Max Gonta sedang dalam perjalanan pulang dari tugasnya
di perusahaan listrik NIGEM Manado pada malam hari itu. Sambil mengayuh
sepedanya di jalan raya yang menyusuri tepi pantai kampung Bahu, ia melepaskan
pandangan ke arah lepas pantai. Alam ketika itu keadaannya gelap gulita. Sesuai
perhitungan taktik militer, pihak musuh kemungkinan besar akan melaksanakan
aksi pendaratan dari arah sana, demikian lamunannya. Malam itu, bagian pantai
itu sedang dijaga oleh anggota pasukanEuropeesche Militie dan Stadswacht.
Sedangkan anggota pasukan Reservekorps dan Beroepsmilitairmenempati
sejumlah veldbak sepanjang pantai di titik-titik jalan yang
strategis.
Tidak berselang lama kemudian terdengar suara yang
memecah kesunyian, yang berasal dari seorang anggota milisi yang sedang bertugas
jaga di pinggir pantai itu. Ia melapor dalam bahasa Belanda, “Commandant, ik
zie een heleboel sampans!” (Komandan, saya melihat perahu sampan yang banyak
sekali!) Bagi anggota pasukan milisi seperti Ferdinand Winter, kehadiran
“benda-benda hitam” yang melaju sekitar satu jam lewat tengah malam pada
tanggal 11 Januari itu, tidaklah merupakan hal yang aneh. Ia sendiri telah
berada di pantai Bahu dengan 400 orang anggota pasukan yang tergabung dalam
satuan gabungan pasukan pertahanan kota Manado. Mereka itu terdiri dari
anggota-anggota pasukan Europeesche Militie (Milisi Eropa), Stadswacht (Penjaga
Kota), Vernielingskorps,Luchtbeschermings Dienst, E.H.B.O. (P.P.P.K.), Reservekorps, Beroepsmilitair dan Kortverband,
di bawah pimpinan kapten Wim Kroon yang sekaligus adalah juga
komandan Kompi VII Beroepsmilitair.
Letnan I F. Masselink selaku komandan milisi
Eropa, segera bertindak untuk mencari kepastian tentang apa sebenarnya
“bayang-bayang hitam” yang tampak di sebelah pulau Manado Tua, selepas pukul
dua belas tengah malam itu. Sinar bulan dan bintang-bintang bertaburan di
angkasa raya ketika itu. Letnan itu pun memerintahkan kepada salah satu anggota
pasukannya untuk segera menanyakan kepada pasukan kapten Wim Kroon yang
saat itu bertugas di pelabuhan Manado, apa gerangan bayang-bayang hitam mirip
pulau yang terlihat bergerak di sebelah utara pulau Manado Tua dan kini agaknya
telah muncul di pantai Bahu. Dengan mengendarai sepeda motor Harley
Davidson (HD), kurir yang diberi tugas langsung melaju di jalan raya dan
menghilang di tikungan jalan Sario menuju pelabuhan.
Tidak seberapa lama kemudian, dari pos pertahanan
pantai Bahu terlihat sebuah motorboot yang melesat keluar dari mulut
pelabuhan Manado menuju ke arah lokasi “bayang-bayang hitam” itu diduga
terlihat. Namun, motorboot yang ditugaskan itu ternyata tidak terus
sampai ke lokasi yang dimaksudkan, tetapi langsung memutar haluan kembali ke
pangkalannya. Kurir itu pun kembali lalu menyampaikan laporan kepada letnan
Masselink sampai hampir sejam lamanya. Lucunya, kurir itu melaporkan, bahwa
petugas pelabuhan tadi “sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan”.
Namun demikian, salah seorang serdadu pasukan milisi bernama Kees C. Van
Hartrop, yang juga sedang tugas jaga di pantai Sario di bawah pimpinan sersan
mayor Brouwers, pada saat yang lain sedang asyik melamun, merenungkan
nasib istri tercintanya yang telah ia ceraikan dan istrinya yang sekarang, Stien
Koyansouw, sebagai istri ke dua. Lamunan yang indah itu lenyap seketika tatkala
ia melihat “bayang-bayang hitam” yang mencurigakan di lepas pantai Sario.
Segera serdadu milisi itu melaporkan kepada komandannya dengan suara lantang
dalam bahasa ibunya, “Majoor [Brouwers], ik zie een heleboel kleine bootjes!”
(Mayor, saya melihat begitu banyak perahu kecil!) Ucapan bernada meminta
perhatian itu membuat rekan-rekannya yang lain, seperti Thymen Veldberg, Hans
De Vos, Dupont (mantan hoofd klapperproef statioen), segera
bersikap waspada sambil menunggu perintah lebih lanjut dari atasan mereka.
Namun letnan I F. Masselink tidak tinggal
diam. Ia mulai lebih cermat mengamati apa sebenarnya “bayang-bayang hitam” yang
nampak di laut lepas pantai itu. Ternyata bayang-bayang itu kemudian telah
mulai membentuk suatu gerakan massal benda di tengah laut, yang saat itu kian
mendekati pantai Bahu dan Sario. Sebagai seorang perwira milisi yang taat
beragama, ia pun mulai memanjatkan doa kepada Yang Maha Pencipta untuk turut
campur tangan memimpin mereka dalam pertempuran, seandainya apa yang muncul di
dalam benaknya itu, kelak menjadi suatu kenyataan. Perhitungannya ternyata
tidak meleset! Dalam sekejap ia langsung memerintahkan agar seluruh pasukan
yang berada di kedua lokasi pantai itu mengambil stelling. Menurut
perhitungan sang komandan, dalam waktu sekitar tiga puluh menit lagi, aksi pendaratan
pasukan Bala Tentara Jepang akan berlangsung. Demikian ungkapannya kepada para
anggota pasukan Europeesche Militie dan Beroepsmilitair yang
dikomandoinya, di zona pertahanan mereka pada malam yang dingin itu. Serdadu
milisi Ferdinand Winter dan Bollegraaf serta kawan-kawannya
diinstruksikan supaya mengambil stelling di balik pohon besar yang
telah tumbang di tepi pantai itu.
Letnan I F. Masselink sendiri langsung
menunggang sepeda motor HD untuk mengkoordinir pasukan pertahanan yang
berjaga-jaga di pantai Sario, seraya memintakan perhatian dari sersan mayorBrouwers serta
pasukan Reservekorps dan Beroepsmilitair yang sudah
bersiaga dalam kubu pertahanan masing-masing. Mereka nampaknya telah siap untuk
menghadapi serbuan pasukan pendarat dari satuan korps marinir bala tentara
Jepang pada malam hari itu. Komandan pasukan milisi itu dalam tempo singkat
telah berada kembali di tengah-tengah pasukannya sendiri di pantai Bahu. Semua
senjata karaben, karaben mitraliur (KM), Vickers watermantel dan
mortir tiga inci, telah berada dalam keadaan siap di dalam kubu-kubu pertahanan
untuk difungsikan. Semua anggota pasukan pertahanan harus menembak secara
serentak, agar pihak musuh memperoleh kesan, bahwa pasukan pertahanan pantai
ini dipersenjatai seluruhnya dengan senjata otomatis, sehingga dapat
mempengaruhi moril pihak pasukan penyerang. Pasukan harus menunggu kode isyarat
tembakan pistol dari komandannya untuk dapat mulai membuka serangan.
Perintah-perintah ini telah dipahami oleh seluruh serdadu pasukan pertahanan
ketika itu.
Bayang-bayang hitam berbentuk pulau yang tadinya masih
berada jauh dari pantai Bahu dan Sario, kini telah berubah wujud bentuknya
berupa suatu hamparan padat benda-benda bergerak, yang terdiri dari ribuan
perahu karet dan perahu kayu yang bermuatan pasukan Tentara Jepang. Pada jarak
antara tujuh puluh dan seratus meter, pistol pun ditembakkan sebanyak tiga kali
berturut-turut oleh letnan I F. Masselink. Dan itu merupakan peluru-peluru
pertama pasukan pertahanan KNIL yang meletus di bumi Toar-Lumimuut, membuka
lebar gerbang Perang Dunia II di wilayah Nusantara tercinta ini. Dalam sekejap
saja langsung diikuti dengan tembakan secara serentak oleh seluruh anggota
pasukan pertahanan pantai itu. Pasukan milisi, Reservekorps, dan Beroepsmilitair,
mulai membabat pasukan pendarat korps marinir Jepang itu tanpa kenal ampun,
sementara pekikan-pekikan “Banzai, Banzai, Banzai!” dari pasukan penyerbu itu
terdengar, yang kemudian berbaur pula dengan pekikan “I Yayat U Santi” dan
disambut dengan “kumukuk” khas Minahasa dari pasukan pertahanan pantai.
Sekalipun telah jatuh banyak korban, namun pasukan
pendarat Jepang itu tetap maju terus seakan-akan tidak mempedulikan sambaran
peluru maut dari pihak pasukan pertahanan pantai. Hamparan pantai mayat manusia
di sepanjang pantai Bahu dan Sario nampak semakin membengkak. Peluru-peluru
berdesingan di sepanjang pantai bagaikan kembang api dari beragam ukuran.
Situasi kian menjadi lebih hangat dan seru, tetapi semakin mencekam ketika
pasukan korps marinir Jepang mulai menginjakkan kaki mereka di pasir pantai
yang tidak terlindung oleh pohon-pohon, tetapi hanya oleh barikade gulungan
kawat berduri yang dipasang setempat-setempat. Granat-granat tangan mulai
dihamburkan, selain granat-granat dari mortir tiga inci. Demikian pula semburan
peluru Vickerswatermantel yang bersumber dari veldbak-veldbak beton
kubu pertahanan permanen, menajam dari lini pertahanan pantai Sario, Bahu
hingga ke pantai Malalayang. Senapan karaben, karaben mitraliur, bahkan senjata
pistol pun sangat berperan aktif mengambil bagian dalam pertempuran berdarah di
malam cerah yang hanya dipayungi rembulan yang telah berbentuk sabit serta
gemerlapan bintang-bintang di jagad raya.
Pasukan pendarat korps marinir Jepang itu mulai
melebarkan lini pendaratan mereka sampai ke batas kampung Malalayang, yang
tentunya dimaksudkan untuk menghindar dari pukulan tembakan yang gencar oleh
pasukan pertahanan KNIL. Letnan I F. Masselink akhirnya memerintahkan
agar pasukan mundur, setelah mereka mulai ditembaki dari arah jalan jurusan
Malalayang-Bahu. Suatu isyarat bahwa pihak pasukan penyerbu telah memasuki
garis pertahanan bagian selatan perkebunan Bahu. Ia pun menyadari, bahwa satuan
pasukan senjata berat Vickers watermantel telah membungkamkan senjata
otomatis mereka itu, karena mereka pun akhirnya akan terkepung oleh pasukan
penyerbu yang sangat nekad itu.
Untuk menghindari kemungkinan pasukan pertahanan pantai itu
terkepung, Letnan I F. Masselinkpun memerintahkan agar pasukannya itu
segera bergerak mundur melalui lahan perkebunan kelapa dan hutan jerami di
Bahu. Pasukan Letnan I F. Masselink kemudian bergerak ke arah timur
menuju kampung Pineleng dengan berjalan kaki potong-kompas melewati perkebunan
rakyat. Mereka tidak menyusuri jalur jalan raya Sario-Wanea-Pineleng. Komandan
pasukan milisi Eropa itu tidak sempat lagi menggabungkan diri untuk memimpin
satuan pasukan sersan mayor Brouwers, karena pasukan korps marinir Jepang
telah pula menguasai bagian utara pantai Bahu. Ketika itu lini pendaratan
pantai Bahu telah melebar ke arah pantai Sario, yang memang dijadikan beachhead guna
menerobos masuk untuk merebut kota Manado secara mutlak.
Di pihak kelompok pasukan pertahanan pantai yang telah
melakukan gerakan mundur itu, tidak ada seorang serdadu pun yang jatuh korban
dan mereka tiba di Pineleng di saat fajar mulai menyingsing. Di lain pihak,
pasukan sersan mayor Brouwers masih terlibat pertempuran sengit di
sepanjang pantai Sario. Pasukan ini bahkan hampir terkepung oleh gerakan
melambung pasukan korps marinir Jepang. Tetapi dengan perlawanan yang gigih di veldbak yang
berada pada jarak sekitar tujuh puluh meter dari pertigaan jalan Sario, dan
berkat lindungan tembakan gencar dari senjata berat watermantel di
tangan pasukan Reservekorps dalam veldbak, akhirnya Brouwers
bersama pasukannya berhasil juga meloloskan diri! Mereka segera bergerak mundur
melalui jalan di komplek perkebunan Sario (kini menjadi “Kota Baru”), lalu
tembus melewati jembatan Wanea menuju kampung Pineleng dengan berjalan kaki.
Pagi hari itu, sebagian anggota pasukan sempat mampir
dan makan tinutuan (bubur Manado) dan buah durian yang disuguhkan oleh penduduk
kampung Pineleng. Serdadu-serdadu milisi Thymen Veldbergdan Meiyer beserta
kawan-kawannya dari satuan milisi Eropa, sempat menaiki kendaraan truk yang
telah disiapkan untuk mengangkut mereka menuju kota Tomohon. Kekuatan personil
pasukan yang dikomandoi oleh sersan mayor Brouwers itu hanya dua
brigade. Brigade itu kemudian beristirahat di kota Tomohon, selanjutnya
meneruskan gerakan mundurnya ke kampung Rurukan, yang ditetapkan sebagai lokasi
tempat konsolidasi pasukan.
Pasukan pendarat korps marinir Tentara Jepang yang
tergabung dalam satuan tugas yang mereka namakan “Sasebo Combined Landing Force”
itu, sewaktu melakukan pendaratan hanya mengenakan sepatu karet bermata dua,
sehingga tidak menimbulkan suara gaduh dari derap langkah kaki mereka di jalan
yang dilalui. Barikade kawat-kawat berduri yang dibentangkan pada sepanjang
garis pertahanan pantai, ternyata tidak mampu menghambat nafsu ofensif pihak
pasukan penyerbu itu, meskipun keadaan pasir pantai dan air laut telah berubah
warnanya oleh darah anggota pasukan mereka yang tertembak. Kekuatan pasukan
pendarat sebesar satu setengah divisi pasukan korps marinir A.L. Jepang secara
keseluruhan berada di bawah pimpinan Shireikan letnan kolonel marinir Hashimotodan
mayor marinir Mori, dan meliputi seluruh kampanye aksi pendaratan,
termasuk di pantai Kema. Pasukan penyerbu Jepang bergerak maju terus ibarat
buldoser menggilas segala sesuatunya untuk membuka jalur jalan strategis di
pinggiran kota menuju jantung kota Manado. Mereka segera berhasil merebut dan
menduduki pertigaan jalan Sario. Kemudian mereka terbagi dua dan bergerak ke
dua arah, yang pertama menuju instalasi perusahaan listrik NIGEM, sedangkan
yang ke dua bergerak maju menuju pertigaan jalan Wanea dengan maksud untuk merebut
jembatan Wanea yang strategis.
Sementara itu terdengar bunyi ledakan-ledakan yang
begitu hebat dan ramai, seolah-olah terjadi kontak tembak yang seru antara
pasukan pertahanan dan pasukan penyerbu Tentara Jepang, di sepanjang jalur
jalan antara pertigaan jalan Sario sampai mendekati pertigaan jalan Wanea
(kini: Jalan Bethesda). Jalannya pertempuran memang agak lamban, karena
berlangsung di tengah malam, namun pasukan Jepang terus maju setapak demi
setapak. Di sisi lain, pasukan pertahanan gabungan tetap berupaya untuk
mempertahankan sejengkal demi sejengkal tanah Toar-Lumimuut dengan sangat
gigih, walaupun pihak lawan memiliki daya tempur yang jauh lebih besar dan
kuat. Pasukan pertahanan Sario yang bukan dikomandoi sersan mayor Brouwers bergerak
mundur menuju instalasi perusahaan listrik NIGEM. Demikian pula pasukan
pertahanan yang bertahan pada veldbak di pertigaan jalan Sario, juga
bergerak mundur untuk memperkuat pertahanan pada veldbak di pertigaan
jalan jembatan Wanea. Bunyi ledakan-ledakan yang begitu hebat yang diprakarsai
oleh pasukan korps marinir Jepang, berhasil menimbulkan kepanikan di pihak
pasukan yang bertahan.
Akhirnya, komandannya kapten Wim Kroon, memerintahkan
lewat ordonans (kurir) yang diberi tugas ke daerah pertempuran itu, agar pasukan
segera menarik diri dari pertahanan di instalasi perusahaan listrik maupun di
jembatan Wanea dan bergerak mundur.
Walhasil, pasukan Jepang yang maju dengan semangat
tinggi itu berhasil merebut instalasi perusahaan listrik NIGEM itu. Mereka
kemudian merebut jembatan Wanea dengan maksud untuk memotong lini pertahanan
jalur jalan dari Manado Selatan menuju jantung kota. Pada kedua tempat
pertahanan itu berlangsung kontak tembak yang sangat seru. Kedua belah pihak
menderita korban yang cukup banyak, terutama sekali pihak pasukan penyerbu
Jepang. Seorang pemuda anggota satuan Stadswacht, Jo Rampengan, ikut
mundur dari pertahanan pantai Sario kemudian bergabung pada pertahanan
instalasi perusahaan listrik NIGEM. Dengan bersenjatakan karaben serta
mengenakan topi baja buatan Jerman, ia pun terlibat dalam pertempuran sengit
untuk mempertahankan perusahaan yang vital itu. Namun pemuda Stadswacht itu
sempat terkena tembakan peluru pasukan korps marinir Jepang yang tepat mengenai
topi bajanya itu. Ia berhasil ikut mundur bersama kawan-kawannya ke sekolah
PIKAT yang terletak di jalan Tanjung Batu, untuk bergabung dan memperkuat
satuan pertahanan senjata berat Vickers watermantel yang menempati veldbak di
samping jembatan Sario dan di atas bukit pertigaan jalan Tanjung Batu.
Sambil mengikuti gerakan mundur itu, pemuda itu memeriksa
topi baja yang dipakainya dan ternyata didapati adanya tanda peot. Perasaan
merinding langsung merambat ke seluruh tubuhnya sesaat. Tetapi di hadapan
kawan-kawannya, sambil tersenyum kecut ia masih sempat juga berujar dalam
bahasa Melayu Manado, “Wa, untung jo ni helem kita da pake tabobale mangada ka
blakang. Coba andekata kita da pake deng butul mangada ka muka, pasti stou kita
so tarika tasambar pilor Japang, karna memang pas-pas kanal di kapala pa kita
pe testa.” (Wah, untung saja topi baja ini aku pakai terbalik menghadap ke
belakang. Coba seandainya aku pakai pada posisinya yang benar menghadap ke
depan, pasti aku sudah tergeletak disambar peluru Jepang karena memang mengenai
batok kepalaku tepat di jidat!). Adapun bunyi ledakan-ledakan yang dahsyat yang
terjadi pada sebagian jalan pertigaan Sario menuju pertigaan jalan Wanea itu,
barulah belakangan diketahui. Ternyata itu sebenarnya adalah ledakan ribuan
mercon (petasan) yang sengaja dipetaskan oleh pasukan korps marinir Jepang,
dengan maksud untuk menimbulkan suasana kepanikan di pihak pasukan pertahanan,
karena disangka sebagai ledakan peluru-peluru.
Menjelang subuh pada hari itu, kota Manado nampaknya
tidak dapat tertolong lagi dari penguasaan oleh pihak Tentara Jepang. Komandan
satuan pasukan Vernielingskorps, opzichter Mohede bersama
para anggotanya segera mulai beraksi di kawasan Sario, Titiwungen dan pelabuhan
Manado. Dinamit-dinamit yang berukuran 100 x 20 x 20 sentimeter dan telah terpasang
rapih di gudang beras di tribun lapangan pacuan kuda Sario, gudang beras dalam
rumah sakit tua di Titiwungen, gudang Kopra Fonds, gudang beras dan kapal
keruk yang berada di pelabuhan, langsung diledakkan guna membumihanguskan
obyek-obyek yang vital itu.
Pasukan pertahanan selanjutnya tiba di pertigaan jalan
PIKAT, lalu di sana memperkuat veldbakbersenjatakan Vickers watermantel dan
membangun stelling di bukit Tanjung Batu, di sekitar rumah kediaman Laurens
F. Saerang. Di lokasi itu berlangsung pula kontak tembak yang sengit sekali
hingga menjelang fajar menyingsing. Daftar angka korban di kedua belah pihak
semakin membengkak. Dikarenakan jumlah pasukan penyerbu Jepang itu sangat luar
biasa banyaknya dan tidak seimbang dengan kekuatan pasukan yang bertahan, maka
dengan perasaan kesal pasukan pertahanan terpaksa harus mundur ke daerah
perbukitan menuju Teling, lalu terus ke kampung Kembes. Pasukan ini kemudian
berusaha menggabungkan diri ke Markas Komando Pasukan Pertahanan KNIL, yang
berada di bawah pimpinan Troepen commandant (TPC) mayor B.F.A.
Schilmöller dan saat itu berkedudukan di Kakaskasen, Tomohon.
(Saduran dari sebuah draft buku susunan alm. Jimmy
Andre Legoh dan disunting kembali oleh mantan Pilot Tempur TNI AU, Bpk. Johanes
Mundung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar