Rabu, 24 Oktober 2012

Kisah Perang Dunia II - Pangkalan Udara Amfibi Tasuka Diserang di Hari Natal Kedua 1941



Pangkalan Udara Amfibi Tasuka Diserang
Mendengar berita-berita perkembangan dunia yang menjurus ke batas-batas jurang kehancuran, pintu hati masyarakat residensi Manado mulai semakin terbuka. Kalau pada mulanya, sumbu peperangan masih bersumber di benua Eropa yang letak geografisnya begitu jauh, kini sumbu peperangan itu telah dinyalakan pada tanggal 7 Desember 1941 di Pearl Harbor, Hawaii, dalam wilayah kawasan Pasifik, lalu menusuk ke wilayah Timur Jauh dan Asia Tenggara. Letaknya sudah tidak jauh lagi dari kota “nyiur melambai”, Manado.

Namun, hati kecil rakyat tetap membenteng dengan teguh, mengharapkan agar malapetaka seperti itu tidak akan mereka alami di negeri tercinta ini. Akan tetapi rasio dan realita tidak selalu berjalan paralel. Serangan udara oleh pesawat-pesawat udara pemburu Angkatan Laut Jepang, akhirnya terjadi pada tanggal 26 Desember 1941 di atas permukaan danau Tondano. Kobaran api yang terpancar keluar dari sumbu Perang Dunia II, kini gilirannya menggelinding di bumi Minahasa yang tercinta ini, pada hari ke dua Hari Natal 1941 itu.

Para opsir bawahan KNIL sersan Efron Paat, sersan Paul Pinontoan, sersan Mo’e, sersan Daniel Timbongol, kopral Herman Lowing, dan spandri Cornelis Wahani, memimpin tiga brigade pasukan Reservekorps yang dibebani tugas menjaga pangkalan udara amfibi Tasuka, yang terletak di perairan bagian timur danau Tondano, Minahasa. Sejak meletusnya dan meluapnya peperangan di benua Eropa, suhu politik dan ekonomi di kawasan Pasifik pun semakin menghangat antara pemerintah Jepang kontra blok Barat, dalam hal ini Amerika Serikat, Inggris, Australia, Selandia Baru dan Belanda.
Pangkalan udara pesawat amfibi Tasuka telah dilengkapi pula dengan fasilitas militer yang cukup memadai sebagaimana seharusnya. Beberapa buah terowongan dibuat dengan rapih dan kokoh, berfungsi sebagai tempat penyimpanan bom-bom berukuran besar, sedang dan kecil. Rumah untuk mess dan kantin bagi para pilot dan awak pesawat udara serta pasukan pertahanan telah dibangun di dalam komplek pangkalan udara amfibi itu.
Luitenant ter Zee (letnan laut) De Ruyter dari Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan) selaku commandant vliegbasis (komandan pangkalan udara) Tasuka dan Kalawiran, bertempat tinggal di kampung Wasian, Kakas, sedangkan para perwira dan kru pesawat skuadron “Dornier” tinggal di rumah pasanggrahan di Kakas. Di Tasuka itu berpangkalan sejumlah 6 buah pesawat udara amfibi jenis Dornier dan sebuah pesawat udara jenis Sikorsky milik maskapai penerbangan KNILM (Koninklijke Nederlands-Indische Luchtvaart Maatschappij). Kapitein ter Zee (kapten laut) De Bruynne menjabat selaku komandan skuadron, dengan para perwira penerbangnya, yaitu para luitenant ter zee Holfsz, Reyndersz, Slottje, Belloni, dan Van Steen, yang juga berstatus sebagai luitenant vlieger (letnan penerbang).
Kubu-kubu pertahanan dibangun di puncak-puncak rantai perbukitan di sebelah utara, timur dan selatan dari tangsi Tasuka dengan pos-pos penjagaan yang sangat ketat. Sersan laut Henkie Ratumbanua yang memimpin ground technical crew (teknisi darat) bertugas mengadakan pemeliharaan bagi pesawat udara amfibi, mengisi bahan bakar untuk pesawat udara, mengatur pemuatan bom-bom bagi pesawat yang akan melaksanakan suatu misi, dan lain-lain. Tugas pemuatan bom-bom yang merupakan tugas rahasia itu, biasanya dilakukan pagi-pagi di waktu subuh dengan bantuan menggunakan roda ver kuda dan dikerjakan oleh serdadu Reservekorps. Hal ini dijalankan semenjak pasukan bala tentara Jepang menyerbu pula Luzon, Filipina.
Sedangkan bagi kalangan masyarakat, apa pun profesi, jabatan atau fungsinya, tanpa pandang bulu, tidak diperkenankan untuk masuk keluar secara bebas di pangkalan udara militer itu, terkecuali dengan seizin komandan detasemen pasukan pertahanan distrik Toulour yang bermarkas di kota Tondano. Hubungan komunikasi ke luar lingkungan pangkalan udara Tasuka, dilaksanakan melalui jaringan hubungan telepon biasa, sedangkan komunikasi ke dan dari luar daerah dilaksanakan melalui setasiun radio zender (radio pemancar) yang berfungsi sebagai radio pengirim dan penerima, yang berlokasi di Lelema, di pinggiran kota Tondano.
Pada akhir bulan Desember 1941 letnan M. Fuchter mengadakan pergantian personil pada pos-pos penjagaan di pangkalan udara Tasuka. Sersan Paul Pinontoan, sersan Herling Mirah, sersan Daniel Timbongol, spandri Cornelis Wahani, dan beberapa rekannya dipindahkan menempati pos pertahanan pantai Tanawangko. Sersan Efron Paat, kopral Herman Lowing dan rekan-rekannya ditempatkan pada pos pertahanan pelabuhan pantai Labuan Kora-Kora untuk memperkuat brigade pasukan sersan Roland Lompoliuw, kopral Monde, kopral Muntuan, dan kawan-kawan mereka, dengan persenjataan yang berupa senapan karaben, KM dan watermantel. Sedangkan Sersan Manueke, sersan Solang, sersan Inarai, kopral Wonua, dan kopral Abner Sangkaeng, menempati pos pertahanan pangkalan udara amfibi Tasuka.

Masa “Tijdens Voor De Oorlog” Telah Berlalu
Halaman sekeliling gereja kampung Talikuran, Kakas, pada hari Jum’at pagi itu telah dipenuhi anak-anak yang sedang bermain-main dengan riangnya, sambil menunggu dimulainya acara ibadah. Sedangkan di luar lingkungan gereja itu, di pekarangan-pekarangan rumah penduduk, rakyat baru saja selesai menghangatkan berbagai makanan yang dimasak dalam bambu-bambu, sebagaimana kebiasaan di daerah Minahasa.
Masakan khas Manado itu rata-rata berupa sayuran dan daging dari hewan babi, seperti sayur pangi, sayur saut, daging tinoransak dan posana, serta tentunya tidak ketinggalan nasijaha (sejenis lemang).Pendeta Wim Wagey bersama koster (penjaga gereja) sedang sibuk mengatur persiapan-persiapan pelaksanaan acara kebaktian. Pagi itu akan diadakan acara khusus permandian (baptisan) bagi 50 orang anak dan satu orang dewasa. Selain itu pula, Ir. Soedarjono, kepala pengawas perlistrikan onderdistrik Kakas, yang sebentar lagi akan menikah dengan seorang gadis asal kampung itu, Tine Sumayku, akan diumumkan kepada sidang jema’at yang hadir mengenai rencana peneguhan nikah kedua insan itu.
Suasana Natal yang penuh kegembiraan di hari ke dua tanggal 26 Desember 1941 itu masih menyelubungi kampung yang terletak di jantung daratan Minahasa itu. Langit tampak cerah di angkasa di atas kampung Talikuran, Kakas, ketika itu. Lagu-lagu Natal yang sedang dinyanyikan terdengar timbul tenggelam dalam keriuhan permainan anak-anak di pekarangan gereja itu. Tetapi suasana riang gembira itu tiba-tiba lenyap.
Sekonyong-konyong terdengar bunyi raungan keras di udara dan dalam seketika langit cerah di atas kampung itu seolah-olah telah dipenuhi “burung-burung besi”. Semua mata yang curiga langsung menatap ke atas. “Burung-burung besi” itu ternyata adalah 6 buah pesawat udara tempur Angkatan Laut Jepang yang terkenal, yaitu pesawat pemburu “Zero”.
Suasana di gereja itu pun menjadi kacau balau, dan semakin menambah kepanikan ketika pesawat-pesawat udara itu mulai memuntahkan peluru-pelurunya. Rupanya yang menjadi sasaran gempuran oleh pesawat-pesawat udara Jepang itu adalah pangkalan udara Tasuka di tepi danau Tondano, yang letaknya tidak seberapa jauh dari Kakas. Tasuka memang telah lama menjadi pangkalan udara amfibi Angkatan Laut Kerajaan Belanda, berbeda dengan pangkalan udara Kalawiran yang di kala itu masih dalam tahap pembangunannya.
Sebuah pesawat udara amfibi jenis Sikorsky milik KNILM yang sedang mengisi bahan bakar, langsung habis terbakar dan tenggelam akibat ledakan bom yang dijatuhkan oleh pesawat-pesawat udara Zero Jepang itu. Beberapa pesawat amfibi jenis Dornier milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda, yang sedang menunggu giliran untuk mengisi bahan bakar sehabis melakukan aksi ofensif ke wilayah Filipina, juga dihujani bom.
Pihak pasukan pertahanan yang terdiri dari sersan Paul Pinontoan (adik kandung kopral Wolter Martinus Pinontoan), sersan Herling Mirah, sersan Mo’e, dan rekan-rekan lainnya, pada saat itu sedang berusaha memberikan perlawanan terhadap keenam buah pesawat udara Zero yang tidak diundang itu, dengan senjata otomatis kaliber 12,7 mm, namun mereka sia-sia saja menangkal serangan yang mendadak itu.
Akhirnya, lima buah pesawat udara Dornier diketahui karam ditelan danau Tondano. Kelima buah pesawat udara Dornier dari Koninklijke Marine itu baru saja kembali dari melaksanakan tugas pengeboman terhadap satuan Angkatan Perang Jepang di Davao dan Palao, dalam rangka turut membantu pasukan pertahanan Amerika Serikat sebagai sekutu mereka. Pesawat udara Dornier satu-satunya yang luput dari serangan pendadakan itu, adalah pesawat udara yang terlambat tiba dari tugas pengintaian udara di belahan utara Laut Sulawesi. Bootschutter (juru tembak udara) sersan Robert Siezen, gugur bersama keenam bangkai pesawat udara yang pernah menjadi andalannya itu.
Acara kebaktian menjadi kacau akibat dentuman bom dan desingan peluru. Ibu-ibu berteriak histeris mencari anak-anak mereka yang kalang kabut dan berhamburan tunggang langgang. Namun, mereka semua masih bernasib baik. Keenam buah pesawat udara Zero itu memang tidak mengarahkan moncong senapan mesinnya ke arah kampung Talikuran itu. Penyerangan yang berlangsung selama lebih kurang tiga puluh menit itu, hanya membumihanguskan pangkalan udara Tasuka, sedangkan pangkalan udara militer Hindia-Belanda lainnya yang belum selesai dibangun, Kalawiran, luput dari serangan. Pangkalan udara Kalawiran sedianya dibangun sebagai pangkalan pesawat udara pembom Sekutu untuk menangkal serangan Jepang. Pesawat-pesawat udara Zero Jepang itu begitu selesai melaksanakan tugasnya, langsung menghilang di balik pegunungan Lembean, sambil melakukan tari kemenangan berupa “victory roll” (gerakan berguling sambil menanjak).
Pendeta Wim Wagey segera mengambil sepeda yang ditinggalkan oleh pemiliknya di depan gereja. Dikayuhnya sepeda itu menuju Tasuka, dan di sepanjang jalan ia melihat banyak orang dan gerobak yang dimuati barang-barang, yang rupanya tengah dalam perjalanan untuk mengungsi. Pintu gerbang masuk ke pangkalan udara Tasuka dijaga oleh sersan Daniel Timbongol dari satuan pasukan Reservekorps. Kedatangan pendeta itu membangkitkan semangat para serdadu pasukan pertahanan di tempat itu. Mereka pun berkumpul dan menceritakan peristiwa yang baru dialami itu.
Namun sedang asyik demikian, deru bunyi pesawat udara kembali memecah langit Tasuka, sehingga semua orang lari berpencaran. Sebuah regu penolong pada saat itu sedang menuju lokasi tenggelamnya pesawat-pesawat udara yang telah menjadi bangkai itu. Mereka tentunya bermaksud hendak memberikan pertolongan terhadap rekan-rekan awak pesawat udara yang sedang terapung-apung di atas permukaan danau Tondano itu. Namun mereka terjebak, tidak dapat bersembunyi dan hanya mematung saja di atasperahu motor mereka, dengan kata lain, bersikap pasrah saja! Mendadak sebuah ledakan dahsyat terdengar dan drum-drum pun terlihat beterbangan ke udara. Serangan bom dan rentetan tembakan mitraliur pesawat-pesawat udara Jepang itu, kali ini menghancurkan dan membakar tempat penimbunan bahan bakar pesawat udara di Tasuka.
Jepang telah menguasai perairan Laut Filipina, sedangkan kekuatan udara Hindia-Belanda praktis belum dapat unjuk gigi. Pihak Tentara Sekutu pun kewalahan dan tidak mampu membendung arus penyerangan pihak Jepang. Kekuatan udara Sekutu itu terpaksa ditarik mundur dan diungsikan ke wilayah Hindia-Belanda. Malang, Kendari dan Samarinda II dijadikan benteng udara Sekutu. Munculnya pesawat-pesawat udara Jepang pagi itu di langit tanah Minahasa dan berhasil menggempur pangkalan udara Tasuka tanpa adanya perlawanan yang berarti, telah cukup menunjukkan, bahwa “air superiority” (keunggulan di udara) di wilayah udara semenanjung Minahasa saat itu telah dikuasai mereka.
Iring-iringan duka yang mengantarkan jenazah itu, berjalan dengan kepala tertunduk. Tidak ada senyuman. Hanya tembakan salvo dari senapan karaben yang terdengar, sebelum peti jenazah diturunkan ke dalam liang lahat. Setelah komandan skuadronnya selesai menyampaikan kata-kata penghargaan dan ucapan terima kasih, acara pemakaman dialihkan kepada pendeta yang akan memimpin kebaktian secara agama Kristen. Upacara pemakaman secara militer itu ditutup dengan doa dan kata-kata sambutan. Palang salib ditancapkan dan sebuah topi baja milik si korban diletakkan tersandar pada palang salib itu. Terbaca kalimat yang tercantum pada sekeping papan, berbunyi: “Hier Rust Robert Siezen, Sergeant-majoor der Koninklijke Marine, Gesneuveled op de 26ste December 1941 te Tasuka Kakas” (Di sini beristirahat Robert Siezen, sersan mayor Angkatan Laut Kerajaan, gugur pada tanggal 26 Desember 1941 di Tasuka Kakas).
Masa pahit dan manis yang terbentang panjang di balik istilah “tijdens voor de Oorlog”, kini telah dimusiumkan dalam ruang kaca perjalanan sejarah bangsa. Sebuah langkah sejarah baru telah dimulai, bermula dimeteraikan di ujung kelewang pasukan KNIL melawan pedang samurai Jepang. Jepang telah siap menginvasi tanah Toar-Lumimuut tercinta.

Acara Pesta Tradisional Tetap Didahulukan
Tepat pada pukul 00.00 waktu setempat, lonceng gereja di seluruh wilayah keresiden Manado berdentang-dentang selama kurang lebih sepuluh menit. Suatu tanda bahwa wilayah ini telah memasuki tahun kalender yang baru, tanggal 1 Januari 1942. Masyarakat setempat penuh diliputi kegembiraan, walaupun sesungguhnya mereka telah cukup letih, karena tenaga mereka telah terkuras di hari-hari menjelang tibanya Tahun Baru yang memang sudah dinanti-nantikan itu.
Persediaan sandang dan pangan di kala itu cukup menggembirakan. Dari anak-anak sampai orang dewasa, rata-rata bisa memakai baju baru di tahun yang baru. Penduduk juga tetap bisa menyediakan berbagai jenis masakan dan kue-kue Tahun Baru di rumah mereka masing-masing. Di setiap pekarangan rumah penduduk masih terlihat bara api memanjang sepanjang tiga sampai empat meter, bekas membakar atau memanaskan masakan khas Manado, seperti nasijaha, tinoransak, sayur pangi, sayur saut, posana dan lain-lain, yang dimasak dalam bambu dengan bumbu khusus. Sepanjang deretan rumah penduduk tercium aroma harum yang membangkitkan selera, dari kombinasi adonan kue-kue dan masakan spesifik yang memiliki keunikan tersendiri.
Di sepanjang malam yang penuh dengan kegembiraan itu, bunyi musik seruling bambu terdengar di tempat tertentu, yang menyelenggarakan acara pesta malam perpisahan Tahun Lama dan penyambutan Tahun Baru, yang biasanya dibarengi acara dansa-dansi. Acara kebaktian di gereja-gereja dilangsungkan sejak kurang lebih satu setengah jam menjelang pukul 24.00 dan selesai beberapa menit sebelum lonceng gereja mulai berdentang tanda memasuki Tahun Baru. Setelah itu kembang api, bunyi petasan, long-long dan permainan spera (meriam bambu), mulai memeriahkan angkasa dan terdengar ke seluruh sudut-sudut kota sampai ke kampung-kampung.
Tidak seberapa lama kemudian, beberapa kelompok pemuda yang terdiri atas belasan orang mulai berkeliling kampung. Dengan dipimpin oleh salah seorang yang tertua, mereka mengetok pintu rumah orang sambil bernyanyi-nyanyi, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain untuk maksud mengucapkan “Selamat Tahun Baru”, dan “kalu ada sopi tumpa akang sadiki” (kalau ada tuak tolong tuangkan sedikit). Si pemilik rumah telah memahami apa maksud mereka bertamu di tengah malam yang dingin itu. Ya, selain untuk saling berjabatan tangan sebagai tanda suka cita, juga perlu disuguhkan sesuatu. Si tuan rumah tanpa pikir panjang langsung menyuguhkan untuk setiap tamu itu, beraneka macam kue-kue kering dan satu grim (sloki) minuman cap tikus, atau anggur Port.
Setelah sempat mengunjungi dua-tiga rumah, suguhan dari tuan rumah biasanya hanya sekedar dicicipi saja. Mereka menyadari bahwa pada setiap rumah yang akan disinggahi, akan diberi pelayanan yang sama, sedangkan perut kian lama kian “kencang” karena terus-terusan diisi kue dan alkohol. Namun, setiap penghuni rumah berpandangan, bahwa “rezeki hidup ini harus dibagi-bagikan setidaknya sekali setahun.” Ada juga semacam kebiasaan, bahwa pintu dan jendela di rumah penduduk perlu dibuka untuk menyambut udara baru pada malam Tahun Baru.
Sebenarnya sejak petang hari menjelang malam Tahun Baru itu, jalan-jalan raya dan jalan-jalan samping di dalam kota maupun di kampung-kampung, sudah mulai ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan secara berkelompok. Ada yang sedang menyanyikan lagu-lagu rohani, seperti “Opo Wana Natas” (Allah Maha Tinggi) dan “Amang Kasuruan” (Allah Bapa), dan ada pula yang menyanyikan lagu-lagu daerah, seperti “Minahasa di Ujung Utara Selebes”, “O, Minahasa”, dan lain sebagainya. Rakyat sendiri terlihat berbaur dengan para aparat pemerintah dan para anggota tentara yang berseragam, lengkap dengan atribut serta tanda-tanda satuannya masing-masing.
Pesta Tahun Baru kali itu agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Suasana pahit manis kehidupan di tahun 1941 untuk sementara dilupakan dalam memasuki tahun baru 1942. Terutama dengan adanya peristiwa tragis penyerangan terhadap pangkalan udara amfibi Tasuka, dengan jatuhnya korban manusia selain timbulnya kerugian material yang besar. Dalam memeriahkan pesta Tahun Baru 1942 itu, kelompok massa terlihat berjalan perlahan-lahan sambil bergandengan tangan, hampir menutupi seluruh permukaan jalan.
Mereka bernyanyi-nyanyi secara tidak putus-putusnya dalam barisan kelompok yang teratur. Pada barisan terdepan terlihat orang-orang dewasa, yaitu para oom-oom dan tante-tante serta para opa-opa dan oma-oma, dan ada di antaranya yang sedang menggandeng atau menggendong cucunya. Di barisan yang berikut tampak para kaum muda-mudi, anak-anak remaja dan anak-anak sekolah rakyat. Suasana semacam ini telah menjadi semacam tradisi di perkampungan daerah pedalaman Minahasa, misalnya di kampung Watumea serta kampung-kampung lainnya di sekitar danau Tondano.
Di sana sini, jalan raya dipadati oleh berbagai alat transportasi utama penduduk seperti bendi (dokar) dan roda kuda, yang penuh sesak oleh anak-anak dan pemuda-pemudi yang sedang pesiar dari satu kampung ke kampung lainnya, sambil bermain gitar atau ukulele diiringi nyanyian bersama. Alat musik gramofon di beberapa rumah penduduk terdengar membawakan lagu-lagu lama dalam bahasa Belanda, seperti “Daarbij die molen”, “Als die orchideeën bloeien”, dan “Schoon ver van jou”, ketika sedang mengiringi mereka yang sedang berdansa di dalam rumah. Di sisi lain, terdengar pula lagu-lagu daerah yang sedang dimainkan oleh musik bambu, kulintang, atau musik bia (keong), antara lain lagu “Si Patokaan”, “O Ina Ni Keke”, dan “Esa Mokan”, juga mengiringi orang berdansa, tetapi di tempat terbuka.
Sedangkan di rumah hukum tua setempat, para guru, para pensiunan, dan para manula, menyanyikan lagu-lagu seperti “Cerewerewe bonbon” dan “Viktoria, Viktoria” dengan tarikan suara yang terkadang tidak teratur, bahkan asal bunyi tetapi pokoknya meriah. Selesai menyanyikan sebuah lagu, mereka mengangkat gelas bersama sambil berteriak “pros, pros, pros” pada saat akan meneguk minuman saguer dicampur dengan bir, cap tikus atau anggur.
Di kala itu di kampung-kampung memang belum dikenal pemakaian alat-alat elektronik yang modern, seperti mikrofon, megaphone, loudspeaker, amplifier, dan sebagainya, karena semuanya masih serba alamiah. Seorang penyanyi harus memiliki suara yang nyaring, tajam, tenor atau bariton. Ada pun pesta Tahun Baru seperti itu biasanya berlangsung sampai pada hari Minggu terakhir bulan Januari, yang lazim disebut pesta “Kunci Tahun Baru”. atau "Kuncikan".

Bunyi Terompet, Lonceng Gereja dan Bedug Mesjid
Tengah malam menjelang dinihari tanggal 3 Januari 1942, cahaya bintang yang jatuh ke bumi meredup seolah-olah tidak mampu mengusir udara dingin basah hasil penguapan danau Tondano yang menyelimuti perkampungan kota Tondano dan sekitarnya. Malam yang dingin telah membuat penduduk tertidur pulas karena keletihan. Selama dua hari berturut-turut berpesta ria merayakan Tahun Baru, telah cukup menguras tenaga mereka. Sekali-sekali terdengar siulan burung manguni (burung hantu), sahabat setia orang-orang Minahasa sejak dahulu kala.
Tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang bersumber dari arah tangsi Lewet Tondano, menusuk kegelapan malam itu. Beberapa menit kemudian, menyusul terdengar pula bunyi dentangan lonceng gereja “Wangko” GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa) Tondano tanpa putus-putusnya selama lebih dari sepuluh menit. Gemanya terdengar sampai ke Kakas, Remboken dan sekeliling danau Tondano. Lonceng gereja Wangko Tondano itu memang menjadi barometer bagi seluruh lonceng gereja yang ada di kampung-kampung sekitar danau Tondano yang akan menyusul berdentang secara bersama-sama. Sementara itu, bedug-bedug mesjid juga terdengar ditabuh berulang kali.
Para muda-mudi yang malam itu masih bergadang, ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi, karena baru kali ini lonceng gereja berdentang begitu lama pada malam hari tanggal 3 Januari. Sejak dulu lonceng gereja Wangko (besar) itu lazimnya hanya didentangkan begitu lama pada saat tengah malam tanggal 25 Desember maupun saat memasuki Tahun Baru tanggal 1 Januari. Dentangan lonceng raksasa itu membuat penduduk terbangun, termasuk pula para serdadu pasukan Reservekorps dan Kortverband yang tinggal di luar tangsi Lewet. Namun, semuanya tetap belum mengetahui apa makna isyarat bunyi terompet, dentangan lonceng gereja dan tabuhan bedug mesjid itu.
Spandri Sethaan yang tinggal di kampung Koya segera bangkit dan membasuh dirinya sebentar. Setelah mengenakan seragam dinas lengkap serta menyiapkan senapan karabennya, dan seusai meneguk kopi panas yang telah disiapkan dengan tergesa-gesa oleh sang istri, ia pun bergegas mengayuh sepedanya bersama kawan-kawannya menuju tangsi Lewet.
Sebelumnya dan pada malam itu juga, TPC mayor Schilmöller telah mengirim berita kilat yang ditujukan kepada seluruh jajaran pasukan pertahanan di wilayah residensi Manado, tentang “Jatuhnya kota Metro Manila ke dalam tangan pasukan penyerbu bala tentara Jepang”. Oleh karenanya, perlu kewaspadaan dan keamanan lebih ditingkatkan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi pasukan pertahanan. Tentara diperintahkan untuk dikonsinyir pada posnya masing-masing, yang berlaku mulai hari itu tanggal 3 Januari 1942. Itulah arti isyarat bunyi terompet, dentangan lonceng gereja dan tabuhan bedug mesjid tersebut.
Selain itu, isyarat tersebut merupakan tanda penghormatan serta rasa kesetiakawanan bagi pihak pasukan pertahanan Jenderal MacArthur di kota Manila. Dan, bagi kota Manado dan daerah Minahasa sebagai tetangga terdekat negara Filipina dengan ibukotanya Manila itu, kemungkinan besar tinggal soal waktu saja akan menghadapi serbuan Tentara Jepang dalam kampanye aksi agresi ekspansionisnya.
Disadur dari bahan tulisan alm. Jimmy A. LegohDisunting oleh mantan Pilot Tempur TNI AU, Bpk. Johanes Mundung






Tidak ada komentar:

Posting Komentar