Kakas, awal Januari 1942. Sebagian penduduk kampung
Talikuran Kakas telah mengungsi ke ladang-ladang perkebunan mereka. Hanya
tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan di tempat, di antaranya
pendeta Wim Wagey dan beberapa orang pegawainya. Seorang serdadu
pasukan pertahanan mendatangi pendeta itu, lalu berkata, “Oom pandita, Belanda
ingin menggunakan ruangan di dalam gereja ini sebagai gudang makanan.” Tentu
saja Wim Wagey terkejut bukan main. “Masa’ rumah Tuhan juga mau
dilibatkan dalam peperangan,” ia mengeluh di dalam hati.
Namun, secara diam-diam pendeta itu memutuskan untuk tidak
akan merelakan gereja baru dan kokoh itu, yang menjadi kebanggaan umat
Kristiani di seluruh perkampungan Kakas, digunakan sebagai fasilitas untuk
militer. Koster (penjaga gereja) disuruhnya mengunci pintu utama
gereja di bagian depan dan pergi membawa kunci itu untuk disimpan alias
diamankan. Sedangkan pendeta itu sendiri hanya memegang kunci ruang konsistori.
Di penghujung jalan telah terdengar deru kendaraan-kendaraan
truk militer beriringan menuju gedung gereja itu. Lalu suara rem yang mencicit
terdengar dalam kepulan debu. Seorang perwira KNIL turun dari kendaraan yang terdepan
untuk menemui pendeta Wim Wagey di gereja itu. Ia adalah kaptenW.C.
Van Den Berg, komandan pasukan pertahanan Sektor distrik Toulour, yang meliputi
pula pertahanan pangkalan udara Kalawiran. Begitu ia berhasil menemui Wim
Wagey, Van Den Bergmenyatakan keinginannya untuk meminjam ruangan di
gereja itu sebagai gudang logistik makanan.
“Wah, sayang sekali pintu depan terkunci. Kunci itu
kebetulan pula dibawa oleh koster, yang entah ke mana pula perginya,”
jawab pendeta itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Diajaknya perwira muda
itu masuk ke dalam gereja melalui pintu belakang. Kapten Van Den Berg meneliti
keadaan di dalam gereja itu, sedangkan pendeta Wim Wagey tidak
henti-hentinya berdoa sambil komat-kamit dengan hampir tidak terdengar. Pendeta
itu lalu mendekati orgel yang merupakan alat musik satu-satunya di dalam gereja
itu, dan mulai memainkan beberapa lagu gerejani yang ternyata cukup menyentuh
hati sang komandan Van Den Berg. Opsir itu nampak sangat terkesan. “Wat is
dit mooi!” (Alangkah indahnya!), demikian opsir itu berkomentar. Ia berbalik
keluar dan agaknya segera melupakan niatnya untuk menjadikan gedung gereja itu
sebagai gudang logistik.
Kakas – Langowan, 11 Januari 1942. Sekitar pukul setengah
dua dini hari, komandan pasukan pertahanan KNIL yang berkedudukan di Tondano,
kapten W.C. Van Den Berg, menerima berita dari TPC Schilmöller: “Tanda
bahaya! Pendaratan akan terjadi.” Kekuatan pasukan Van Den Berghanyalah
terdiri atas enam brigade pasukan yang ditugaskan untuk mempertahankan wilayah
distrik Toulour, termasuk pangkalan udara Kalawiran.
Pukul empat pagi, Van Den Berg menghubungi
letnan Wielinga, komandan pasukan pertahanan pangkalan udara Kalawiran di
Langowan dan letnan M. Fuchter, komandan pasukan pertahanan pangkalan
udara amfibi Tasuka. Pasukan Reservekorps yang dibawahinya itu sudah
memperkirakan, bahwa Jepang kemungkinan besar akan menerjunkan pasukan payung
mereka di pangkalan udara Kalawiran atau daerah sekitarnya, meskipun telah
diperoleh berita pula bahwa pasukan payung Jepang akan didaratkan di daerah
pegunungan Kaweng, di sebelah tenggara Kakas. Kapten Van Den Berg segera
meminta dua mobil berlapis baja (panser) yang sedang bertugas di kota Langowan
untuk mencegat pasukan payung itu. Ia juga menerima instruksi untuk menggunakan
ketiga brigade tempur yang sudah terlatih.
Menjelang subuh pada tanggal 11 Januari 1942 dan sebelum
fajar menyingsing di pagi hari yang sunyi itu, terdengarlah bunyi dolo-dolo disusuli
suara lantang dari seorang pemuda petugas “plakat” kampung, yang mengumumkan
“supaya rakyat yang masih berada di kampung bersiap-siap, karena musuh [Jepang]
sudah mendarat di Manado dan Kema.”
Mendengar berita yang sangat penting itu, dengan
tergesa-gesa penduduk mulai berkemas-kemas untuk bersiap mengungsi ke tempat
yang telah direncanakan, tidak jauh dari kampung mereka. Pendeta Wagey spontan
naik sepeda "Fongers" bikinan Holland di pagi hari yang dingin itu,
langsung menuju jalan raya dengan maksud ingin mengetahui situasi yang
berkembang di perkampungan Kakas. Kira-kira enam puluh meter dari pertigaan
jalan Sela Im Banua, dilihatnya dua buah panser yang penuh dengan serdadu
pasukan Reservekorps sedang bertengger tidak teratur di atas
kendaraan panser itu. Nampaknya mereka sedang menanti-nantikan dengan serius
dan dengan hati yang berdebar-debar, sesuatu peristiwa penting yang bakal
terjadi pada detik-detik terakhir pengabdian mereka dalam dinas kemiliteran.
Seorang serdadu pasukan panser yang sedang bersandar pada
laras senjata berat otomatis 12,7 mm yang ada di panser itu, segera mengetahui
kehadiran pendeta yang telah ia kenal itu di tempat tersebut. Dengan roman muka
yang keras ia pun berkata dalam bahasa Tondano kepada pendetaWim Wagey itu,
“Oom Pénelong, tolong doakan dan beritahu keluarga saya, apabila saya tidak
kembali lagi,” sambil memberitahukan identitas diri dan keluarganya.
Agaknya serdadu itu telah memperoleh semacam firasat, bahwa
ia bakal tidak akan kembali lagi berkumpul bersama keluarganya. Beberapa hari
kemudian, ia tewas di depan regu tembak Tentara Jepang di kaki bukit Sampuk,
Totolan. Sebaliknya, anggota pasukan panser lainnya terlihat acuh tak acuh,
bahkan menganjurkan kepada pendeta itu untuk meninggalkan pos mereka dan agar
sebaiknya segera mengungsi saja ke tempat pengungsian.
Dua buah kendaraan berlapis baja itu telah mengambil posisi
di lokasi yang telah diperhitungkan, amat strategis untuk menghadapi
kemungkinan aksi pendaratan pasukan payung Jepang di tiga daerah alternatif,
yaitu pertama, di sepanjang jalur landasan atau lahan di sekitar pangkalan
udara Kalawiran; ke dua, di sekitar zona pangkalan udara amfibi Tasuka; dan ke
tiga, di daerah sekitar perkampungan Kakas yang merupakan titik sentral dari
kedua pangkalan udara militer yang vital itu.
Di daerah sekitar pangkalan udara Kalawiran sebagian rakyat
memang sudah mengungsi, namun hingga detik-detik terakhir ada juga yang masih
senang menetap di rumah tempat kediaman mereka. Mereka itu umumnya dari pihak
kaum pria yang sangat antusias ingin mencari tahu apa sebenarnya yang bakal
terjadi di kampung halaman mereka yang sangat mereka cintai itu. Kaum wanita
dan anak-anak umumnya sudah lebih dahulu bergerak menuju tempat pengungsian
mereka di pagi hari itu. Mereka membawa serta alat-alat dapur, bungkusan
pakaian dan barang-barang lain yang diperlukan keluarga.
Umumnya wanita-wanita dewasa itu memperlihatkan tingkah laku
yang biasa-biasa saja, tidak terlihat tanda-tanda gugup pada raut muka mereka.
Sebaliknya, ada juga beberapa gadis remaja yang terpengaruh oleh isu-isu
provokatif menyangkut perilaku para serdadu pasukan Jepang. Karena diliputi
rasa takut, mereka ini lalu memoles dengan arang kayu pada bagian muka, tangan
dan kaki mereka yang sebenarnya cantik dan mulus, agar tampak kehitam-hitaman
dan bisa menghilangkan tampilan warna kulit mereka yang kuning langsat itu. Ada
pula yang mengikatkan bantal kecil pada bagian depan perut, sehingga kelihatan
seolah-olah sedang hamil besar.
Waktu menunjukkan pukul 08.00 lewat beberapa menit. Pancaran
sinar matahari pagi itu mulai terasa lebih hangat di daerah pegunungan. Rasa
kantuk tidak terbendung di antara serdadu pasukanReservekorps yang
berjaga-jaga dalam kubu-kubu pertahanan di pangkalan udara Kalawiran. Mungkin
juga karena sebelumnya mereka terus-menerus harus menahan kantuk semenjak
mendengar aksi invasi di tengah malam oleh pasukan penyerbu Jepang di front
Barat dan kemudian di front Timur Minahasa. Di dalam pikiran mereka yang sedang
menghuni tenda-tenda perkemahan yang berjajar di samping landasan pangkalan
udara ketika itu, pasti muncul berbagai godaan yang positif maupun yang
negatif, yang kesemuanya berpusat pada titik kehancuran moral maupun material.
Namun bagaimana pun juga, panggilan tugas pengabdian bagi kepentingan
pertahanan teritorial dan kehormatan bangsa, akhirnya merupakan nilai-nilai
yang lebih diutamakan. Bahkan masalah keluarga dan salaris pensiun pun untuk
sementara waktu perlu kiranya dipeti-eskan dulu.
Tamu-tamu dari “gunung Fuji” di belahan bumi bagian utara
itu yang tidak diundang tetapi sedang dinanti-nantikan itu, belum juga
memperlihatkan batang hidung mereka: pasukan payung Jepang! Sekitar pukul 08.40
akhirnya pasukan pertahanan itu dikagetkan oleh deru gemuruh yang cukup
memekakkan anak telinga dari sejumlah pesawat udara bermesin tunggal, yang
mulai beraksi di angkasa di atas pangkalan udara Kalawiran.
Pesawat-pesawat udara berlambang “matahari bulat merah” yang
muncul dari jurusan Kakas itu, tiada lain adalah pesawat-pesawat pemburu Jepang
“Zero”. Sesaat kemudian pesawat-pesawat pemburu “Zero” itu mulai melakukan
berbagai gerakan akrobatik di udara, lalu mengambil ancang-ancang untuk bersiap
menembaki apa saja yang dicurigai sebagai kubu pertahanan musuh. Namun sejauh
itu, tidak ada perlawanan sama sekali dari pihak pasukan pertahanan.
Pesawat-pesawat “Zero” itu justru sangat mengharapkan adanya perlawanan
langsung dari darat, agar mereka bisa mengetahui kedudukan musuh mereka di
darat itu.
Karena perlawanan dari darat masih tetap saja nihil, maka
peluru-peluru mitraliur kaliber 12,7 mm dari pesawat-pesawat udara itu pun
mulai dimuntahkan tanpa sasaran yang jelas, berhamburan keluar dari ujung-ujung
laras senjata yang berada di sayap kiri maupun sayap kanannya.
Tembakan-tembakan itu sudah barang tentu hanyalah untuk sekedar meraba-raba, di
mana sebenarnya kedudukan kubu-kubu pertahanan musuh yang harus dihancurkan.
Namun, tujuan utamanya yang sudah jelas adalah untuk mematahkan semangat juang
pasukan pertahanan serta untuk membantu langsung dengan memberikan perlindungan
terhadap pasukan payung mereka yang segera akan diterjunkan di daerah sasaran
itu, yakni pasukan khusus “Yokosuka” dari komando pasukan Kaigun (marinir)
Angkatan Laut Jepang.
Gempuran awal oleh pesawat-pesawat udara pemburu “Zero” ke
pangkalan udara Kalawiran di pagi hari itu, sempat disaksikan pula oleh dua
orang anggota satuan Korps Palang Merah yang bertugas di pangkalan itu, yaitu
pemuda Wim Mongin dan pensiunan Jusuf Tumangken. Kedua
orang petugas itu berlindung di balik tanggul di sekitar pangkalan udara itu.
Sedangkan pasukan pertahanan KNIL yang berlindung di dalam veldbak-veldbak dan
lubang-lubang parit pertahanan, sengaja tidak berbuat apa-apa menyaksikan aksi
pesawat-pesawat udara Jepang yang sedang merajalela itu. Mereka sengaja
membungkamkan semua laras-laras senjata yang mereka miliki, yang terdiri dari
dua pucuk senjata berat Vickers watermantel, enam pucuk senjata
mi-otomatis KM, dan sejumlah senapan karaben. Juga, apa gunanya hanya
menghambur-hamburkan peluru dengan percuma ke sasaran di udara yang pasti bukan
menjadi tandingannya.
Dengan kekuatan yang relatif kecil hanya sebesar tiga
brigade pasukan di bawah pimpinan komandannya, letnan Wielinga dan
sersan mayor Wayong selaku wakil komandan serta sersan I.
Robbemond sebagai komandan brigade, pasukan pertahanan itu memiliki
sasaran utama, yaitu menggasak pasukan payung Jepang yang diterjunkan dari
udara, dan bukan pesawat-pesawat udara Jepang! Setelah pesawat-pesawat
pemburu “Zero” itu menyelesaikan misi mereka dengan baik, sekalipun tanpa
hasil, maka barulah puluhan buah pesawat udara pengangkut (transport) Jepang
muncul untuk mulai melaksanakan tugas.
Pada gelombang pertama, pesawat-pesawat pengangkut itu
terlihat menerjunkan parasut-parasut yang membawa alat-alat perlengkapan dan
logistik perang yang dijatuhkan dari bagian samping badan pesawat. Perlengkapan
yang diterjunkan itu terdiri atas amunisi, peralatan dapur seperti panci besar
untuk dapur umum pasukan, makanan dalam kaleng termasuk biskuit, dan lain
sebagainya. Sedangkan pada gelombang ke dua diterjunkan boneka-boneka yang
bentuknya mirip manusia. Maksudnya adalah untuk mengelabui pihak pasukan
pertahanan, agar boneka-boneka itu langsung mereka hujani dengan
tembakan-tembakan yang akan mengakibatkan persediaan peluru mereka keburu
habis.
Namun pasukan Reservekorps itu agaknya tidak mudah
terkecoh masuk ke dalam jerat taktik perang dari Komando Tempur Tentara
Jepang. Mereka masih tetap “menyumbat” mulut-mulut laras senjata andalan
mereka itu. Ketegangan pun mulai menyusupi diri para anggota pasukan Reservekorps itu,
ketika saat yang dinanti-nantikan itu akhirnya tiba...
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan
disunting kembali oleh Bapak Johanes Mundung, mantan Pilot Tempur TNI AU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar