Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Pendaratan Bala Tentara Jepang di Manado


Max Gonta sedang dalam perjalanan pulang dari tugasnya di perusahaan listrik NIGEM Manado pada malam hari itu. Sambil mengayuh sepedanya di jalan raya yang menyusuri tepi pantai kampung Bahu, ia melepaskan pandangan ke arah lepas pantai. Alam ketika itu keadaannya gelap gulita. Sesuai perhitungan taktik militer, pihak musuh kemungkinan besar akan melaksanakan aksi pendaratan dari arah sana, demikian lamunannya. Malam itu, bagian pantai itu sedang dijaga oleh anggota pasukanEuropeesche Militie dan Stadswacht. Sedangkan anggota pasukan Reservekorps dan Beroepsmilitairmenempati sejumlah veldbak sepanjang pantai di titik-titik jalan yang strategis.
 Tidak berselang lama kemudian terdengar suara yang memecah kesunyian, yang berasal dari seorang anggota milisi yang sedang bertugas jaga di pinggir pantai itu. Ia melapor dalam bahasa Belanda, “Commandant, ik zie een heleboel sampans!” (Komandan, saya melihat perahu sampan yang banyak sekali!) Bagi anggota pasukan milisi seperti Ferdinand Winter, kehadiran “benda-benda hitam” yang melaju sekitar satu jam lewat tengah malam pada tanggal 11 Januari itu, tidaklah merupakan hal yang aneh. Ia sendiri telah berada di pantai Bahu dengan 400 orang anggota pasukan yang tergabung dalam satuan gabungan pasukan pertahanan kota Manado. Mereka itu terdiri dari anggota-anggota pasukan Europeesche Militie (Milisi Eropa), Stadswacht (Penjaga Kota), Vernielingskorps,Luchtbeschermings Dienst, E.H.B.O. (P.P.P.K.), Reservekorps, Beroepsmilitair dan Kortverband, di bawah pimpinan kapten Wim Kroon yang sekaligus adalah juga komandan Kompi VII Beroepsmilitair.
 Letnan I F. Masselink selaku komandan milisi Eropa, segera bertindak untuk mencari kepastian tentang apa sebenarnya “bayang-bayang hitam” yang tampak di sebelah pulau Manado Tua, selepas pukul dua belas tengah malam itu. Sinar bulan dan bintang-bintang bertaburan di angkasa raya ketika itu. Letnan itu pun memerintahkan kepada salah satu anggota pasukannya untuk segera menanyakan kepada pasukan kapten Wim Kroon yang saat itu bertugas di pelabuhan Manado, apa gerangan bayang-bayang hitam mirip pulau yang terlihat bergerak di sebelah utara pulau Manado Tua dan kini agaknya telah muncul di pantai Bahu. Dengan mengendarai sepeda motor Harley Davidson (HD), kurir yang diberi tugas langsung melaju di jalan raya dan menghilang di tikungan jalan Sario menuju pelabuhan.
 Tidak seberapa lama kemudian, dari pos pertahanan pantai Bahu terlihat sebuah motorboot yang melesat keluar dari mulut pelabuhan Manado menuju ke arah lokasi “bayang-bayang hitam” itu diduga terlihat. Namun, motorboot yang ditugaskan itu ternyata tidak terus sampai ke lokasi yang dimaksudkan, tetapi langsung memutar haluan kembali ke pangkalannya. Kurir itu pun kembali lalu menyampaikan laporan kepada letnan Masselink sampai hampir sejam lamanya. Lucunya, kurir itu melaporkan, bahwa petugas pelabuhan tadi “sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan”. Namun demikian, salah seorang serdadu pasukan milisi bernama Kees C. Van Hartrop, yang juga sedang tugas jaga di pantai Sario di bawah pimpinan sersan mayor Brouwers, pada saat yang lain sedang asyik melamun, merenungkan nasib istri tercintanya yang telah ia ceraikan dan istrinya yang sekarang, Stien Koyansouw, sebagai istri ke dua. Lamunan yang indah itu lenyap seketika tatkala ia melihat “bayang-bayang hitam” yang mencurigakan di lepas pantai Sario. Segera serdadu milisi itu melaporkan kepada komandannya dengan suara lantang dalam bahasa ibunya, “Majoor [Brouwers], ik zie een heleboel kleine bootjes!” (Mayor, saya melihat begitu banyak perahu kecil!) Ucapan bernada meminta perhatian itu membuat rekan-rekannya yang lain, seperti Thymen Veldberg, Hans De Vos, Dupont (mantan hoofd klapperproef statioen), segera bersikap waspada sambil menunggu perintah lebih lanjut dari atasan mereka.
 Namun letnan I F. Masselink tidak tinggal diam. Ia mulai lebih cermat mengamati apa sebenarnya “bayang-bayang hitam” yang nampak di laut lepas pantai itu. Ternyata bayang-bayang itu kemudian telah mulai membentuk suatu gerakan massal benda di tengah laut, yang saat itu kian mendekati pantai Bahu dan Sario. Sebagai seorang perwira milisi yang taat beragama, ia pun mulai memanjatkan doa kepada Yang Maha Pencipta untuk turut campur tangan memimpin mereka dalam pertempuran, seandainya apa yang muncul di dalam benaknya itu, kelak menjadi suatu kenyataan. Perhitungannya ternyata tidak meleset! Dalam sekejap ia langsung memerintahkan agar seluruh pasukan yang berada di kedua lokasi pantai itu mengambil stelling. Menurut perhitungan sang komandan, dalam waktu sekitar tiga puluh menit lagi, aksi pendaratan pasukan Bala Tentara Jepang akan berlangsung. Demikian ungkapannya kepada para anggota pasukan Europeesche Militie dan Beroepsmilitair yang dikomandoinya, di zona pertahanan mereka pada malam yang dingin itu. Serdadu milisi Ferdinand Winter dan Bollegraaf serta kawan-kawannya diinstruksikan supaya mengambil stelling di balik pohon besar yang telah tumbang di tepi pantai itu.
 Letnan I F. Masselink sendiri langsung menunggang sepeda motor HD untuk mengkoordinir pasukan pertahanan yang berjaga-jaga di pantai Sario, seraya memintakan perhatian dari sersan mayorBrouwers serta pasukan Reservekorps dan Beroepsmilitair yang sudah bersiaga dalam kubu pertahanan masing-masing. Mereka nampaknya telah siap untuk menghadapi serbuan pasukan pendarat dari satuan korps marinir bala tentara Jepang pada malam hari itu. Komandan pasukan milisi itu dalam tempo singkat telah berada kembali di tengah-tengah pasukannya sendiri di pantai Bahu. Semua senjata karaben, karaben mitraliur (KM), Vickers watermantel dan mortir tiga inci, telah berada dalam keadaan siap di dalam kubu-kubu pertahanan untuk difungsikan. Semua anggota pasukan pertahanan harus menembak secara serentak, agar pihak musuh memperoleh kesan, bahwa pasukan pertahanan pantai ini dipersenjatai seluruhnya dengan senjata otomatis, sehingga dapat mempengaruhi moril pihak pasukan penyerang. Pasukan harus menunggu kode isyarat tembakan pistol dari komandannya untuk dapat mulai membuka serangan. Perintah-perintah ini telah dipahami oleh seluruh serdadu pasukan pertahanan ketika itu.
 Bayang-bayang hitam berbentuk pulau yang tadinya masih berada jauh dari pantai Bahu dan Sario, kini telah berubah wujud bentuknya berupa suatu hamparan padat benda-benda bergerak, yang terdiri dari ribuan perahu karet dan perahu kayu yang bermuatan pasukan Tentara Jepang. Pada jarak antara tujuh puluh dan seratus meter, pistol pun ditembakkan sebanyak tiga kali berturut-turut oleh letnan I F. Masselink. Dan itu merupakan peluru-peluru pertama pasukan pertahanan KNIL yang meletus di bumi Toar-Lumimuut, membuka lebar gerbang Perang Dunia II di wilayah Nusantara tercinta ini. Dalam sekejap saja langsung diikuti dengan tembakan secara serentak oleh seluruh anggota pasukan pertahanan pantai itu. Pasukan milisi, Reservekorps, dan Beroepsmilitair, mulai membabat pasukan pendarat korps marinir Jepang itu tanpa kenal ampun, sementara pekikan-pekikan “Banzai, Banzai, Banzai!” dari pasukan penyerbu itu terdengar, yang kemudian berbaur pula dengan pekikan “I Yayat U Santi” dan disambut dengan “kumukuk” khas Minahasa dari pasukan pertahanan pantai.
 Sekalipun telah jatuh banyak korban, namun pasukan pendarat Jepang itu tetap maju terus seakan-akan tidak mempedulikan sambaran peluru maut dari pihak pasukan pertahanan pantai. Hamparan pantai mayat manusia di sepanjang pantai Bahu dan Sario nampak semakin membengkak. Peluru-peluru berdesingan di sepanjang pantai bagaikan kembang api dari beragam ukuran. Situasi kian menjadi lebih hangat dan seru, tetapi semakin mencekam ketika pasukan korps marinir Jepang mulai menginjakkan kaki mereka di pasir pantai yang tidak terlindung oleh pohon-pohon, tetapi hanya oleh barikade gulungan kawat berduri yang dipasang setempat-setempat. Granat-granat tangan mulai dihamburkan, selain granat-granat dari mortir tiga inci. Demikian pula semburan peluru Vickerswatermantel yang bersumber dari veldbak-veldbak beton kubu pertahanan permanen, menajam dari lini pertahanan pantai Sario, Bahu hingga ke pantai Malalayang. Senapan karaben, karaben mitraliur, bahkan senjata pistol pun sangat berperan aktif mengambil bagian dalam pertempuran berdarah di malam cerah yang hanya dipayungi rembulan yang telah berbentuk sabit serta gemerlapan bintang-bintang di jagad raya.
 Pasukan pendarat korps marinir Jepang itu mulai melebarkan lini pendaratan mereka sampai ke batas kampung Malalayang, yang tentunya dimaksudkan untuk menghindar dari pukulan tembakan yang gencar oleh pasukan pertahanan KNIL. Letnan I F. Masselink akhirnya memerintahkan agar pasukan mundur, setelah mereka mulai ditembaki dari arah jalan jurusan Malalayang-Bahu. Suatu isyarat bahwa pihak pasukan penyerbu telah memasuki garis pertahanan bagian selatan perkebunan Bahu. Ia pun menyadari, bahwa satuan pasukan senjata berat Vickers watermantel telah membungkamkan senjata otomatis mereka itu, karena mereka pun akhirnya akan terkepung oleh pasukan penyerbu yang sangat nekad itu. 
Untuk menghindari kemungkinan pasukan pertahanan pantai itu terkepung, Letnan I F. Masselinkpun memerintahkan agar pasukannya itu segera bergerak mundur melalui lahan perkebunan kelapa dan hutan jerami di Bahu. Pasukan Letnan I F. Masselink kemudian bergerak ke arah timur menuju kampung Pineleng dengan berjalan kaki potong-kompas melewati perkebunan rakyat. Mereka tidak menyusuri jalur jalan raya Sario-Wanea-Pineleng. Komandan pasukan milisi Eropa itu tidak sempat lagi menggabungkan diri untuk memimpin satuan pasukan sersan mayor Brouwers, karena pasukan korps marinir Jepang telah pula menguasai bagian utara pantai Bahu. Ketika itu lini pendaratan pantai Bahu telah melebar ke arah pantai Sario, yang memang dijadikan beachhead guna menerobos masuk untuk merebut kota Manado secara mutlak.
 Di pihak kelompok pasukan pertahanan pantai yang telah melakukan gerakan mundur itu, tidak ada seorang serdadu pun yang jatuh korban dan mereka tiba di Pineleng di saat fajar mulai menyingsing. Di lain pihak, pasukan sersan mayor Brouwers masih terlibat pertempuran sengit di sepanjang pantai Sario. Pasukan ini bahkan hampir terkepung oleh gerakan melambung pasukan korps marinir Jepang. Tetapi dengan perlawanan yang gigih di veldbak yang berada pada jarak sekitar tujuh puluh meter dari pertigaan jalan Sario, dan berkat lindungan tembakan gencar dari senjata berat watermantel di tangan pasukan Reservekorps dalam veldbak, akhirnya Brouwers bersama pasukannya berhasil juga meloloskan diri! Mereka segera bergerak mundur melalui jalan di komplek perkebunan Sario (kini menjadi “Kota Baru”), lalu tembus melewati jembatan Wanea menuju kampung Pineleng dengan berjalan kaki.
 Pagi hari itu, sebagian anggota pasukan sempat mampir dan makan tinutuan (bubur Manado) dan buah durian yang disuguhkan oleh penduduk kampung Pineleng. Serdadu-serdadu milisi Thymen Veldbergdan Meiyer beserta kawan-kawannya dari satuan milisi Eropa, sempat menaiki kendaraan truk yang telah disiapkan untuk mengangkut mereka menuju kota Tomohon. Kekuatan personil pasukan yang dikomandoi oleh sersan mayor Brouwers itu hanya dua brigade. Brigade itu kemudian beristirahat di kota Tomohon, selanjutnya meneruskan gerakan mundurnya ke kampung Rurukan, yang ditetapkan sebagai lokasi tempat konsolidasi pasukan.
 Pasukan pendarat korps marinir Tentara Jepang yang tergabung dalam satuan tugas yang mereka namakan “Sasebo Combined Landing Force” itu, sewaktu melakukan pendaratan hanya mengenakan sepatu karet bermata dua, sehingga tidak menimbulkan suara gaduh dari derap langkah kaki mereka di jalan yang dilalui. Barikade kawat-kawat berduri yang dibentangkan pada sepanjang garis pertahanan pantai, ternyata tidak mampu menghambat nafsu ofensif pihak pasukan penyerbu itu, meskipun keadaan pasir pantai dan air laut telah berubah warnanya oleh darah anggota pasukan mereka yang tertembak. Kekuatan pasukan pendarat sebesar satu setengah divisi pasukan korps marinir A.L. Jepang secara keseluruhan berada di bawah pimpinan Shireikan letnan kolonel marinir Hashimotodan mayor marinir Mori, dan meliputi seluruh kampanye aksi pendaratan, termasuk di pantai Kema. Pasukan penyerbu Jepang bergerak maju terus ibarat buldoser menggilas segala sesuatunya untuk membuka jalur jalan strategis di pinggiran kota menuju jantung kota Manado. Mereka segera berhasil merebut dan menduduki pertigaan jalan Sario. Kemudian mereka terbagi dua dan bergerak ke dua arah, yang pertama menuju instalasi perusahaan listrik NIGEM, sedangkan yang ke dua bergerak maju menuju pertigaan jalan Wanea dengan maksud untuk merebut jembatan Wanea yang strategis.
 Sementara itu terdengar bunyi ledakan-ledakan yang begitu hebat dan ramai, seolah-olah terjadi kontak tembak yang seru antara pasukan pertahanan dan pasukan penyerbu Tentara Jepang, di sepanjang jalur jalan antara pertigaan jalan Sario sampai mendekati pertigaan jalan Wanea (kini: Jalan Bethesda). Jalannya pertempuran memang agak lamban, karena berlangsung di tengah malam, namun pasukan Jepang terus maju setapak demi setapak. Di sisi lain, pasukan pertahanan gabungan tetap berupaya untuk mempertahankan sejengkal demi sejengkal tanah Toar-Lumimuut dengan sangat gigih, walaupun pihak lawan memiliki daya tempur yang jauh lebih besar dan kuat. Pasukan pertahanan Sario yang bukan dikomandoi sersan mayor Brouwers bergerak mundur menuju instalasi perusahaan listrik NIGEM. Demikian pula pasukan pertahanan yang bertahan pada veldbak di pertigaan jalan Sario, juga bergerak mundur untuk memperkuat pertahanan pada veldbak di pertigaan jalan jembatan Wanea. Bunyi ledakan-ledakan yang begitu hebat yang diprakarsai oleh pasukan korps marinir Jepang, berhasil menimbulkan kepanikan di pihak pasukan yang bertahan.
Akhirnya, komandannya kapten Wim Kroon, memerintahkan lewat ordonans (kurir) yang diberi tugas ke daerah pertempuran itu, agar pasukan segera menarik diri dari pertahanan di instalasi perusahaan listrik maupun di jembatan Wanea dan bergerak mundur.
 Walhasil, pasukan Jepang yang maju dengan semangat tinggi itu berhasil merebut instalasi perusahaan listrik NIGEM itu. Mereka kemudian merebut jembatan Wanea dengan maksud untuk memotong lini pertahanan jalur jalan dari Manado Selatan menuju jantung kota. Pada kedua tempat pertahanan itu berlangsung kontak tembak yang sangat seru. Kedua belah pihak menderita korban yang cukup banyak, terutama sekali pihak pasukan penyerbu Jepang. Seorang pemuda anggota satuan Stadswacht, Jo Rampengan, ikut mundur dari pertahanan pantai Sario kemudian bergabung pada pertahanan instalasi perusahaan listrik NIGEM. Dengan bersenjatakan karaben serta mengenakan topi baja buatan Jerman, ia pun terlibat dalam pertempuran sengit untuk mempertahankan perusahaan yang vital itu. Namun pemuda Stadswacht itu sempat terkena tembakan peluru pasukan korps marinir Jepang yang tepat mengenai topi bajanya itu. Ia berhasil ikut mundur bersama kawan-kawannya ke sekolah PIKAT yang terletak di jalan Tanjung Batu, untuk bergabung dan memperkuat satuan pertahanan senjata berat Vickers watermantel yang menempati veldbak di samping jembatan Sario dan di atas bukit pertigaan jalan Tanjung Batu. 
Sambil mengikuti gerakan mundur itu, pemuda itu memeriksa topi baja yang dipakainya dan ternyata didapati adanya tanda peot. Perasaan merinding langsung merambat ke seluruh tubuhnya sesaat. Tetapi di hadapan kawan-kawannya, sambil tersenyum kecut ia masih sempat juga berujar dalam bahasa Melayu Manado, “Wa, untung jo ni helem kita da pake tabobale mangada ka blakang. Coba andekata kita da pake deng butul mangada ka muka, pasti stou kita so tarika tasambar pilor Japang, karna memang pas-pas kanal di kapala pa kita pe testa.” (Wah, untung saja topi baja ini aku pakai terbalik menghadap ke belakang. Coba seandainya aku pakai pada posisinya yang benar menghadap ke depan, pasti aku sudah tergeletak disambar peluru Jepang karena memang mengenai batok kepalaku tepat di jidat!). Adapun bunyi ledakan-ledakan yang dahsyat yang terjadi pada sebagian jalan pertigaan Sario menuju pertigaan jalan Wanea itu, barulah belakangan diketahui. Ternyata itu sebenarnya adalah ledakan ribuan mercon (petasan) yang sengaja dipetaskan oleh pasukan korps marinir Jepang, dengan maksud untuk menimbulkan suasana kepanikan di pihak pasukan pertahanan, karena disangka sebagai ledakan peluru-peluru.
 Menjelang subuh pada hari itu, kota Manado nampaknya tidak dapat tertolong lagi dari penguasaan oleh pihak Tentara Jepang. Komandan satuan pasukan Vernielingskorps, opzichter Mohede bersama para anggotanya segera mulai beraksi di kawasan Sario, Titiwungen dan pelabuhan Manado. Dinamit-dinamit yang berukuran 100 x 20 x 20 sentimeter dan telah terpasang rapih di gudang beras di tribun lapangan pacuan kuda Sario, gudang beras dalam rumah sakit tua di Titiwungen, gudang Kopra Fonds, gudang beras dan kapal keruk yang berada di pelabuhan, langsung diledakkan guna membumihanguskan obyek-obyek yang vital itu.
 Pasukan pertahanan selanjutnya tiba di pertigaan jalan PIKAT, lalu di sana memperkuat veldbakbersenjatakan Vickers watermantel dan membangun stelling di bukit Tanjung Batu, di sekitar rumah kediaman Laurens F. Saerang. Di lokasi itu berlangsung pula kontak tembak yang sengit sekali hingga menjelang fajar menyingsing. Daftar angka korban di kedua belah pihak semakin membengkak. Dikarenakan jumlah pasukan penyerbu Jepang itu sangat luar biasa banyaknya dan tidak seimbang dengan kekuatan pasukan yang bertahan, maka dengan perasaan kesal pasukan pertahanan terpaksa harus mundur ke daerah perbukitan menuju Teling, lalu terus ke kampung Kembes. Pasukan ini kemudian berusaha menggabungkan diri ke Markas Komando Pasukan Pertahanan KNIL, yang berada di bawah pimpinan Troepen commandant (TPC) mayor B.F.A. Schilmöller dan saat itu berkedudukan di Kakaskasen, Tomohon.
 (Saduran dari sebuah draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh mantan Pilot Tempur TNI AU, Bpk. Johanes Mundung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar