan pos mereka dan agar sebaiknya segera mengungsi saja ke tempat pengungsian.
Dua buah kendaraan berlapis baja itu telah mengambil posisi di lokasi yang telah diperhitungkan, amat strategis untuk menghadapi kemungkinan aksi pendaratan pasukan payung Jepang di tiga daerah alternatif, yaitu pertama, di sepanjang jalur landasan atau lahan di sekitar pangkalan udara Kalawiran; ke dua, di sekitar zona pangkalan udara amfibi Tasuka; dan ke tiga, di daerah sekitar perkampungan Kakas yang merupakan titik sentral dari kedua pangkalan udara militer yang vital itu.

Di daerah sekitar pangkalan udara Kalawiran sebagian rakyat memang sudah mengungsi, namun hingga detik-detik terakhir ada juga yang masih senang menetap di rumah tempat kediaman mereka. Mereka itu umumnya dari pihak kaum pria yang sangat antusias ingin mencari tahu apa sebenarnya yang bakal terjadi di kampung halaman mereka yang sangat mereka cintai itu. Kaum wanita dan anak-anak umumnya sudah lebih dahulu bergerak menuju tempat pengungsian mereka di pagi hari itu. Mereka membawa serta alat-alat dapur, bungkusan pakaian dan barang-barang lain yang diperlukan keluarga.
Umumnya wanita-wanita dewasa itu memperlihatkan tingkah laku yang biasa-biasa saja, tidak terlihat tanda-tanda gugup pada raut muka mereka. Sebaliknya, ada juga beberapa gadis remaja yang terpengaruh oleh isu-isu provokatif menyangkut perilaku para serdadu pasukan Jepang. Karena diliputi rasa takut, mereka ini lalu memoles dengan arang kayu pada bagian muka, tangan dan kaki mereka yang sebenarnya cantik dan mulus, agar tampak kehitam-hitaman dan bisa menghilangkan tampilan warna kulit mereka yang kuning langsat itu. Ada pula yang mengikatkan bantal kecil pada bagian depan perut, sehingga kelihatan seolah-olah sedang hamil besar.
Waktu menunjukkan pukul 08.00 lewat beberapa menit. Pancaran sinar matahari pagi itu mulai terasa lebih hangat di daerah pegunungan. Rasa kantuk tidak terbendung di antara serdadu pasukanReservekorps yang berjaga-jaga dalam kubu-kubu pertahanan di pangkalan udara Kalawiran. Mungkin juga karena sebelumnya mereka terus-menerus harus menahan kantuk semenjak mendengar aksi invasi di tengah malam oleh pasukan penyerbu Jepang di front Barat dan kemudian di front Timur Minahasa. Di dalam pikiran mereka yang sedang menghuni tenda-tenda perkemahan yang berjajar di samping landasan pangkalan udara ketika itu, pasti muncul berbagai godaan yang positif maupun yang negatif, yang kesemuanya berpusat pada titik kehancuran moral maupun material. Namun bagaimana pun juga, panggilan tugas pengabdian bagi kepentingan pertahanan teritorial dan kehormatan bangsa, akhirnya merupakan nilai-nilai yang lebih diutamakan. Bahkan masalah keluarga dan salaris pensiun pun untuk sementara waktu perlu kiranya dipeti-eskan dulu.
Tamu-tamu dari “gunung Fuji” di belahan bumi bagian utara itu yang tidak diundang tetapi sedang dinanti-nantikan itu, belum juga memperlihatkan batang hidung mereka: pasukan payung Jepang! Sekitar pukul 08.40 akhirnya pasukan pertahanan itu dikagetkan oleh deru gemuruh yang cukup memekakkan anak telinga dari sejumlah pesawat udara bermesin tunggal, yang mulai beraksi di angkasa di atas pangkalan udara Kalawiran.
Pesawat-pesawat udara berlambang “matahari bulat merah” yang muncul dari jurusan Kakas itu, tiada lain adalah pesawat-pesawat pemburu Jepang “Zero”. Sesaat kemudian pesawat-pesawat pemburu “Zero” itu mulai melakukan berbagai gerakan akrobatik di udara, lalu mengambil ancang-ancang untuk bersiap menembaki apa saja yang dicurigai sebagai kubu pertahanan musuh. Namun sejauh itu, tidak ada perlawanan sama sekali dari pihak pasukan pertahanan. Pesawat-pesawat “Zero” itu justru sangat mengharapkan adanya perlawanan langsung dari darat, agar mereka bisa mengetahui kedudukan musuh mereka di darat itu.
Karena perlawanan dari darat masih tetap saja nihil, maka peluru-peluru mitraliur kaliber 12,7 mm dari pesawat-pesawat udara itu pun mulai dimuntahkan tanpa sasaran yang jelas, berhamburan keluar dari ujung-ujung laras senjata yang berada di sayap kiri maupun sayap kanannya. Tembakan-tembakan itu sudah barang tentu hanyalah untuk sekedar meraba-raba, di mana sebenarnya kedudukan kubu-kubu pertahanan musuh yang harus dihancurkan. Namun, tujuan utamanya yang sudah jelas adalah untuk mematahkan semangat juang pasukan pertahanan serta untuk membantu langsung dengan memberikan perlindungan terhadap pasukan payung mereka yang segera akan diterjunkan di daerah sasaran itu, yakni pasukan khusus “Yokosuka” dari komando pasukan Kaigun (marinir) Angkatan Laut Jepang.
Gempuran awal oleh pesawat-pesawat udara pemburu “Zero” ke pangkalan udara Kalawiran di pagi hari itu, sempat disaksikan pula oleh dua orang anggota satuan Korps Palang Merah yang bertugas di pangkalan itu, yaitu pemuda Wim Mongin dan pensiunan Jusuf Tumangken. Kedua orang petugas itu berlindung di balik tanggul di sekitar pangkalan udara itu. Sedangkan pasukan pertahanan KNIL yang berlindung di dalam veldbak-veldbak dan lubang-lubang parit pertahanan, sengaja tidak berbuat apa-apa menyaksikan aksi pesawat-pesawat udara Jepang yang sedang merajalela itu. Mereka sengaja membungkamkan semua laras-laras senjata yang mereka miliki, yang terdiri dari dua pucuk senjata berat Vickers watermantel, enam pucuk senjata mi-otomatis KM, dan sejumlah senapan karaben. Juga, apa gunanya hanya menghambur-hamburkan peluru dengan percuma ke sasaran di udara yang pasti bukan menjadi tandingannya.
Dengan kekuatan yang relatif kecil hanya sebesar tiga brigade pasukan di bawah pimpinan komandannya, letnan Wielinga dan sersan mayor Wayong selaku wakil komandan serta sersan I. Robbemond sebagai komandan brigade, pasukan pertahanan itu memiliki sasaran utama, yaitu menggasak pasukan payung Jepang yang diterjunkan dari udara, dan bukan pesawat-pesawat udara Jepang! Setelah pesawat-pesawat pemburu “Zero” itu menyelesaikan misi mereka dengan baik, sekalipun tanpa hasil, maka barulah puluhan buah pesawat udara pengangkut (transport) Jepang muncul untuk mulai melaksanakan tugas.
Pada gelombang pertama, pesawat-pesawat pengangkut itu terlihat menerjunkan parasut-parasut yang membawa alat-alat perlengkapan dan logistik perang yang dijatuhkan dari bagian samping badan pesawat. Perlengkapan yang diterjunkan itu terdiri atas amunisi, peralatan dapur seperti panci besar untuk dapur umum pasukan, makanan dalam kaleng termasuk biskuit, dan lain sebagainya. Sedangkan pada gelombang ke dua diterjunkan boneka-boneka yang bentuknya mirip manusia. Maksudnya adalah untuk mengelabui pihak pasukan pertahanan, agar boneka-boneka itu langsung mereka hujani dengan tembakan-tembakan yang akan mengakibatkan persediaan peluru mereka keburu habis.
Namun pasukan Reservekorps itu agaknya tidak mudah terkecoh masuk ke dalam jerat taktik perang dari Komando Tempur Tentara Jepang. Mereka masih tetap “menyumbat” mulut-mulut laras senjata andalan mereka itu. Ketegangan pun mulai menyusupi diri para anggota pasukan Reservekorps itu, ketika saat yang dinanti-nantikan itu akhirnya tiba...


Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bapak Johanes Mundung, mantan Pilot Tempur TNI AU.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar