Para serdadu anggota pasukan Batalyon Infantri Inheemsche
Militie (Miisi Pribumi) Manado yang berkekuatan sekitar empat ratus orang
itu dilatih dalam bidang kemiliteran di kota Manado dan dilanjutkan lagi selama
berada di Kotamobagu. Angkatan yang sekarang merupakan penerimaan pada pertengahan
tahun 1941. Adapun persyaratan untuk dapat diterima menjadi anggota tentara “inheemsche
militie” (milisi bumiputra), selain berbadan sehat, berkelakuan baik sesuai
surat keterangan dari hukum tua (kepala kampung) dan memperoleh izin dari orang
tua, usia calon pada saat itu minimal harus 18 (delapan belas) tahun dan
maksimal 24 (dua puluh empat) tahun. Usia-usia lainnya di luar kedua batas
golongan usia yang ditentukan itu tidak dapat diterima. Selanjutnya si calon
harus lulus mengikuti latihan dasar kemiliteran yang berlangsung selama enam
bulan, sebelum dapat diangkat menjadi serdadu milisi, yaitu sebagai serdadu fusilier (fuselir)
atau serdadu biasa pasukan infanteri (infanterist).
Hari masih subuh, cakrawala berlapis warna merah muda
bercampur kuning keemasan bergaris-garis lebar oleh awan tebal kelabu tua,
merupakan refleksi dari pancaran sinar matahari yang memantul di kawasan
puncak-puncak pegunungan berhutan lebat di daerah kerajaan Bolaang-Mongondow.
Saat itu pasukan Batalyon Infantri Inheemsche Militie sedang dalam
perjalanan menuju daerah tugas mereka yang baru, Poso. Mereka berbaris dalam
formasi militer dengan berjalan kaki, mengendarairoda sapi, roda kuda, dan
mobil, menyusuri jalur jalan yang hanya cocok untuk kendaraan rakyat tidak
bermotor. Jalur jalan itu membelah hamparan pegunungan yang berhutan lebat
menuju kampung Pusian. Dari sana pasukan itu bergerak terus melewati kampung
Imandi terus ke Doluduo, yaitu daerah dataran rendah yang berhutan rawa, tetapi
setelah empat puluhan tahun kemudian lebih terkenal sebagai daerah penghasil
beras dan kedele serta merupakan gudang pangan bagi wilayah Propinsi Sulawesi
Utara.
Di sana-sini nampak bekas-bekas jejak sepatu kumpeni
bertapal kuda besi serta jejak ratusan kendaraan roda sapi dan roda kuda yang
dimuati penuh dengan alat-peralatan militer milik pasukan itu. Bekas-bekas itu
tercetak di sepanjang jalan yang berlumpur dan becek karena hujan. Jalan lintas
itu agak lama baru bisa kering, karena sinar matahari seolah-olah belum mampu
menembus paruh hutan lebat yang masih perawan dan belum terjamah oleh kehidupan
manusia. Pada lahan kering di sepanjang jalur jalan tertentu, nampak
partikel-partikel debu mengudara, sementara pasukan Batalyon Infantri Inheemsche
Militie itu masih bergerak terus dengan tertib. Mereka sedang mengejar
waktu agar dapat terhindar dari jepitan kepiting oleh gerakan pasukan bala
tentara Jepang dari arah utara dan selatan terhadap titik “Terminal X”, yaitu
Liyon.
Anggota pasukan yang terganggu kesehatannya dan tidak
dapat melanjutkan perjalanan, terpaksa dititipkan dan ditemani oleh dua anggota
pasukan di kampung yang mereka lalui. Memang semenjak berangkat dari
Kotamobagu, batalyon infantri ini tidak mengikutsertakan anggota pasukan yang
sedang sakit. Siang hari itu mereka beristirahat sedang pada malam harinya
mereka jalan terus, demi menjaga kerahasiaan terhadap kemungkinan gangguan
serangan pesawat udara Dai Nippon yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi.
Istirahat untuk makan siang maupun makan malam biasanya mereka lakukan ketika
berada di kawasan perkampungan penduduk.
Batalyon ini harus menempuh rute perjalanan darat
sejauh sekitar 150 Km, yang mungkin juga merupakan sebuah perjalanan terpanjang
dan bersejarah di kala itu. Namun pasukan batalyon infantri ini kemudian
didetasir untuk waktu yang cukup panjang di Molibagu, sambil menunggu instruksi
lebih lanjut dari komandan pasukan mayor B.F.A. Schilmöller yang
telah lebih dahulu berada di Poso.
Pasukan Batalyon Infantri Inheemsche Militie Manado
itu tiba di Imandi, lalu mereka langsung mendirikan bivak-bivak untuk tempat
mereka beristirahat. Selain itu pula, ditempatkan beberapa pos penjagaan
sebagaimana lazimnya. Setelah beristirahat selama beberapa hari, menjelang dini
hari di suatu malam, pasukan menerima perintah agar bersiap-siap untuk
melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju Molibagu. Selepas tengah malam
pada malam terakhir itu, kawasan kampung Imandi memang keadaannya sunyi senyap.
Tetapi di saat yang demikian itu, agaknya masih ada
sebagian anggota dari kelompok pasukan milisi itu yang belum juga mau
memejamkan mata mereka untuk mengiringi rekan-rekan mereka lainnya yang sudah
tertidur pulas ketika itu. Mereka sedang berbisik-bisik satu sama lainnya dalam
kelompok-kelompok kecil di beberapa tempat bivak, dengan maksud untuk kabur
melepaskan diri dari satuan batalyon mereka. Pada hakekatnya mereka itu
dibayang-bayangi terus oleh masa lampau dan masa yang akan datang serta
menghendaki adanya kepastian untuk tidak atau tetap menceburkan diri dalam
situasi peperangan yang masih belum menentu di kala itu. Satuan kecil yang
terdiri dari tiga-empat orang serdadu milisi itu mulai meninggalkan bivak
selepas tengah malam, dengan tujuan lari ke arah utara untuk bergabung dengan
anggota pasukan lainnya yang telah menyerahkan diri ke pihak penguasa Jepang.
Sementara itu, serdadu-serdadu yang bertugas di
pos-pos penjagaan telah mencium adanya gerakan dari beberapa rekannya itu yang
meninggalkan bivak lengkap dengan senjata mereka, dengan kata lain, melakukan
desersi! Pos-pos penjagaan itu mulai melepaskan tembakan di malam gelap itu
tanpa sasaran yang jelas dan keributan pun mulai terjadi di seluruh lokasi
bivak.
Komandan batalyonnya, kapten De Swert dan wakilnya
letnan I Van Daalen yang tentunya kaget terbangun, segera
memerintahkan agar dilakukan pengejaran. Sersan mayor Umboh dan
sersan furirJan Ratumbanua ditugaskan untuk memimpin upaya pengejaran
beserta beberapa orang rekan bintara lainnya dari satuan pasukannya. Maka
terjadilah tembak-menembak jarak jauh tanpa menimbulkan korban di kedua belah
pihak. Pihak yang dikejar akhirnya menghilang ditelan hutan rimba kawasan
daerah Dumoga. Namun, yang membuat sang komandan tercengang adalah setelah ia
menerima laporan, bahwa sersan mayor Umboh dan sersan furir Jan
Ratumbanua juga ikut menghilang dan diduga keras telah turut bersama
kelompok yang melepaskan diri dari satuan Batalyon itu!
Peristiwa itu merupakan suatu respons yang kemudian
melahirkan sikap politik dari perkembangan situasi politik yang diulas dalam
wujud berita-berita hangat melalui mass media antara lain “Indonesia
Berparlemen” oleh GAPI (Gabungan Politik Indonesia), “Petisi Soetardjo”,
dan lain-lain oleh para tokoh pejuang nasional, sehingga cukup mematangkan
kesadaran nasional di kalangan anggota pasukan milisi itu. Terlebih pula
setelah mereka itu membaca tentang pergolakan politik internasional, khususnya
seputar pembentukan dan demonstrasi kekuatan militer di antara negara-negara di
kawasan Asia-Pasifik, seperti yang selalu disuguhi oleh DR. G.S.S.J.
Ratulangi dalam terbitan berkala “Nationale Commentaren”. Ini diperkuat
pula oleh tulisan pers terbitan kota Batavia dengan judul “‘t Geel Gevaar”
(bahaya kuning), yang dimaksudkan sebagai munculnya negara Jepang sebagai salah
satu power di antara ke tiga negara “Pakta Tripartit”. Dimensi politik di atas
ini niscaya mewarnai pula peristiwa Imandi yang kemudian berekor di Molibagu.
Di kalangan pasukan KNIL dikenal pula beberapa istilah
sebutan atau sapaan untuk para opsir bawahan (bintara) tertentu, misalnya
sersan I dan sersan II biasa disapa dengan “baas” dan “pang” oleh anggota
pasukan, sedangkan “kecik” adalah sebutan untuk yang berpangkat kopral. Mereka
yang berpangkat sersan mayor dan sersan I sebagian besar berkebangsaan Belanda,
sedangkan yang berpangkat sersan II rata-rata berkebangsaan Indonesia dan
umumnya berasal dari Manado atau daerah Minahasa. Setiap hari para opsir
bawahan ini selalu mengontrol dan mengecek jumlah anggota serdadu milisi yang
berada langsung di bawah komando mereka, sehingga mereka tentu saja mengetahui
siapa-siapa di antara para anggotanya yang menghilang.
Dengan kedatangan rombongan evakuis baik sipil maupun
militer di Molibagu, maka masyarakat setempat dan utamanya para sangadi (kepala
kampung), seperti sangadi kampung Popodu, Ajub W. Jusup, sangadi kampung
Totoluwaya, Rasid Ioentu, dan sangadi kampung Molibagu, M.
Kombu, menjadi sangat sibuk. Di saat-saat genting seperti itu, mulai dari para
opsir hingga opsir bawahan, senjata pistol mereka tidak lagi disandang di
pinggang melainkan dibandelir pada bagian dada mereka. Serdadu milisi fuselir Toet
Massie dan ketiga rekannya yang berasal dari Kawangkoan dan Sonder saat
itu harus terbaring di tempat tidur karena sakit. Sersan I Stultjens menjenguk
keempat serdadu itu lalu melaporkannya kepada Letnan Van Daalen.
Perkampungan Molibagu telah dibanjiri oleh kaum pengungsi
dengan satu tujuan untuk mencapai daerah Poso di Sulawesi Tengah. Para evakuis
yang berasal dari Manado dan daerah Minahasa, antara lain terdapat kontrolir Van
Mook, keluarga Asisten Residen Rijsdijk, keluarga Been, dan keluarga
pejabat sipil dan pengusaha berkebangsaan Eropa, terkecuali bangsa Jerman yang
pro-Nazi dan bangsa Italia. Tersebut terakhir ini hanya melintasi Molibagu saja
dan langsung meneruskan perjalanan menuju Liyon.
Para perwira, opsir bawahan dan anggota pasukan
Batalyon Infantri Inheemsche Militie pada malam hari itu berada di
rumah Jogugu kampung Molibagu. Mereka sedang asyik mendengarkan
berita-berita pertempuran yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri
yang disiarkan oleh Radio NIROM diBatavia Centrum.
Pada hari Jum’at tanggal 17 Januari 1942 petang hari,
tiga buah pesawat pembom Jepang yang dikawal oleh beberapa pesawat pemburu
Jepang melancarkan aksi pengeboman di lapangan udara Polonia, Medan. Kerugian
material hanya sedikit dan tidak ada manusia yang jatuh korban. Demikianlah
komunike nomor tiga puluh sembilan dari Angkatan Perang Hindia-Belanda yang
pada hari itu dikeluarkan. Selain itu, juga diberitakan bahwa lapangan udara
Mandai, Makasar (kini: bandar udara Hasanuddin) diserang oleh delapan buah
pesawat pembom Jepang yang dikawal oleh tiga pesawat pemburu Jepang dan
melepaskan delapan buah bom, namun hanya sedikit kerusakan yang terjadi dan
tidak menimbulkan korban personil. Selanjutnya, terhadap pelabuhan Ambon juga
terjadi serangan udara dalam dua gelombang oleh pesawat-pesawat pembom Jepang,
namun tidak menimbulkan kerugian yang berarti.
Dalam siaran berita luar negeri juga terungkap, bahwa
eskadron artileri Tentara Inggris sepanjang hari melepaskan tembakan-tembakan
kanon terhadap pasukan Tentara Jepang yang sedang bergerak maju di Gemas. Pada
front bagian barat, pihak musuh berhasil mendarat di tepi bagian selatan sungai
Muar. Pada tanggal 16 Januari 1942, juga terjadi serangan udara oleh
pesawat-pesawat udara Jepang di atas kota Singapura, tetapi tidak ada yang jatuh
korban.
Pada hari yang sama itu, pesawat-pesawat pemburu dan
pembom Sekutu dari “Far Eastern Command” kembali menyerang iring-iringan konvoi
pasukan Tentara Jepang di jalan Gemas-Tampin dan berhasil merusakkan banyak
kendaraan truk militer Jepang. Pesawat-pesawat pemburu itu berhasil pula
menghancurkan barkas-barkas dan perahu-perahu yang sedang ditumpangi Tentara
Jepang di muara sungai Muar. Terdapat banyak serdadu Jepang yang jatuh korban,
sedangkan sebuah barkas sempat meledak akibat serangan udara itu.
Selain itu pada dini hari pesawat-pesawat udara dari
satuan Militaire Luchtvaart (ML-KNIL) telah menyerang kapal-kapal
perang Jepang dekat pelabuhan Malaka. Bom-bom dijatuhkan pada sebuah kapal yang
memiliki dua mast (tiang agung), sedangkan sebuah kapal lainnya ditembaki
dengan mitraliur 12,7 mm dan akibat serangan udara itu kerusakan besar terjadi
atas beberapa buah kapal laut berukuran kecil. Kapal pengangkut pasukan Jepang
juga digasak oleh pesawat-pesawat udaraRoyal Air Force (RAF) Inggris
antara Tanjung Keling dan Malaka.
Keadaan di suatu pagi hari itu masih sunyi dan hanya
kicauan burung-burung serta desiran buih air laut di tepi pantai yang terdengar
menyambut datangnya sang mentari di atas muka bumi. Sersan mayorJ.M. Eerkens dengan
suara lantang memberi aba-aba, “Geef acht”, “Voorwarts mars” (Siap, g’rak! Maju
jalan, g’rak!), dan pasukan Batalyon Infantri Inheemsche Militie Manado
pun mulai bergerak maju, meninggalkan Molibagu menuju Liyon sambil memboyong
tiga belas orang tokoh tahanan politik, yaitu Ventje A.B.H. Waworuntu,
Hukum besar Willem Momuat, Hukum besar Majoor Pelengkahu, Marinus
Pandeiroot, O.H. Pantouw, G.E. Dauhan, R.C.L. Lasut, M.B.
Tumbel,Anton C. Manoppo, A.P. Mokoginta, J.U. Mangowal, Wim
Thomas, dan Raja Sangir Talaud,Sarapil. Sedangkan Jogogu A.W.A. Van
Gobel yang baru saja ditangkap di Kotamobagu, telah sempat melarikan diri
dari rumah tempat tahanan politik milik seorang bernama Mohamad di
kampung Popodu. Ia pun langsung melarikan diri menuju kota Gorontalo.
Rombongan pasukan Batalyon Infantri Inheemsche
Militie Manado itu sebagian besar memang berangkat menuju Liyon melintasi
daratan yang berhutan lebat dan rawa-rawa melewati kampung-kampung Sinombajuga,
Momalia, Meambangu hingga tiba di Liyon. Ada juga sebagian kecil yang
menggunakan perahu. Sedangkan bagi fuselir Toet Massie bersama ketiga
rekan serdadu milisi yang ketika itu sedang sakit, dengan bersenjatakan karaben
dan dipimpin oleh serdadu Kortverband kopralRumambi yang
bersenjatakan K.M., mereka berlima kembali ke Minahasa melalui Belang dengan
menggunakan perahu penduduk.
Juga ada kelompok lainnya yang melepaskan diri dari
Batalyon Infantri Inheemsche Militie itu, antara lain sersan Sangi,
sersan Moningka, sersan Wangko Sumanti, kopral Singal, kopral Jan
Sambuaga, kopral Tuturoong, fuselir Jan Tungka, fuselir Johannes
A. Saul, fuselirKalesaran, dan fuselir Polii. Mereka melepaskan diri dalam
kelompok-kelompok kecil di Molibagu, lalu dengan melintasi gunung Bonde mereka
berhasil tembus ke dataran Dumoga menuju ke utara. Demikian pula ada kelompok
lainnya yang melintasi kampung Tolondadu, kampung Tabilaa, menuju Pinolosian
dan terus ke Belang, Minahasa.
Peristiwa itu dengan sendirinya telah menimbulkan
permasalahan yang serius di kala itu. Timbul pertanyaan, apakah sikap dan
tindakan mereka itu didorong oleh suatu naluri perang yang negatif ataukah
mungkin memiliki latar belakang yang berdimensi politik! Bila hal itu dikaji
lebih lanjut dan diteropong dengan kacamata khusus dari sudut kepentingan
militer, maka setiap serdadu yang meninggalkan satuannya tanpa ijin atau restu
dari komandan batalyon atau komandan kompi yang bersangkutan, apa lagi dalam
keadaan darurat perang, dapat digolongkan sebagai melakukan tindakan desersi.
Serdadu itu akan dikenakan ganjaran hukuman berat seperti hukuman tembak mati
sesuai ketentuan hukum militer yang berlaku.
Namun empat tahun berselang kemudian, tepatnya dalam “Peristiwa
Merah Putih” tanggal 14 Februari 1946 di Manado, justru sebagian besar dari
para pelaku dan pemeran dalam peristiwa itu adalah dari kelompok para serdadu
yang sebelumnya digolongkan sebagai yang telah melakukan tindakan “desersi”.
Jika demikian halnya, maka affair yang terjadi di Imandi maupun di Molibagu itu
kiranya lebih cenderung diwarnai oleh aspek dimensi politik perjuangan
kemerdekaan daripada naluri fisik perang yang berbau negatif di kala itu.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan
disunting kembali oleh Bapak. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar