Kamis, 25 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Pertempuran Di Wilayah Udara Tonsea


Pasukan pertahanan Kompi “A” sektor Airmadidi di bawah pimpinan komandannya letnan I O.A. Rademaker, berada dalam keadaan siaga penuh. Letnan O.A. Rademaker terlihat dengan gagah berani ikut menyandang senapan karaben, dan berhasil membakar semangat tempur para serdadu yang dikomandoinya. Kopral Mandagi, salah seorang anggota pasukannya, berkomentar, “Ini baru perang! Letnan juga pegang senapan. Dus, torang juga harus iko baku pasang.”
 Namun, di kejauhan di atas langit Kema terlihat tiga buah pesawat udara berwarna kehitam-hitaman sedang beraksi menari-nari di udara. Salah satu di antaranya tampak menukik dengan tajam bagaikan seekor burung elang yang hendak menyambar mangsanya di permukaan laut, tetapi kemudian tidak muncul kembali di udara. Belakangan baru terdengar kabar bahwa salah satu kapal pengangkut Jepang yang besar telah diserang oleh pesawat udara Sekutu dan tenggelam di perairan laut Girian, Tonsea. Pesawat udara yang ke dua dari ketiga pesawat udara Sekutu tadi, terlihat menjulang lebih tinggi ke angkasa, lalu akhirnya merubah haluannya ke arah timur dan menghilang dari pandangan mata. Diduga pesawat udara itu akhirnya kembali ke pangkalannya dengan selamat.
 Sedangkan pesawat udara yang ke tiga juga menukik ke bawah dalam lingkaran Armada Tempur kapal-kapal perang Jepang. Tetapi, sekonyong-konyong pesawat itu menanjak kembali dengan tajam ke udara, langsung memutar haluan dan menuju arah selatan pegunungan Lembean sambil mengeluarkan asap hitam. Beberapa saat kemudian terlihat dua pesawat pemburu Jepang “Zero” menderu-deru sambil melaju dengan kencang menuju arah pesawat udara Sekutu tadi. Pesawat udara Sekutu itu tetap terbang lurus tanpa merobah haluan, namun kian lama kian menyemburkan asap hitam tebal serta nyala api kuning kemerah-merahan di salah satu sayapnya.
 Sementara itu di suatu lokasi pengungsian, sepasang suami-istri, yaitu Johannes Lambertus Kumontoy yang menjabat wakil hukum tua dan istri tercintanya Fien Geertruida Lengkong, bersama kedua orang putra remaja mereka, masing-masing dengan nama panggilan Ade’ dan Alo’, sedang menata meja untuk persiapan makan pagi mereka di daerah perkebunan Tuloun. Lokasi perkebunan ini hanya berada sekitar lima ratus meter dari kampung Ranowangko II, di daerah pegunungan Lembean. Salah satu putra mereka yang bernama Albert dengan panggilan sehari-hari Alo’ itu, bertanya kepada sang ibunda, “Mak, apa sebabnya di hari Minggu [11 Januari 1942] yang indah ini, begitu ramainya pesawat-pesawat terbang di udara? Ini lain dari hari-hari biasa.” Sang ibu yang mereka cintai itu mencoba menjelaskan, “Sesuai pengumuman plakat dari Hukum tua, kita sekarang sedang dalam keadaan perang dengan Jepang.” Alo’ belum begitu paham dengan apa yang dimasudkan sang ibu. Maklumlah ia masih seorang remaja, belum akil baliq.
 Memang di pagi hari yang indah itu, di angkasa raya bumi Toar-Lumimuut berkeliaran puluhan pesawat-pesawat udara Jepang dari berbagai jenis, seakan-akan sedang berpesta pora menyambut kemenangan-kemenangan yang mereka raih di front Manado dan pantai Kema, serta keunggulan di udara yang mereka miliki. Selain itu, pesawat-pesawat udara tempur Jepang itu turut pula memberikan dukungan terhadap kampanye aksi pendaratan (dengan penerjunan) bagi pasukan payung mereka di kawasan pangkalan udara Kalawiran, yang saat itu sedang dalam pertarungan sengit dengan pihak pasukan pertahanan KNIL. Di zona laut bagian utara, barat dan timur sama sekali tidak terjadi pertarungan laut antara pihak yang bertahan dan pihak penyerbu. Angkatan Laut Jepang secara telak telah menguasai lautan.
 Tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan mereka! Para anggota keluarga Kumontoy itu dengan serentak meninggalkan meja makan dan keluar dari pondok tempat kediaman mereka dalam pengungsian itu. Nasi dan ikan yang sedang dikunyah dalam mulut terhenti seketika, karena mereka mendadak dikagetkan oleh gemuruh keras bunyi mesin pesawat udara, yang mereka sangka akan menabrak pondok mereka itu. Dalam sekejap itu juga melintaslah dengan sangat rendah di atas pondok mereka itu, sebuah pesawat udara yang sedang terbakar dan diselimuti asap hitam tebal, lalu sesaat kemudian disusul bunyi ledakan yang dahsyat, yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Ternyata pesawat udara itu mungkin berusaha melakukan pendaratan darurat, namun meledak berkeping-keping di sebuah lahan dekat kali Tuloun.
 Suasana perang untuk seketika dilupakan. Penduduk yang berada di bukit-bukit tempat pengungsian secara berbondong-bondong turun menuju lokasi terjadinya malapetaka itu. Mereka tidak mempedulikan apakah itu pesawat udara kawan atau lawan. Hukum tua yang cukup bijaksana didampingi oleh Johannes L. Kumontoy beserta kedua putranya, beberapa orang pensiunan tentara, para pemuka kampung, dan kepala jaga kampung, bertemu di lokasi kejadian.
 Hukum tua Z.Z. Singal, yang kebetulan pula pensiunan kopral KNIL, segera mengenali identitas pesawat udara naas itu sebagai milik skuadron pembom Angkatan Udara Australia, karena membujur pada badan pesawat udara itu jelas terpampang empat huruf besar “RAAF”, singkatan dari “Royal Australian Air Force”. Jenis pesawat ini dikenal sebagai pembom tipe B-17 “Flying Fortress”. Keempat awak pesawatnya yang terdiri dari tiga orang pria dan seorang wanita, yang bertugas sebagai pilot, co-pilot, navigator, dan air gunner (juru tembak udara), tewas di dalam reruntuhan bangkai pesawat udara itu.
 Hukum tua Singal memerintahkan kepada warganya, agar keempat jenazah awak pesawat udara Angkatan Udara Australia itu dievakuasi dari bangkai pesawat udara B-17 itu. Jenazah-jenazah yang sudah tidak utuh lagi itu kemudian ditata kembali dan dirapihkan secara terhormat. Semua tanda pengenal keanggotaan militer mereka yang terbuat dari bahan logam seperti yang terdapat di pergelangan tangan dan yang dikalungkan di leher, dikumpulkan dan diminyaki dengan minyak gemuk dan dibungkus, lalu dimasukkan ke dalam peti jenazah. Sebelum jenazah mereka diusung ke tempat pemakaman, terlebih dahulu disemayamkan di gereja GMIM setempat, di mana dilangsungkan suatu acara kebaktian.
 Gema bunyi momongan (gong besar) yang didentangkan berulang kali, memberikan isyarat, bahwa keempat jenazah itu segera akan diusung menuju tempat pemakaman dengan diiringi oleh warga masyarakat kampung itu. Jenazah-jenazah itu dimakamkan di pekuburan penduduk kampung Ranowangko II dengan upacara agama Kristen Protestan dan secara militer walaupun tanpa tembakan salvo, dengan dipimpin oleh kelompok pensiunan tentara dan para pemuka masyarakat setempat.
 Seluruh bagian dari bangkai pesawat udara itu kemudian dikumpulkan oleh penduduk, lalu diletakkan di sebidang kecil lahan dari pekarangan rumah hukum tua Z.Z. Singal, bagaikan sebuah “monumen memorial” yang menjadi bukti kepahlawanan para personil Tentara Sekutu, walaupun perang belum juga berakhir di kampung Ranowangko II itu!
 Setelah pesawat udara RAAF yang terakhir itu menghilang ke jurusan timur, muncullah tiga pesawat udara Jepang yang meraung-raung di atas angkasa pantai Kema. Pesawat-pesawat udara itu secara berturut-turut mulai menjatuhkan parasut (payung udara) yang terbuka dengan manis sekali. Anehnya, parasut-parasut itu tidak langsung mendarat, melainkan melayang-layang cukup lama di udara, baru lah kemudian menghilang. Letnan Rademaker yang menyaksikan langsung kejadian itu dari kejauhan, berkomentar, “Dat zijn toch poppetjes!” (Itu ‘kan boneka-boneka!), karena ia mengetahui hal itu sebagai suatu siasat saja dari pihak Jepang. Bila boneka-boneka itu kita tembak, Jepang segera akan tahu posisi pertahanan kita dan akan menggempur kita, tambah Rademakerlebih lanjut.
 Dalam pada itu, di atas kapal-kapal perang Armada Tempur Angkatan Laut Jepang yang sedang bercokol di perairan Teluk Kema, “aroma” kemenangan sedang menyusupi ke dalam benak para perwira Tentara Jepang, meskipun kepastian kemenangan masih diragukan. Para opsir dari pimpinan Komando Tempur telah berkeyakinan penuh, bahwa para komandan pertempuran beserta para serdadu pasukan marinir “Sasebo” maupun pasukan payung “Yokosuka”, pasti telah memenangkan pertempuran di semua front.
 Keyakinan tersebut didasarkan atas telah dibekalinya setiap opsir maupun serdadu dari “Imperial Dai Nippon Dai Koku Sentai” (pasukan penyerang khusus dari Kekaisaran Jepang yang jaya) masing-masing dengan satu pak rokok sigaret yang bertuliskan huruf-huruf amanat “Tennoheika Gogoheika” (kaisar dan permaisuri). Amanat tersebut menjiwai semangat “jibaku tai, kamikaze, dan harakiri” bagi setiap serdadu “Koku Sentai” dan “Samurai”, di mana dengan tekad untuk “menang atau kalah dalam perang”, pasukan khusus itu rela berkorban jiwa demi kehormatan dan kejayaan kaisar dan permaisuri kekaisaran Jepang.
 Komandan Eskader ke-5 Armada Tempur A.L. Jepang, Laksamana Muda Takeo Takagi belum sempat merayakan kemenangannya, ketika di udara telah muncul lima belas pesawat pembom jenis “Hudson” milik Angkatan Udara Australia (RAAF) didampingi oleh tiga buah pesawat udara jenis “Dornier” dariMilitaire Luchtvaart (penerbangan militer) atau ML-KNIL Hindia-Belanda. Dalam tempo singkat, di angkasa telah terjadi “perkelahian” antara pesawat udara yang saling bermusuhan. Dari kejar-mengejar sambil masing-masing menampilkan taktik dan lawan-taktiknya, akhirnya berkembang menjadi pertarungan duel di udara. Beberapa pesawat udara Jepang sempat dirontokkan. Sebuah pesawat udara bermesin ganda Jepang dari jenis pembom tukik, tidak sempat kembali mencapai pangkalannya di kapal induk Armada Tempur Jepang yang berada di sekitar perairan itu. Pesawat udara itu jatuh terbakar di lokasi perkebunan rakyat Mataingkere, yang terletak sekitar tiga kilometer dari kampung Tumaluntung, distrik Tonsea.
 Salah seorang awak pesawatnya tewas bersama bangkai pesawat udara itu, sedangkan rekannya yang lain, entah ia pilot atau ko-pilot pesawat udara itu, sempat menyelamatkan diri terjun dengan parasut. Pilot itu selamat dan menyerahkan diri kepada Hukum tua dan rakyat kampung itu. Pilot yang tidak berdaya itu memohon, agar ia dapat dikembalikan kepada Komando Tempur Tentara Jepang yang kini telah bermarkas di semenanjung pantai Kema. Permintaan sang korban dikabulkan, dan ia pun selamat.
 Kedelapan belas buah pesawat udara Sekutu yang diterbangkan dari pangkalan udara Laha (kini: Lanud Patimura) di Ambon itu, ternyata tidak berhasil menyelesaikan seluruh misinya. Pesawat pembom “Betty” dan pesawat pemburu “Zero” milik satuan udara Angkatan Laut Jepang yang segera mengudara dari kapal induk, berhasil merontokkan empat pesawat udara jenis “Hudson” dan satu pesawat udara jenis “Dornier”. Sedangkan ketiga pesawat pembom B-17 “Flying Fortress” yang diobrak-abrik di angkasa terlebih dahulu itu, juga termasuk dalam formasi tempur skuadron pembom B-17 RAAF. Beberapa pesawat udara pihak Sekutu yang berhasil kembali dengan selamat ke pangkalannya, mendarat kembali di pangkalan udara Laha, Ambon, dengan badan yang tercabik-cabik, bahkan beberapa awak pesawatnya dalam keadaan gugur di dalam pesawat udara itu.
 Komentator “Tokyo Rose” dari Radio Tokyo dalam ulasannya mengakui, bahwa pertempuran untuk merebut Kema itu “berlangsung dengan singkat, tetapi sengit.” Sedangkan Radio NIROM Batavia Centrum, dalam komentarnya pada siaran tertanggal 13 Januari 1942 yang menyangkut pertempuran di Manado-Minahasa, menyatakan pendapatnya yang bernada pujian: “De zonen van Toar-Lumimuut vechten als leeuw”, yang artinya “Para putra-putri Toar-Lumimuut (Minahasa) itu bertarung bagaikan singa [lapar]”. 
 Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.

Kisah Perang Dunia II - Pertempuran Gunung Potong di Noongan



Sementara itu berbagai satuan dalam kelompok kecil dari pasukan Reservekorps, pasukanBeroepsmilitair dan pasukan Kortverband ex-front Km-17/Km-18 Tinoor, Kinilow, Kakaskasen, pangkalan udara Kalawiran dan Kakas, melakukan gerakan mundur secara terpencar-pencar. Sesuai penggarisan kebijaksanaan taktik operasional yang ditetapkan di Markas Komando Pertahanan Kakaskasen, maka Gunung Potong di Noongan dijadikan tempat konsolidasi untuk membangun kubu pertahanan tahap ke dua dalam rangka membendung gerakan ofensif Tentara Jepang ke arah wilayah Minahasa Selatan, yaitu untuk menduduki kota-kota Ratahan, Belang, Tombatu, Amurang dan seterusnya.

Sersan H. Wungkar yang berperawakan tinggi kekar dan bermata biru, dengan didampingi ordonans spandri Patilaya, spandri Wim Kumontoy bersama rekan-rekan mereka, tiba di Gunung Potong dalam satuan-satuan kecil yang terdiri dari tiga-empat serdadu berasal dari berbagai unit brigade, seksi atau kompi pasukan pertahanan. Umumnya satuan pertahanan gabungan Gunung Potong itu telah berkenalan dengan letupan senjata serdadu korps marinir Jepang. Makanan dan minuman disuplai oleh sebagian masyarakat Ratahan dan Belang, terutama ikan laut yang masih fresko (segar), ikan fufu (diasapkan kering), saguer (tuak enau), cap tikus (minuman keras sejenis wiski), selain masih terdapat sisa-sisa persediaan makanan kaleng yang ada di dalam ransel.

Minuman cap tikus, yang merupakan wiski khas rakyat Minahasa yang sangat populer itu, mampu menerjang hembusan udara dingin dari gunung Soputan, gunung Kawatak dan gunung Kelelondei, yang dapat mencengkeram dan melilit sekujur tubuh anggota pasukan Reservekorps, Beroepsmilitairdan Kortverband yang sedang berlindung di bawah daseng-daseng tanpa dinding. Mereka sedang berbincang-bincang sambil bertukar ceritera mengenai pengalaman mereka masing-masing dalam berbagai front pertempuran. Rasanya memang ganjil, bilamana harus merekonstruksikan bagaimana metoda dan gaya taktik operasional gerakan pasukan Tentara Jepang, ketika mereka hendak merebut posisi pertahanan lawan. Pasukan Jepang itu biasanya maju secara berkelompok besar ibarat barisan semut yang sedang mapalus (gotong royong) memikul bangkai lalat, sehingga nampaknya mereka kurang memperhitungkan taktik.

Dalam berbincang-bincang itu, terdengar antara lain berbagai komentar, seperti misalnya, “Sayang sekali, Komandan lupa menyuruh kita membawa minyak gemuk dan tongkat pembersih. Juga cadangan laras watermantel yang cukup serta air pendinginnya, agar dapat menetralkan laras senjata yang sudah kepanasan.” Spandri Patilaya terdengar berkata, “Meskipun hati masih ingin berkelahi, tapi senjata kita sudah bengkok, dan kita pun menjadi kewalahan karena senjata unggulan kita tidak mau lagi meneruskan pertempuran dan akhirnya kita semua mati akal.”

Patilaya turut meramaikan percakapan mereka, karena telah hampir hanyut meminum cap tikussecara berlebihan. Luka di bagian wajah dan lengannya yang dibalut perban menandakan, bahwaPatilaya adalah salah seorang korban pecahan granat mortir kaliber tiga inci pasukan korps marinir Jepang pada front pertempuran “Km-17/Km-18” Tinoor. Kata-kata yang bersemangat, wajah yang keras, tetapi mata yang sering redup mungkin suatu pertanda bahwa ia masih menyimpan sesuatu dibalik bola matanya. Infeksi pada lukanya dirasakan cukup perih, sedangkan musuhnya kini telah berada tidak jauh di depan hidungnya, kota Langowan.

Lain halnya dengan suasana batin para anggota pasukan Reservekorps ex-front pangkalan udara Kalawiran, seperti spandri Paul Sumual, spandri Waworuntu, spandri Manoppo dan kawan-kawan mereka. Ulu hati mereka terasa dipanggang oleh perasaan kecintaan yang sulit terkirakan, karena para istri dan anak-anak mereka berada hanya di ujung jari telunjuk, yaitu di kota Langowan yang hanya berjarak tiga sampai empat kilometer dari Gunung Potong. Pos-pos penjagaan serdadu pasukan payung Jepang, barikade pohon-pohon yang ditumbangkan, dan bagian hutan lebat Gunung Potong dengan jurang-jurang yang terjal, kesemuanya itu merupakan dinding-dinding pemisah kebengisan perang bagi keluarga dan mereka sendiri.

Pukul 05.30 tanggal kalender 19 Januari 1942, keadaan cuaca cerah. Kota Langowan, kampung Noongan dan jalur jalan Gunung Potong menuju kota Ratahan, masih terlena dalam selimut embun pagi dan kabut awan tebal amat dingin yang membuat orang menggigil. Noongan, sebuah tempat pariwisata, yang terkenal dengan keindahan alamnya yang cantik menarik dan dimodali beberapa bangunan bungalow, sarana sanatorium, kolam renang dan penataan taman yang indah, dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda dan pengusaha swasta puluhan tahun yang lampau. Noongan yang terletak di sebelah timurlaut kaki Gunung Potong dan merupakan tempat peristirahatan terkenal bagi orang-orang Eropa, kini hanya menjadi tempat yang ditinggalkan terlantar alias “tidak bertuan”! Pasukan Tentara Jepang sangat bergairah untuk menjadi raja atas alam dan peradaban manusia yang berwatak ramah dan sopan.

Namun di pagi hari yang cerah itu, mendadak ratusan granat senjata berat mortir dari pasukan Tentara Jepang mulai beraksi. Ledakan-ledakan dahsyat yang memekakkan anak telinga, dengan sendirinya mengundang para serdadu pasukan pertahanan untuk berjaga-jaga menghadapi pasukan payung Jepang, yang telah mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk melakukan aksi penyerbuan terhadap kubu pertahanan Gunung Potong. Pasukan payung yang bergerak maju itu, dengan sikap siaga penuh langsung memasuki dan merebut kampung Noongan tanpa adanya perlawanan sedikitpun dari lawan mereka yang telah terkenal bobotnya.

Karena tidak ada perlawanan, maka sadarlah mereka bahwa Noongan memang tidak dipilih dalam daftar undian untuk dijadikan sebagai arena pertempuran di pagi hari itu. Oleh karenanya, tingkat kewaspadaan serdadu Jepang pun mulai mengendor sementara mereka terus bergerak maju menuju Gunung Potong.Situasi medan di Gunung Potong untuk dijadikan gelanggang pertempuran dapat dikatakan ideal sekali, karena memiliki posisi strategis bagi pihak pasukan yang bertahan, dan selain itu diperkuat lagi dengan adanya tiga buah veldbak, walaupun belum sempat dikerjakan secara tuntas. Sebaliknya, sangatlah berbahaya bagi pihak penyerang, karena pada sisi kanan jalan terdapat jurang menganga yang curam sedalam lebih kurang lima puluh sampai seratus meter, sedangkan pada sisi kiri jalan menjulang ruas dinding bukit setinggi empat puluh hingga enam puluh meter sampai ke titik jalan tanjakan Gunung Potong, lalu menurun pada jalur jalan sampai ke kampung Pangu di wilayah distrik Ratahan.

Sementara pasukan payung Jepang melangkah maju sambil napas mereka terengah-engah akibat menyusuri tanjakan pada jalur jalan Gunung Potong, tiba-tiba pasukan pertahanan gabungan melepaskan tembakan-tembakan beruntun tanpa mengenal ampun, dibarengi dengan pekikan “I Yayat U Santi” serta segera disambut pula dengan gema yel-yel “kumukuk” selaku pancaran adat budaya pembangkit semangat juang. Adapun kalimat kesatria itu telah terukir kini bersama “burung manguni” sebagai lambang panji Minahasa. Pekikan itu mungkin juga pernah terdengar di front Kalawiran, sehingga para serdadu marinir pasukan payung Jepang langsung menjadi panik seketika, apa lagi setelah menyaksikan bagaimana rekan-rekan mereka mulai berguguran disambar timah panas pasukan gabungan itu. Selain yang langsung tewas seketika, ada pula yang mengalami luka berat dan ringan sambil berteriak-teriak histeris kesakitan tetapi belum menemui ajalnya.

Kisah Perang Dunia II - Perwira Samurai Gugur di Dinambunan


 Konvoi Jepang sekali lagi mengadakan kosolidasi pasukan. Mereka harus mengurusi serdadu-serdadu mereka yang tewas dan luka-luka. Serdadu marinir yang tewas diangkut dengan truk menuju Kema untuk dilakukan pembakaran mayat (dikremasi). Sedangkan para opsir marinir Jepang yang gugur, dikremasi di suatu lokasi sekitar tujuh puluh meter di belakang veldbak pada arah gunung Klabat. Di kemudian hari di masa pendudukan Jepang, pemerintah membangun sebuah tugu peringatan dengan jalur jalan masuknya selebar empat meter dan dilapisi batu-batu kerikil. Selanjutnya, ranjau-ranjau potongan besi anti tank dibersihkan, agar jalan dapat dilewati konvoi truk. Kota Airmadidi berhasil direbut!

Kisah Perang Dunia II - Milisi Bumiputra Tinggalkan Kotamobagu



Para serdadu anggota pasukan Batalyon Infantri Inheemsche Militie (Miisi Pribumi) Manado yang berkekuatan sekitar empat ratus orang itu dilatih dalam bidang kemiliteran di kota Manado dan dilanjutkan lagi selama berada di Kotamobagu. Angkatan yang sekarang merupakan penerimaan pada pertengahan tahun 1941. Adapun persyaratan untuk dapat diterima menjadi anggota tentara “inheemsche militie” (milisi bumiputra), selain berbadan sehat, berkelakuan baik sesuai surat keterangan dari hukum tua (kepala kampung) dan memperoleh izin dari orang tua, usia calon pada saat itu minimal harus 18 (delapan belas) tahun dan maksimal 24 (dua puluh empat) tahun. Usia-usia lainnya di luar kedua batas golongan usia yang ditentukan itu tidak dapat diterima. Selanjutnya si calon harus lulus mengikuti latihan dasar kemiliteran yang berlangsung selama enam bulan, sebelum dapat diangkat menjadi serdadu milisi, yaitu sebagai serdadu fusilier (fuselir) atau serdadu biasa pasukan infanteri (infanterist).

Kisah Perang Dunia II - Heroisme Abadi di Jembatan "Tete Puti" Airmadidi Heroisme Abadi di Jembatan "Tete Puti" Airmadidi


Dikarenakan tidak berfungsinya lagi hubungan telepon Airmadidi-Kema, maka untuk ketiga kalinya petugas kurir itu diperintahkan oleh komandan letnan Rademaker untuk memantau situasi aksi pendaratan di front Kema. Dengan disiplin yang terpuji, petugas kurir itu memacu kembali sepeda motor Ariel 350 cc kebanggaannya, lalu menghilang di sudut jalan Airmadidi-Kema. Ia melewati jalan Minawerot di kampung Treman terus ke Kauditan dan langsung menuju jalan ke jurusan Kema, yang memiliki tingkungan jalan berbentuk huruf “S”. Di kala itu, jalur jalan “Worang Bypass” dan jalan Kauditan-Bitung belum ada seperti sekarang ini.

Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Kapal Perang Jerman “Emden” di Minahasa


 Di daerah Minahasa pada masa sebelum Perang Dunia II telah terdapat banyak warga berkebangsaan Jerman dan warga keturunan Jerman (Indo) sejak Perang Dunia Pertama. Jazirah Minahasa yang terletak di bagian ujung utara pulau Sulawesi dengan luasnya 4.734 kilometer persegi, menempati posisi geografis dekat khatulistiwa pada posisi 0º 25' - 1º 8' L.U. (lintang utara) dan 121º - 127º B.T. (bujur timur), pernah di masa Perang Dunia I menjadi tempat bersembunyi dan tempat berteduhnya sebuah kapal perang penjelajah berat armada Angkatan Laut Jerman yang terkenal, bernama “Emden”.

Kisah Perang Dunia II - Bantuan Tembakan Udara Pesawat "Zero"


Beberapa serdadu pasukan pertahanan KNIL juga tidak luput dimakan peluru serta pecahan granat mortir pasukan Jepang. Mereka yang jatuh korban disingkirkan dari arena pertempuran dengan diangkut memakai kendaraan truk yang tersedia, sedangkan rekan-rekan mereka tetap mempertahankan jalan raya Km-17/Km-18 Tinoor. 
Selembar kain berwarna kuning yang panjangnya berkisar antara tujuh sampai sembilan meter, sesaat kemudian terlihat dibentangkan di atas tanah oleh pasukan marinir Jepang pada ujung jalan bagian utara, yang memberikan isyarat bahwa mereka meminta bantuan tembakan dari udara.

Kisah Perang Dunia II - Pendaratan Bala Tentara Jepang di Manado


Max Gonta sedang dalam perjalanan pulang dari tugasnya di perusahaan listrik NIGEM Manado pada malam hari itu. Sambil mengayuh sepedanya di jalan raya yang menyusuri tepi pantai kampung Bahu, ia melepaskan pandangan ke arah lepas pantai. Alam ketika itu keadaannya gelap gulita. Sesuai perhitungan taktik militer, pihak musuh kemungkinan besar akan melaksanakan aksi pendaratan dari arah sana, demikian lamunannya. Malam itu, bagian pantai itu sedang dijaga oleh anggota pasukanEuropeesche Militie dan Stadswacht. Sedangkan anggota pasukan Reservekorps dan Beroepsmilitairmenempati sejumlah veldbak sepanjang pantai di titik-titik jalan yang strategis.

Kisah Perang Dunia II -Kontak Tembak di Selet Sosor Gunung Kaweng


Keadaan di daerah Minahasa nampaknya belum sepenuhnya dikuasai oleh pihak Tentara Jepang. Rumah pasanggrahan yang terletak di pusat kawasan perkampungan Kakas, kini telah dijadikan Markas Pasukan Payung Tentara Jepang. Suasana kesibukan pada jam-jam dinas berjalan terus, seperti apel bendera di halaman Markas Pasukan Payung itu, mengadakan kegiatan kontak kerja dengan Markas Komando Pasukan Payung di kota Langowan dan Markas Pasukan Marinir di kota Tondano. Suatu gejala bahwa keadaan perang memang belum selesai dan berakhir.

Kisah Perang Dunia II - Kisah Petugas Luchtbeschermings Dienst - Ernest Pangemanan


Kisah Petugas Luchtbeschermings Dienst (LBD) - Ernest Pangemanan
Dua hari sebelum Hari “H” pendaratan pasukan korps marinir Jepang di pantai kota Manado, seorang anggota satuan Luchtbeschermings Dienst (LBD) wilayah kota Manado, yaitu Ernest Pangemanan, mengambil cuti selama dua hari kerja pada hari Jum’at dan Sabtu. Anggota LBD itu dapat menikmati waktu liburnya hingga hari Minggu 11 Januari 1942 (yaitu hari “H” itu), sehingga ia harus sudah kembali masuk kerja pada hari Senin tanggal 12 Januari 1942.

Kisah Perang Dunia II - Ekspedisi dan Misi Intelijen ke Gorontalo


Ekspedisi dan Misi  Inheemsche Militie Manado  ke Gorontalo

Batalyon Inheemsche Militie Manado di bawah komandannya kapten J.H.L.A.C. De Swert, beristirahat selama beberapa hari di kampung Liyon, yang terletak di pesisir pantai. Petugas militer dan sipil di tempat itu belum mengambil langkah-langkah persiapan untuk menyediakan kapal motor dan perahu untuk tugas penyeberangan laut di teluk Tomini menuju pelabuhan Poso. Sementara pasukan beristirahat, kapten De Swert menginstruksikan kepada sersan Hendrik Alanos Adam dan lima orang anggota pasukan milisi, yaitu fuselir Engelbert Warouw, fuselir Karel Gerungan dan tiga orang rekan lainnya untuk melakukan pemantauan terhadap situasi kota Gorontalo, apakah kota itu telah jatuh ke dalam tangan pasukan Tentara Jepang atau masih berada dalam kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda.

Kisah Perang Dunia II - Algojo di "Tokyo Baru" Minahasa



Spandri Soleman Tulangouw dan adiknya Paul Tulangouw bersama kawan-kawan anggota pasukan Reservekorps yang mengaku tidak terlibat pertempuran melawan Tentara Jepang, beberapa hari kemudian diangkut ke kota Tondano, dimasukkan dalam kamp Tawanan Perang Jepang sampai dengan tahun 1944, dan pada akhirnya dibebaskan oleh komandan korps marinir Jepang.

Kisah Perang Dunia II - Batalyon Inheemsche Militie Tiba di Poso


Rombongan Batalyon Inheemsche Militie Manado tiba di pelabuhan Poso di malam hari pada sekitar tanggal 25 Februari 1942. Komandan batalyon kapten J.H.L.A.C. De Swert dan wakilnya letnan IW.H.J.E. Van Daalen bersama pasukannya disambut di pelabuhan oleh TPC mayor B.F.A. Schilmöller, residen F.C.H. Hirschmann, yang menggantikan residen Van Rijn, asisten residenL.C.J. Rijsdijk yang menggantikan asisten residen Jan Jurian Mendelaar, kontrolir H.J. Van Schravendijk, bestuursassistent Wim S. Warouw, dokter A.G.J. Kandouw, kommies Katili, jaksaTheodorus Polii, jaksa Barends Pontoh, kepala kantor pos Umboh, school opziener (penilik sekolah) Marthin Supit, Tuan Raja Talasa, serta para pemuka masyarakat lainnya.

Kisah Perang Dunia II - Jepang Menduduki Tomohon dan Tondano Pertempuran di Kinilow, Tomohon Diduduki, Konsolidasi di Tondano


Akhirnya pasukan korps marinir Jepang yang ribuan jumlahnya itu berhasil juga menyingkirkan batang-batang pohon besar maupun kecil yang dijadikan barikade jalan oleh pasukan lini pertahanan Km-17/Km-18 Tinoor. Selanjutnya mereka pun bergerak maju terus untuk mencapai tujuannya, merebut kota Tomohon. Pada petang hari tanggal 11 Januari 1942 itu, pasukan penyerbu Jepang itu langsung melangkah maju dengan kekuatan penuh. Sambil membereskan serdadu-serdadu mereka yang tewas maupun yang luka berat dan ringan, pasukan Jepang itu secara perlahan-lahan serta penuh kewaspadaan mulai mendekati kampung Kinilow.

Kisah Perang Dunia II - Kakas, Langowan dan Kalawiran Terancam


Kakas, awal Januari 1942. Sebagian penduduk kampung Talikuran Kakas telah mengungsi ke ladang-ladang perkebunan mereka. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan di tempat, di antaranya pendeta Wim Wagey dan beberapa orang pegawainya. Seorang serdadu pasukan pertahanan mendatangi pendeta itu, lalu berkata, “Oom pandita, Belanda ingin menggunakan ruangan di dalam gereja ini sebagai gudang makanan.” Tentu saja Wim Wagey terkejut bukan main. “Masa’ rumah Tuhan juga mau dilibatkan dalam peperangan,” ia mengeluh di dalam hati.
Namun, secara diam-diam pendeta itu memutuskan untuk tidak akan merelakan gereja baru dan kokoh itu, yang menjadi kebanggaan umat Kristiani di seluruh perkampungan Kakas, digunakan sebagai fasilitas untuk militer. Koster (penjaga gereja) disuruhnya mengunci pintu utama gereja di bagian depan dan pergi membawa kunci itu untuk disimpan alias diamankan. Sedangkan pendeta itu sendiri hanya memegang kunci ruang konsistori.

Kisah Perang Dunia II - Pangkalan Udara Amfibi Tasuka Diserang di Hari Natal Kedua 1941



Pangkalan Udara Amfibi Tasuka Diserang
Mendengar berita-berita perkembangan dunia yang menjurus ke batas-batas jurang kehancuran, pintu hati masyarakat residensi Manado mulai semakin terbuka. Kalau pada mulanya, sumbu peperangan masih bersumber di benua Eropa yang letak geografisnya begitu jauh, kini sumbu peperangan itu telah dinyalakan pada tanggal 7 Desember 1941 di Pearl Harbor, Hawaii, dalam wilayah kawasan Pasifik, lalu menusuk ke wilayah Timur Jauh dan Asia Tenggara. Letaknya sudah tidak jauh lagi dari kota “nyiur melambai”, Manado.