Kisah Petugas Luchtbeschermings Dienst (LBD) - Ernest
Pangemanan
Dua hari sebelum Hari “H” pendaratan pasukan korps marinir
Jepang di pantai kota Manado, seorang anggota satuan Luchtbeschermings
Dienst (LBD) wilayah kota Manado, yaitu Ernest Pangemanan, mengambil
cuti selama dua hari kerja pada hari Jum’at dan Sabtu. Anggota LBD itu dapat
menikmati waktu liburnya hingga hari Minggu 11 Januari 1942 (yaitu hari “H”
itu), sehingga ia harus sudah kembali masuk kerja pada hari Senin tanggal 12
Januari 1942.
Ernest Pangemanan ini memang telah mendengar dari
beberapa orang penduduk kota Manado yang mengungsi ke kampung-kampung di
sekitar kota Kawangkoan, sejak malam harinya hingga pagi hari itu, bahwa kota
Manado saat itu telah menjadi gelanggang pertempuran antara pasukan KNIL dengan
Tentara Jepang. Ernest Pangemanan belum begitu yakin seratus persen
atas isu situasi di kota Manado itu. Namun, kabar-kabar itu bahkan telah
membuat kedua daun telinganya menjadi merah dan panas rasanya, kalau hal itu
memang benar.
Pagi itu juga, hari Minggu tanggal 11 Januari 1942 sekitar
pukul 07.15, selesai menikmati sarapan pagi bersama keluarganya, ia pun
langsung pamit untuk berangkat ke Manado sebagaimana lazimnya, dengan menaiki
sepeda merek “Fongers”. Dikayuhnya sepeda setengah tua miliknya itu menuju kota
Manado dari kampung Tondegesan, distrik Kawangkoan, tempat ia berasal. Hatinya
berdebar-debar karena perasaan beraninya bercampur dengan perasaan bimbang,
selagi ia melaju sambil mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang.
Baru saja ia memasuki kawasan onderdistrik Sonder, ia telah
bisa melihat puluhan pesawat udara dengan lambang “matahari bulat merah”
(Matahari Terbit) sedang terbang dalam formasi melintas dari arah selatan ke
utara. Tanpa disadarinya, sepedanya itu dikayuhnya lebih cepat lagi. Namun
mendadak ia segera mengerem kawan setianya itu sehingga terhenti. Beberapa kali
ia melaju kembali, tetapi kemudian dihentikan lagi. Demikianlah yang terjadi
akibat di dalam diri si pemilik sepeda itu, baik rasio maupun emosi menimbulkan
gejolak yang serba tidak menentu.
Ia juga merasa curiga mengapa di sepanjang jalan yang baru
ia lalui itu tidak dijumpai seorang makhluk pun. Kampung Kiawa, Sonder, dan
Leilem telah dilewati olehnya seorang diri, ibarat seorang peserta lomba balap
sepeda yang melakukan sprint dan melesat paling depan memasuki garis finis.
Namun, di jalan raya antara kampung Leilem dan kampung Lahendong, ia akhirnya
berpapasan juga dengan seorang pengayuh sepeda yang sedang membonceng sebuah
buntalan barang, tetapi kedudukannya telah miring ke samping sehingga hampir
jatuh.
Orang itu menghentikan sepedanya, dan sambil terheran-heran
langsung menyapa diri Ernest.
“Mau ke mana, Oom?”
“Mau ke Manado. Kenapa?” jawab Ernest dengan nada
yang serius.
“Wah, selamat pergi mati, jo!” kata orang itu ketus.
Ernest Pangemanan lalu memutarkan sepedanya berbalik
arah untuk kembali ke arah Sonder. Tetapi, orang itu lantas bertanya kembali.
“Ke mana, Oom?”
“Pulang ke Tondegesan.”
“Nah, selamat pergi hidup, jo!” kata orang itu sambil
tersenyum, lalu beranjak meneruskan perjalanannya ke arah selatan.
Namun setelah orang yang belum dikenalnya itu menghilang
dari pandangan matanya, petugas LBD itu kembali memutarkan sepedanya ke arah
utara, dengan maksud untuk tetap meneruskan perjalanannya menuju jurusan
Tomohon-Manado. Hal tersebut tiada lain adalah karena didorong kesadarannya
akan panggilan tugas sebagai seorang anggota
Luchtbeschermings Dienst wilayah kota Manado, dan itu
tercermin pula pada lengan bajunya yang disemati badge berbentuk
bundar bertuliskan huruf-huruf “LBD”.
Setelah sekian lamanya mengayuh sepeda kesayangannya itu, ia
pun tiba di pintu masuk kampung Lahendong. Di sana ia berjumpa dengan sebuah
kendaraan truk yang sarat dimuati para serdadu pasukan Reservekorps beserta
para istri dan anak-anak mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar deru
pesawat-pesawat pemburu “Zero” yang terbang melintas dengan formasi berjajar
dua-dua dengan megahnya. Tanpa ragu-ragu sedikit pun, segera kendaraan truk itu
membelok dengan tajam memasuki pekarangan rumah yang rimbun dengan pohon-pohon
buah-buahan, sebagai tempat persembunyian sementara. Dan tanpa diperintah, para
penumpangnya segera berlompatan keluar sambil berhamburan mencari tempat
perlindungan di bawah pohon-pohon. Sedangkan anak-istri mereka disuruh memasuki
lubang-lubang parit perlindungan.
Pesawat-pesawat udara Jepang itu terbang rendah sekali pada
ketinggian sekitar 150 meter saja di atas kampung Lahendong. Pesawat-pesawat
itu tidak melepaskan tembakan. Demikian pula senjata-senjata semi otomatis KM
milik pasukan Reservekorps itu yang sebenarnya sudah siap tembak,
tidak juga dinyanyikan oleh pihak pasukan pertahanan KNIL itu. Diduga
pesawat-pesawat udara Jepang itu hanya ingin melihat lebih jelas gumpalan asap
yang keluar dari celah-celah bukit-bukit belerang di ujung utara dan selatan
kampung itu, termasuk pemandangan indah atas danau Linow. Air jernih danau ini
memang suka berganti warna, karena lapisan dasarnya sebagian besar terdiri dari
batu-batuan mineral beraneka warna.
Serdadu-serdadu anggota pasukan Reservekorps itu begitu
melihat ada seseorang lain di dekat mereka, segera bertanya kepadanya, “Oom mau
ke mana?” yang langsung dijawab, bahwa ia hendak ke Manado. Setelah mengamati
lencana bertulisan “LBD” di lengan baju Ernest Pangemanan itu,
serdadu itu pun berkata, “Mulai hari ini, Oom pasti sudah bebas dari tugas itu,
sebab kota Manado pada saat ini sudah dikuasai sepenuhnya oleh Tentara Jepang.
Jadi, lebih baik Oom kembali dan pulang kampung saja!”
Namun di Lahendong itu Ernest Pangemanan sempat
bertemu dengan oma-nya dan sanak saudaranya dari pihak istri. Mereka
berkumpul dan makan bersama masakan khas Manado yang masih sempat tersisa dari
persediaan untuk perayaan “Tahun Baru 1942.”
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan
disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU
Bertolak dari situasi yang tidak menentu itu, sersan H.A.
Adam bersama kelompok satuan pengintai itu belakangan bergerak sendiri ke
arah utara untuk kemudian menyerahkan diri kepada komandan pasukan payung
Jepang di Markas Pasukan Payung di kota Langowan, Minahasa. Fuselir Karel
Gerungan sendiri menggabungkan diri dengan kelompok gerilya “pegunungan
Lembean Tondano”, sedangkan rekan-rekan milisi lainnya dengan kekuatan sekitar
satu seksi, bergerak menuju Gorontalo bersama beberapa orang tahanan politik,
namun di sana terjebak dan menyerah ke dalam tangan para pejuang pelaksana
kudeta dan pasukan korps marinir Jepang.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan
disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar