Dikarenakan tidak berfungsinya lagi hubungan telepon
Airmadidi-Kema, maka untuk ketiga kalinya petugas kurir itu diperintahkan oleh
komandan letnan Rademaker untuk memantau situasi aksi pendaratan di
front Kema. Dengan disiplin yang terpuji, petugas kurir itu memacu kembali
sepeda motor Ariel 350 cc kebanggaannya, lalu menghilang di sudut jalan
Airmadidi-Kema. Ia melewati jalan Minawerot di kampung Treman terus ke Kauditan
dan langsung menuju jalan ke jurusan Kema, yang memiliki tingkungan jalan
berbentuk huruf “S”. Di kala itu, jalur jalan “Worang Bypass” dan jalan
Kauditan-Bitung belum ada seperti sekarang ini.
Tanpa disadari oleh si petugas kurir, di sepanjang
jalan lurus dari Tontalete ke Kema itu, pasukan marinir Jepang sedang sibuk
mengadakan konsolidasi pasukan, mengatur formasi, dan mempersiapkan gerakan
ofensif selanjutnya untuk merebut kota Airmadidi. Sementara itu, jembatan
Sawangan (kini: jembatan Ruth) yang telah dibakar oleh Mandagi, serta
gudang kopra di lokasi Keburukan di tepi pantai Kema, dibiarkan habis dilalap
api akibat taktik bumi hangus oleh pasukan pertahanan.
Kurir bersepeda motor itu menjadi terperanjat! Ia
dihadang di depan hidung tank-tank dan konvoi truk-truk pasukan Jepang yang
sedang bersiap-siap dengan gerakan majunya. Serdadu awak tank melihat kurir
yang tidak diundang itu, lalu serentak memanggilnya sambil mengayunkan tangan
sebagai isyarat agar ia segera maju ke hadapan mereka. “Indonesia-kah?” hardik
salah seorang di antara serdadu itu. Sepeda motor dihentikan, dan sambil
moncong senapan karaben yang sedang dibawanya di arahkan ke tanah, petugas
kurir itu melangkah mendekati tank itu. Di barisan konvoi itu telah ada juru
bahasanya. Senapan dan peluru diserahkan kepada pasukan Jepang. Kurir yang sial
itu diperintahkan kembali ke sepeda motornya, lalu disuruh mengarahkannya ke
jalan jurusan Airmadidi. Ia harus bertindak seolah-olah sebagai petugas voorrijder atau
perintis jalan ke kota Airmadidi.
Iring-iringan konvoi yang terdiri dari tiga buah tank
besar, tiga buah tank kecil dan puluhan kendaraan truk yang dipadati pasukan
serta perlengkapan perang, berangkat dalam formasi dengan si kurir berada di
paling depan. Kurir yang malang itu kini berubah status menjadi penunjuk jalan
Jepang. Matahari kian tinggi dan waktu menunjukkan pukul 08.00. Kampung-kampung
yang berderet-deret di sepanjang jalan Minawerot dalam keadaan sunyi sepi,
karena penduduknya berada di tempat pengungsian mereka. Konvoi Jepang yang
berjalan perlahan-lahan itu, meskipun bergerak dengan penuh kewaspadaan, tetapi
juga dengan semangat penuh kemenangan.
Pasukan pertahanan di Airmadidi sedang
menanti-nantikan kembalinya si petugas kurir, karena dialah satu-satunya oknum
harapan untuk bisa mendapatkan laporan situasi terakhir dari medan laga. Sesuai
perhitungan waktu, ia seharusnya sudah kembali di saat itu, namun ternyata
belum juga. Pasukan di pos-pos kubu pertahanan Airmadidi hanya berkekuatan satu
brigade plus, di antaranya empat serdaduReservekorps yang menempati veldbak di
tikungan sebelah Timur dekat jembatan “Tete Puti” Airmadidi, yang melayani
senjata berat Vickers watermantel. Sembilan serdadu berjaga di balik
jaringan barikade kawat berduri di tengah jalan perkebunan Kayu Besi (kini:
komplek Universitas Klabat).
Serdadu lainnya berada bersama letnan I Rademaker di
markas bekas rumah hukum besar Wenas. Strategi operasional yang telah
disusun di Markas Komando Pertahanan KNIL di Kakaskasen menetapkan kota
Airmadidi dijadikan daerah konsolidasi bagi jajaran pasukan pertahanan
detasemen sektor Tonsea, bilamana kota Airmadidi telah terancam oleh serangan
pasukan penyerbu. Airmadidi akan merupakan “last battle area” (daerah
pertempuran terakhir) bagi daerah pertahanan sektor Tonsea. Oleh karena itu,
pagi itu letnan Rademaker telah memerintahkan penarikan pasukan
pertahanan di sub-sektor lapangan udara Mapanget, Likupang dan Bitung untuk
memperkuat Markas Pertahanan sektor Airmadidi Tonsea, sesuai taktik dan
strategi yang telah ditetapkan sebagai “last battle area”. Sebagian kecil
pasukan pertahanan di Airmadidi itu yang memang bersemangat baja disertai rasa
optimisme yang tinggi, merasa yakin rekan-rekan mereka dari sub-sektor tersebut
di atas akan segera bergabung. Mereka itu diharapkan dapat memperkuat kubu
pertahanan yang ada dengan beberapa buah senjata semi-otomatis KM serta tiga
pucuk senjata berat Vickers watermantel. Senjata-senjata berat watermantel diharapkan
akan menempati beberapa veldbak yang siap pakai pada dua lokasi pertahanan,
yaitu tiga buah veldbak yang ada di komplek perkebunan Kayu Besi dan
empat buah veldbak di ujung jalan kampung Airmadidi Bawah pada jalan
ke jurusan Tondano.
Sersan Charlies Musa Rumambi bersama
rekan-rekannya kopral Sam Pusung, spandri Kalu Inarai, dan spandri Abram
Maidangkai, telah bertekad bulat untuk “mempertahankan setiap jengkal tanah
leluhur mereka, Toar-Lumimuut, sekali pun nyawa harus dijadikan taruhan, mati
atau hidup bersama-sama.” Namun, harapan dan kenyataan tidak selalu berjalan sejajar.
Hubungan dengan brigade-brigade pasukan pertahanan dari sub-sektor Mapanget,
Likupang dan Bitung itu, praktis telah terputus.
Akibatnya, enam buah veldbak terpaksa
dibiarkan tetap kosong, terkecuali keempat serdadu "papo"("paspoort",
pensiunan) Reservekorps, yakni Rumambi, Pusung, Inarai dan Maidangkai,
yang tetap mengambil stelling di samping jembatan “Tete Puti”
Airmadidi, pada komplek perkebunan Kayu Besi. Otak letnan Rademaker menjadi
pusing tujuh keliling. Dalam benaknya telah tergores kata “gagal”. Konsolidasi
pasukan untuk pertahanan dan pertempuran terakhir di kota Airmadidi “tidak
berhasil”! Situasi pertempuran di daerah Minahasa berjalan begitu cepat, namun
perihal ituRademaker nampaknya “merahasiakan”.
Menunggu itu memang merupakan hal yang cukup
membosankan, karena kesabaran orang sering pula terbatas. Namun bagi
serdadu-serdadu pasukan pertahanan di lokasi pertahanan Airmadidi itu, mereka
tetap bersikap sabar menunggu. Mereka bahkan masih sempat duduk-duduk dengan
santainya, walaupun terkadang tampak sedikit gelisah juga menunggu saat-saat
yang menegangkan ke depan. Namun demikian, mereka tetap memiliki rasa humor
yang wajar.
Salah seorang di antara serdadu itu berkata kepada Agi
P. Supit yang juga menjadi wakil komandan Kompi 'A', “Oom Agi, kalu
kita mati karna iko baku pasang, tulung kase tau akang pa kita pe kaluarga.”
(Pak Agi, kalau saya mati karena ikut bertempur, tolong diberitahukan kepada
keluarga saya) Ungkapan semacam sugesti itu walaupun tidak serius, memang
merupakan suatu hal yang termasuk “poso” atau pantangan menurut kepercayaan
orang Minahasa. Mendengar hal itu, Agi P. Supitdengan nada bergurau
menjawab pula dalam bahasa Melayu-Manado, “Bagini jo, kalu torang samua so
mati, torang maraya plang-plang, kong minta tulung pa tu soldado Japang, supaya
dorang bole baku tulung kase tau akang pa torang pe kaluarga.” (Begini saja,
seandainya kita semua telah mati, kita merangkak saja perlahan-lahan, lalu
minta bantuan kepada serdadu Jepang itu, supaya mereka mau membantu
memberitahukannya kepada keluarga kita). Semua akhirnya tertawa!
Dalam sekejap pula gurauan itu terhenti, karena deru
sejumlah pesawat udara bermesin ganda yang melintas di atas wilayah udara kota
Airmadidi. Pesawat-pesawat udara Jepang itu terbang secara berbanjar dalam
formasi berbentuk eselon yang masing-masing terdiri dari lima pesawat udara dan
mereka sedang mengarah ke jurusan “jantung” Minahasa, kota Tondano. Mungkin
juga pesawat-pesawat itu sedang dalam misinya untuk memberikan dukungan
terhadap aksi pendaratan/penerjunan pasukan payung “Yokosuka” di pangkalan
udara Kalawiran, Kakas-Langowan.
Empat pasang bola mata menjadi terbelalak kaget di
dalam veldbak, saat melihat munculnya iringan konvoi pasukan marinir
Jepang yang datang dari arah Kema itu. Konvoi mesin perang Jepang itu tetap
bergerak perlahan-lahan penuh kewaspadaan. Si petugas kurir merangkap “penunjuk
jalan” berjalan paling depan, mengawali tank dan truk. Dengan rasa terkejut dan
iba hati, sersan Charlies Musa Rumambi bersama ketiga rekannya
menyaksikan nasib sang kurir, sahabat mereka. Mereka insyaf, kurir yang mereka
nanti-nantikan itu telah ditangkap pihak musuh. Aliran darah terasa bagaikan
mendidih tidak terbendung, mematangkan bulir jiwa dan semangat patriotik dan
heroik.
Dalam jarak dekat, pelatuk-pelatuk senjata-senjata
yang berada dalam veldbak mulai dipicu, utamanya senjata berat watermantel yang
berperan aktif. Peluru-peluru penyebar maut berhamburan ke arah kendaraan-kendaraan
truk yang penuh sesak dengan pasukan marinir Jepang. Kontak tembak dibuka
terlebih dahulu oleh keempat serdadu pasukan Reservekorps yang gagah
berani itu. Veldbak yang dibangun rapi, kuat dan taktis, cukup
membingungkan pasukan Jepang. Sementara tank-tank dibiarkan saja dengan
bebasnya, karena memang bukan tandingan senjata berat Vickers watermantel.
Korban mulai berjatuhan di dalam bak kendaraan truk dan teriakan “Banzai!
Banzai!” dan jeritan primitif terdengar di sana sini.
Sang kurir, Karel Cornelis Silagus, pemuda
kelahiran kampung Lumpias, Likupang Tonsea, dengan tangkas membuang dirinya ke
tepi jalan, mencari perlindungan dan menghilang tanpa bekas. Belakangan
diketahui, bahwa Silagus ternyata selamat, bahkan ia sempat
berkeliaran lebih kurang enam bulan lamanya dengan senjata lengkap di dalam
hutan pegunungan Wiau pada paruh kaki gunung Klabat, wilayah kepolisian kampung
Lumpias dan Wasian, distrik Tonsea. Ia pun masuk ke dalam barisan aksi perang
gerilya.
Sementara itu, sederetan pasukan dalam konvoi menjadi panik,
melompat keluar meninggalkan truk mereka yang telah dihentikan. Mereka bergegas
mencari tempat berlindung di selokan-selokan yang menyusuri sepanjang jalan
raya. Rumambi, Pusung, Inarai dan Maidangkai, dengan tenang dan
penuh disiplin melepaskan tembakan mereka, mengobrak-abrik pasukan penyerbu
Jepang yang sedang bingung mencari sumber datangnya tembakan musuh.
Pada pos stelling lain, wakil komandan Kompi
“A” Agi P. Supit bersama kedelapan serdadu pasukanReservekorps menantikan
kedatangan musuh, yang diperkirakan akan mengadakan gerakan melambung untuk
menghindari barikade gulungan ganda kawat berduri setinggi dua meter. Di sisi
lain, kelompok ini berada cukup jauh di seberang sisi jalan untuk dapat
membantu kubu pertahananRumambi dan kawan-kawannya. Ditambah lagi, situasi
medan menganga terbuka tanpa kamuflase pohon-pohon pelindung. Keadaan medan
yang demikian dinilai kurang menguntungkan. Bahkan dua buah tank telah melewati veldbak meskipun
tertahan oleh barikade yang dibuat dari potongan-potongan besi setinggi satu
meter dan tertancap di jalan.
Dengan memperhitungkan hal itu, Agi P. Supit menginstruksikan
untuk bergerak mundur dan mengambil stelling di bukit di atas
jembatan Dinambunan di Airmadidi Bawah. Wakil komandan kompi itu mengadakan
kontak dengan letnan Rademaker untuk melaporkan situasi di front
pertempuran. Kedua pemimpin itu menetapkan taktik selanjutnya. Letnan Rademaker bergerak
menuju arah Rurukan, sedangkan Agi Supit ke arah jurusan kota Tondano
untuk secepatnya menggabungkan diri dengan kedelapan serdadu pasukan di bukit
Dinambunan. Mereka merencanakan untuk akhirnya bertemu di Markas Komando
Kakaskasen, Tomohon.
Sementara itu, Rumambi, Pusung, Inarai dan Maidangkai tetap
beraksi dengan gigih, menyalurkan maut terhadap pasukan Jepang yang bergerak
maju terus bagaikan ulat-ulat yang sedang melalap bangkai. Pertarungan yang
jauh tidak seimbang itu tidak pula bisa dikatakan singkat. Keempat serdadu
perkasa itu sudah mata gelap, darah terus mendidih, tanpa menghiraukan lagi
adanya bala bantuan ataupun tidak, sementara spandri Abram Maidangkai tetap
melaksanakan tugasnya menyuplai peluru-peluru senjata berat watermantel yang
di-hanteer oleh sersan Musa Rumambi dan kawan-kawannya. Senjata
berat itu mulai panas karena digunakan non-stop. Laras cadangan dan persediaan
air pendingin sudah habis terpakai dan akhirnya laras itu menjadi bengkok.
Selaku pembantu bagian amunisi, Maidangkai keluar
dari veldbak mereka melalui lubang parit yang tersedia di bagian
belakang veldbak itu. Parit itu digali memanjang sekitar seratus
meter ke arah kota Airmaidi. Maidangkai tidak dapat kembali lagi
bergabung dengan ketiga rekannya yang masih tetap berada di dalam veldbak yang
bersejarah di samping jembatan "Tete Puti" itu, karena satuan besar
pasukan korps marinir Jepang telah mulai mengadakan gerakan melambung. Pasukan
Jepang itu segera berhasil menguasai parit dan berusaha menggempur sersan Rumambi dan
kedua orang rekannya. Keperkasaan ketiga serdadu KNIL yang benar-benar memiliki
semangat baja itu tetap mereka tampilkan, dengan melepaskan tembakan-tembakan
dari senapan semi-otomatis KM dan senapan karaben yang masih mereka miliki.
Mereka telah bertekad untuk “menguburkan diri” mereka dalam veldbak yang
membentengi diri mereka, yang akan menjadi tempat pertahanan terakhir dalam
rangka membendung ekspansi fasisme Jepang.
Pertempuran berakhir tragis setelah dibayar tunai
dengan 100 lebih serdadu pasukan marinir Jepang yang tewas. Pasukan Jepang yang
berhasil melambung, langsung menghadang ketiga serdadu perkasa itu dari arah
belakang veldbak, di saat ketiga awak kubu beton itu kehabisan peluru.
Tetapi mereka tetap pantang menyerah! Kopral Sam Pusung dan spandri Inarai menjadi
sasaran tusukan bayonet serdadu Jepang. Sersan Rumambi yang juga
menolak keluar dari veldbak untuk menyerah, langsung ditembak.
Ketiga putra Tumaluntung Tonsea itu tewas di dalam veldbak di
samping jembatan "Tete Puti" itu, yang menjadi “monumen” peringatan
pengorbanan pahlawan Toar-Lumimuut asal Tonsea dalam masa Perang II.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legohdan
disunting kembali oleh Bapak Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar