Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Kisah Petugas Luchtbeschermings Dienst - Ernest Pangemanan


Kisah Petugas Luchtbeschermings Dienst (LBD) - Ernest Pangemanan
Dua hari sebelum Hari “H” pendaratan pasukan korps marinir Jepang di pantai kota Manado, seorang anggota satuan Luchtbeschermings Dienst (LBD) wilayah kota Manado, yaitu Ernest Pangemanan, mengambil cuti selama dua hari kerja pada hari Jum’at dan Sabtu. Anggota LBD itu dapat menikmati waktu liburnya hingga hari Minggu 11 Januari 1942 (yaitu hari “H” itu), sehingga ia harus sudah kembali masuk kerja pada hari Senin tanggal 12 Januari 1942.
Ernest Pangemanan ini memang telah mendengar dari beberapa orang penduduk kota Manado yang mengungsi ke kampung-kampung di sekitar kota Kawangkoan, sejak malam harinya hingga pagi hari itu, bahwa kota Manado saat itu telah menjadi gelanggang pertempuran antara pasukan KNIL dengan Tentara Jepang. Ernest Pangemanan belum begitu yakin seratus persen atas isu situasi di kota Manado itu. Namun, kabar-kabar itu bahkan telah membuat kedua daun telinganya menjadi merah dan panas rasanya, kalau hal itu memang benar.
Pagi itu juga, hari Minggu tanggal 11 Januari 1942 sekitar pukul 07.15, selesai menikmati sarapan pagi bersama keluarganya, ia pun langsung pamit untuk berangkat ke Manado sebagaimana lazimnya, dengan menaiki sepeda merek “Fongers”. Dikayuhnya sepeda setengah tua miliknya itu menuju kota Manado dari kampung Tondegesan, distrik Kawangkoan, tempat ia berasal. Hatinya berdebar-debar karena perasaan beraninya bercampur dengan perasaan bimbang, selagi ia melaju sambil mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang.
Baru saja ia memasuki kawasan onderdistrik Sonder, ia telah bisa melihat puluhan pesawat udara dengan lambang “matahari bulat merah” (Matahari Terbit) sedang terbang dalam formasi melintas dari arah selatan ke utara. Tanpa disadarinya, sepedanya itu dikayuhnya lebih cepat lagi. Namun mendadak ia segera mengerem kawan setianya itu sehingga terhenti. Beberapa kali ia melaju kembali, tetapi kemudian dihentikan lagi. Demikianlah yang terjadi akibat di dalam diri si pemilik sepeda itu, baik rasio maupun emosi menimbulkan gejolak yang serba tidak menentu.
Ia juga merasa curiga mengapa di sepanjang jalan yang baru ia lalui itu tidak dijumpai seorang makhluk pun. Kampung Kiawa, Sonder, dan Leilem telah dilewati olehnya seorang diri, ibarat seorang peserta lomba balap sepeda yang melakukan sprint dan melesat paling depan memasuki garis finis. Namun, di jalan raya antara kampung Leilem dan kampung Lahendong, ia akhirnya berpapasan juga dengan seorang pengayuh sepeda yang sedang membonceng sebuah buntalan barang, tetapi kedudukannya telah miring ke samping sehingga hampir jatuh.
Orang itu menghentikan sepedanya, dan sambil terheran-heran langsung menyapa diri Ernest.
“Mau ke mana, Oom?”
“Mau ke Manado. Kenapa?” jawab Ernest dengan nada yang serius.
“Wah, selamat pergi mati, jo!” kata orang itu ketus.
Ernest Pangemanan lalu memutarkan sepedanya berbalik arah untuk kembali ke arah Sonder. Tetapi, orang itu lantas bertanya kembali.
“Ke mana, Oom?”
“Pulang ke Tondegesan.”
“Nah, selamat pergi hidup, jo!” kata orang itu sambil tersenyum, lalu beranjak meneruskan perjalanannya ke arah selatan.
Namun setelah orang yang belum dikenalnya itu menghilang dari pandangan matanya, petugas LBD itu kembali memutarkan sepedanya ke arah utara, dengan maksud untuk tetap meneruskan perjalanannya menuju jurusan Tomohon-Manado. Hal tersebut tiada lain adalah karena didorong kesadarannya akan panggilan tugas sebagai seorang anggota
Luchtbeschermings Dienst wilayah kota Manado, dan itu tercermin pula pada lengan bajunya yang disemati badge berbentuk bundar bertuliskan huruf-huruf “LBD”.
Setelah sekian lamanya mengayuh sepeda kesayangannya itu, ia pun tiba di pintu masuk kampung Lahendong. Di sana ia berjumpa dengan sebuah kendaraan truk yang sarat dimuati para serdadu pasukan Reservekorps beserta para istri dan anak-anak mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar deru pesawat-pesawat pemburu “Zero” yang terbang melintas dengan formasi berjajar dua-dua dengan megahnya. Tanpa ragu-ragu sedikit pun, segera kendaraan truk itu membelok dengan tajam memasuki pekarangan rumah yang rimbun dengan pohon-pohon buah-buahan, sebagai tempat persembunyian sementara. Dan tanpa diperintah, para penumpangnya segera berlompatan keluar sambil berhamburan mencari tempat perlindungan di bawah pohon-pohon. Sedangkan anak-istri mereka disuruh memasuki lubang-lubang parit perlindungan.
Pesawat-pesawat udara Jepang itu terbang rendah sekali pada ketinggian sekitar 150 meter saja di atas kampung Lahendong. Pesawat-pesawat itu tidak melepaskan tembakan. Demikian pula senjata-senjata semi otomatis KM milik pasukan Reservekorps itu yang sebenarnya sudah siap tembak, tidak juga dinyanyikan oleh pihak pasukan pertahanan KNIL itu. Diduga pesawat-pesawat udara Jepang itu hanya ingin melihat lebih jelas gumpalan asap yang keluar dari celah-celah bukit-bukit belerang di ujung utara dan selatan kampung itu, termasuk pemandangan indah atas danau Linow. Air jernih danau ini memang suka berganti warna, karena lapisan dasarnya sebagian besar terdiri dari batu-batuan mineral beraneka warna.
Serdadu-serdadu anggota pasukan Reservekorps itu begitu melihat ada seseorang lain di dekat mereka, segera bertanya kepadanya, “Oom mau ke mana?” yang langsung dijawab, bahwa ia hendak ke Manado. Setelah mengamati lencana bertulisan “LBD” di lengan baju Ernest Pangemanan itu, serdadu itu pun berkata, “Mulai hari ini, Oom pasti sudah bebas dari tugas itu, sebab kota Manado pada saat ini sudah dikuasai sepenuhnya oleh Tentara Jepang. Jadi, lebih baik Oom kembali dan pulang kampung saja!”
Namun di Lahendong itu Ernest Pangemanan sempat bertemu dengan oma-nya dan sanak saudaranya dari pihak istri. Mereka berkumpul dan makan bersama masakan khas Manado yang masih sempat tersisa dari persediaan untuk perayaan “Tahun Baru 1942.”
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU

n � a `�� �� ternyata sebagian anggota pasukan Batalyon Inheemsche Militie telah berangkat menuju Poso dengan kapal motor “Togian” dan perahu-perahu rakyat. Sedangkan mereka yang tertinggal merasa semakin cemas dengan perkembangan situasi yang semakin memburuk, sementara kapal-kapal perang Jepang tetap hilir-mudik di depan hidung mereka.
Bertolak dari situasi yang tidak menentu itu, sersan H.A. Adam bersama kelompok satuan pengintai itu belakangan bergerak sendiri ke arah utara untuk kemudian menyerahkan diri kepada komandan pasukan payung Jepang di Markas Pasukan Payung di kota Langowan, Minahasa. Fuselir Karel Gerungan sendiri menggabungkan diri dengan kelompok gerilya “pegunungan Lembean Tondano”, sedangkan rekan-rekan milisi lainnya dengan kekuatan sekitar satu seksi, bergerak menuju Gorontalo bersama beberapa orang tahanan politik, namun di sana terjebak dan menyerah ke dalam tangan para pejuang pelaksana kudeta dan pasukan korps marinir Jepang.

Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar