Pangkalan Udara Amfibi Tasuka Diserang
Mendengar berita-berita perkembangan dunia yang
menjurus ke batas-batas jurang kehancuran, pintu hati masyarakat residensi
Manado mulai semakin terbuka. Kalau pada mulanya, sumbu peperangan masih
bersumber di benua Eropa yang letak geografisnya begitu jauh, kini sumbu peperangan
itu telah dinyalakan pada tanggal 7 Desember 1941 di Pearl Harbor, Hawaii,
dalam wilayah kawasan Pasifik, lalu menusuk ke wilayah Timur Jauh dan Asia
Tenggara. Letaknya sudah tidak jauh lagi dari kota “nyiur melambai”, Manado.
Namun, hati kecil rakyat tetap membenteng dengan
teguh, mengharapkan agar malapetaka seperti itu tidak akan mereka alami di
negeri tercinta ini. Akan tetapi rasio dan realita tidak selalu berjalan
paralel. Serangan udara oleh pesawat-pesawat udara pemburu Angkatan Laut
Jepang, akhirnya terjadi pada tanggal 26 Desember 1941 di atas permukaan danau
Tondano. Kobaran api yang terpancar keluar dari sumbu Perang Dunia II, kini
gilirannya menggelinding di bumi Minahasa yang tercinta ini, pada hari ke dua
Hari Natal 1941 itu.
Para opsir bawahan KNIL sersan Efron Paat,
sersan Paul Pinontoan, sersan Mo’e, sersan Daniel Timbongol, kopral Herman
Lowing, dan spandri Cornelis Wahani, memimpin tiga brigade pasukan Reservekorps
yang dibebani tugas menjaga pangkalan udara amfibi Tasuka, yang terletak di
perairan bagian timur danau Tondano, Minahasa. Sejak meletusnya dan meluapnya
peperangan di benua Eropa, suhu politik dan ekonomi di kawasan Pasifik pun
semakin menghangat antara pemerintah Jepang kontra blok Barat, dalam hal ini
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Selandia Baru dan Belanda.
Pangkalan udara pesawat amfibi Tasuka telah
dilengkapi pula dengan fasilitas militer yang cukup memadai sebagaimana
seharusnya. Beberapa buah terowongan dibuat dengan rapih dan kokoh, berfungsi
sebagai tempat penyimpanan bom-bom berukuran besar, sedang dan kecil. Rumah
untuk mess dan kantin bagi para pilot dan awak pesawat udara serta pasukan
pertahanan telah dibangun di dalam komplek pangkalan udara amfibi itu.
Luitenant ter Zee (letnan laut) De Ruyter dari
Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan) selaku commandant vliegbasis
(komandan pangkalan udara) Tasuka dan Kalawiran, bertempat tinggal di kampung
Wasian, Kakas, sedangkan para perwira dan kru pesawat skuadron “Dornier”
tinggal di rumah pasanggrahan di Kakas. Di Tasuka itu berpangkalan sejumlah 6
buah pesawat udara amfibi jenis Dornier dan sebuah pesawat udara jenis Sikorsky
milik maskapai penerbangan KNILM (Koninklijke Nederlands-Indische Luchtvaart
Maatschappij). Kapitein ter Zee (kapten laut) De Bruynne menjabat selaku
komandan skuadron, dengan para perwira penerbangnya, yaitu para luitenant ter
zee Holfsz, Reyndersz, Slottje, Belloni, dan Van Steen, yang juga berstatus
sebagai luitenant vlieger (letnan penerbang).
Kubu-kubu pertahanan dibangun di puncak-puncak
rantai perbukitan di sebelah utara, timur dan selatan dari tangsi Tasuka dengan
pos-pos penjagaan yang sangat ketat. Sersan laut Henkie Ratumbanua yang
memimpin ground technical crew (teknisi darat) bertugas mengadakan pemeliharaan
bagi pesawat udara amfibi, mengisi bahan bakar untuk pesawat udara, mengatur
pemuatan bom-bom bagi pesawat yang akan melaksanakan suatu misi, dan lain-lain.
Tugas pemuatan bom-bom yang merupakan tugas rahasia itu, biasanya dilakukan
pagi-pagi di waktu subuh dengan bantuan menggunakan roda ver kuda dan
dikerjakan oleh serdadu Reservekorps. Hal ini dijalankan semenjak pasukan bala
tentara Jepang menyerbu pula Luzon, Filipina.
Sedangkan bagi kalangan masyarakat, apa pun
profesi, jabatan atau fungsinya, tanpa pandang bulu, tidak diperkenankan untuk
masuk keluar secara bebas di pangkalan udara militer itu, terkecuali dengan
seizin komandan detasemen pasukan pertahanan distrik Toulour yang bermarkas di
kota Tondano. Hubungan komunikasi ke luar lingkungan pangkalan udara Tasuka,
dilaksanakan melalui jaringan hubungan telepon biasa, sedangkan komunikasi ke
dan dari luar daerah dilaksanakan melalui setasiun radio zender (radio
pemancar) yang berfungsi sebagai radio pengirim dan penerima, yang berlokasi di
Lelema, di pinggiran kota Tondano.
Pada akhir bulan Desember 1941 letnan M. Fuchter
mengadakan pergantian personil pada pos-pos penjagaan di pangkalan udara
Tasuka. Sersan Paul Pinontoan, sersan Herling Mirah, sersan Daniel Timbongol,
spandri Cornelis Wahani, dan beberapa rekannya dipindahkan menempati pos pertahanan
pantai Tanawangko. Sersan Efron Paat, kopral Herman Lowing dan rekan-rekannya
ditempatkan pada pos pertahanan pelabuhan pantai Labuan Kora-Kora untuk
memperkuat brigade pasukan sersan Roland Lompoliuw, kopral Monde, kopral
Muntuan, dan kawan-kawan mereka, dengan persenjataan yang berupa senapan
karaben, KM dan watermantel. Sedangkan Sersan Manueke, sersan Solang, sersan
Inarai, kopral Wonua, dan kopral Abner Sangkaeng, menempati pos pertahanan
pangkalan udara amfibi Tasuka.
Masa “Tijdens Voor De Oorlog” Telah Berlalu
Halaman sekeliling gereja kampung Talikuran,
Kakas, pada hari Jum’at pagi itu telah dipenuhi anak-anak yang sedang
bermain-main dengan riangnya, sambil menunggu dimulainya acara ibadah.
Sedangkan di luar lingkungan gereja itu, di pekarangan-pekarangan rumah
penduduk, rakyat baru saja selesai menghangatkan berbagai makanan yang dimasak
dalam bambu-bambu, sebagaimana kebiasaan di daerah Minahasa.
Masakan khas Manado itu rata-rata berupa sayuran
dan daging dari hewan babi, seperti sayur pangi, sayur saut, daging tinoransak
dan posana, serta tentunya tidak ketinggalan nasijaha (sejenis lemang).Pendeta
Wim Wagey bersama koster (penjaga gereja) sedang sibuk mengatur
persiapan-persiapan pelaksanaan acara kebaktian. Pagi itu akan diadakan acara khusus
permandian (baptisan) bagi 50 orang anak dan satu orang dewasa. Selain itu
pula, Ir. Soedarjono, kepala pengawas perlistrikan onderdistrik Kakas, yang
sebentar lagi akan menikah dengan seorang gadis asal kampung itu, Tine Sumayku,
akan diumumkan kepada sidang jema’at yang hadir mengenai rencana peneguhan
nikah kedua insan itu.
Suasana Natal yang penuh kegembiraan di hari ke
dua tanggal 26 Desember 1941 itu masih menyelubungi kampung yang terletak di
jantung daratan Minahasa itu. Langit tampak cerah di angkasa di atas kampung
Talikuran, Kakas, ketika itu. Lagu-lagu Natal yang sedang dinyanyikan terdengar
timbul tenggelam dalam keriuhan permainan anak-anak di pekarangan gereja itu.
Tetapi suasana riang gembira itu tiba-tiba lenyap.
Sekonyong-konyong terdengar bunyi raungan keras
di udara dan dalam seketika langit cerah di atas kampung itu seolah-olah telah
dipenuhi “burung-burung besi”. Semua mata yang curiga langsung menatap ke atas.
“Burung-burung besi” itu ternyata adalah 6 buah pesawat udara tempur Angkatan
Laut Jepang yang terkenal, yaitu pesawat pemburu “Zero”.
Suasana di gereja itu pun menjadi kacau balau,
dan semakin menambah kepanikan ketika pesawat-pesawat udara itu mulai
memuntahkan peluru-pelurunya. Rupanya yang menjadi sasaran gempuran oleh
pesawat-pesawat udara Jepang itu adalah pangkalan udara Tasuka di tepi danau Tondano,
yang letaknya tidak seberapa jauh dari Kakas. Tasuka memang telah lama menjadi
pangkalan udara amfibi Angkatan Laut Kerajaan Belanda, berbeda dengan pangkalan
udara Kalawiran yang di kala itu masih dalam tahap pembangunannya.
Sebuah pesawat udara amfibi jenis Sikorsky milik
KNILM yang sedang mengisi bahan bakar, langsung habis terbakar dan tenggelam
akibat ledakan bom yang dijatuhkan oleh pesawat-pesawat udara Zero Jepang itu.
Beberapa pesawat amfibi jenis Dornier milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda, yang
sedang menunggu giliran untuk mengisi bahan bakar sehabis melakukan aksi
ofensif ke wilayah Filipina, juga dihujani bom.
Pihak pasukan pertahanan yang terdiri dari
sersan Paul Pinontoan (adik kandung kopral Wolter Martinus Pinontoan), sersan
Herling Mirah, sersan Mo’e, dan rekan-rekan lainnya, pada saat itu sedang
berusaha memberikan perlawanan terhadap keenam buah pesawat udara Zero yang
tidak diundang itu, dengan senjata otomatis kaliber 12,7 mm, namun mereka
sia-sia saja menangkal serangan yang mendadak itu.
Akhirnya, lima buah pesawat udara Dornier
diketahui karam ditelan danau Tondano. Kelima buah pesawat udara Dornier dari
Koninklijke Marine itu baru saja kembali dari melaksanakan tugas pengeboman
terhadap satuan Angkatan Perang Jepang di Davao dan Palao, dalam rangka turut
membantu pasukan pertahanan Amerika Serikat sebagai sekutu mereka. Pesawat
udara Dornier satu-satunya yang luput dari serangan pendadakan itu, adalah
pesawat udara yang terlambat tiba dari tugas pengintaian udara di belahan utara
Laut Sulawesi. Bootschutter (juru tembak udara) sersan Robert Siezen, gugur
bersama keenam bangkai pesawat udara yang pernah menjadi andalannya itu.
Acara kebaktian menjadi kacau akibat dentuman
bom dan desingan peluru. Ibu-ibu berteriak histeris mencari anak-anak mereka
yang kalang kabut dan berhamburan tunggang langgang. Namun, mereka semua masih
bernasib baik. Keenam buah pesawat udara Zero itu memang tidak mengarahkan
moncong senapan mesinnya ke arah kampung Talikuran itu. Penyerangan yang
berlangsung selama lebih kurang tiga puluh menit itu, hanya membumihanguskan
pangkalan udara Tasuka, sedangkan pangkalan udara militer Hindia-Belanda
lainnya yang belum selesai dibangun, Kalawiran, luput dari serangan. Pangkalan
udara Kalawiran sedianya dibangun sebagai pangkalan pesawat udara pembom Sekutu
untuk menangkal serangan Jepang. Pesawat-pesawat udara Zero Jepang itu begitu
selesai melaksanakan tugasnya, langsung menghilang di balik pegunungan Lembean,
sambil melakukan tari kemenangan berupa “victory roll” (gerakan berguling
sambil menanjak).
Pendeta Wim Wagey segera mengambil sepeda yang
ditinggalkan oleh pemiliknya di depan gereja. Dikayuhnya sepeda itu menuju
Tasuka, dan di sepanjang jalan ia melihat banyak orang dan gerobak yang dimuati
barang-barang, yang rupanya tengah dalam perjalanan untuk mengungsi. Pintu
gerbang masuk ke pangkalan udara Tasuka dijaga oleh sersan Daniel Timbongol
dari satuan pasukan Reservekorps. Kedatangan pendeta itu membangkitkan
semangat para serdadu pasukan pertahanan di tempat itu. Mereka pun berkumpul
dan menceritakan peristiwa yang baru dialami itu.
Namun sedang asyik demikian, deru bunyi pesawat
udara kembali memecah langit Tasuka, sehingga semua orang lari berpencaran.
Sebuah regu penolong pada saat itu sedang menuju lokasi tenggelamnya
pesawat-pesawat udara yang telah menjadi bangkai itu. Mereka tentunya bermaksud
hendak memberikan pertolongan terhadap rekan-rekan awak pesawat udara yang
sedang terapung-apung di atas permukaan danau Tondano itu. Namun mereka
terjebak, tidak dapat bersembunyi dan hanya mematung saja di atasperahu motor
mereka, dengan kata lain, bersikap pasrah saja! Mendadak sebuah ledakan dahsyat
terdengar dan drum-drum pun terlihat beterbangan ke udara. Serangan bom dan
rentetan tembakan mitraliur pesawat-pesawat udara Jepang itu, kali ini
menghancurkan dan membakar tempat penimbunan bahan bakar pesawat udara di
Tasuka.
Jepang telah menguasai perairan Laut Filipina,
sedangkan kekuatan udara Hindia-Belanda praktis belum dapat unjuk gigi. Pihak
Tentara Sekutu pun kewalahan dan tidak mampu membendung arus penyerangan pihak
Jepang. Kekuatan udara Sekutu itu terpaksa ditarik mundur dan diungsikan ke
wilayah Hindia-Belanda. Malang, Kendari dan Samarinda II dijadikan benteng
udara Sekutu. Munculnya pesawat-pesawat udara Jepang pagi itu di langit tanah
Minahasa dan berhasil menggempur pangkalan udara Tasuka tanpa adanya perlawanan
yang berarti, telah cukup menunjukkan, bahwa “air superiority” (keunggulan di
udara) di wilayah udara semenanjung Minahasa saat itu telah dikuasai mereka.
Iring-iringan duka yang mengantarkan jenazah
itu, berjalan dengan kepala tertunduk. Tidak ada senyuman. Hanya tembakan salvo
dari senapan karaben yang terdengar, sebelum peti jenazah diturunkan ke dalam
liang lahat. Setelah komandan skuadronnya selesai menyampaikan kata-kata
penghargaan dan ucapan terima kasih, acara pemakaman dialihkan kepada pendeta
yang akan memimpin kebaktian secara agama Kristen. Upacara pemakaman secara
militer itu ditutup dengan doa dan kata-kata sambutan. Palang salib ditancapkan
dan sebuah topi baja milik si korban diletakkan tersandar pada palang salib
itu. Terbaca kalimat yang tercantum pada sekeping papan, berbunyi: “Hier Rust
Robert Siezen, Sergeant-majoor der Koninklijke Marine, Gesneuveled op de 26ste
December 1941 te Tasuka Kakas” (Di sini beristirahat Robert Siezen, sersan
mayor Angkatan Laut Kerajaan, gugur pada tanggal 26 Desember 1941 di Tasuka
Kakas).
Masa pahit dan manis yang terbentang panjang di
balik istilah “tijdens voor de Oorlog”, kini telah dimusiumkan dalam ruang kaca
perjalanan sejarah bangsa. Sebuah langkah sejarah baru telah dimulai, bermula
dimeteraikan di ujung kelewang pasukan KNIL melawan pedang samurai Jepang.
Jepang telah siap menginvasi tanah Toar-Lumimuut tercinta.
Acara Pesta Tradisional Tetap Didahulukan
Tepat pada pukul 00.00 waktu setempat, lonceng
gereja di seluruh wilayah keresiden Manado berdentang-dentang selama kurang
lebih sepuluh menit. Suatu tanda bahwa wilayah ini telah memasuki tahun
kalender yang baru, tanggal 1 Januari 1942. Masyarakat setempat penuh diliputi
kegembiraan, walaupun sesungguhnya mereka telah cukup letih, karena tenaga
mereka telah terkuras di hari-hari menjelang tibanya Tahun Baru yang memang
sudah dinanti-nantikan itu.
Persediaan sandang dan pangan di kala itu cukup
menggembirakan. Dari anak-anak sampai orang dewasa, rata-rata bisa memakai baju
baru di tahun yang baru. Penduduk juga tetap bisa menyediakan berbagai jenis
masakan dan kue-kue Tahun Baru di rumah mereka masing-masing. Di setiap
pekarangan rumah penduduk masih terlihat bara api memanjang sepanjang tiga
sampai empat meter, bekas membakar atau memanaskan masakan khas Manado, seperti
nasijaha, tinoransak, sayur pangi, sayur saut, posana dan lain-lain, yang
dimasak dalam bambu dengan bumbu khusus. Sepanjang deretan rumah penduduk
tercium aroma harum yang membangkitkan selera, dari kombinasi adonan kue-kue
dan masakan spesifik yang memiliki keunikan tersendiri.
Di sepanjang malam yang penuh dengan kegembiraan
itu, bunyi musik seruling bambu terdengar di tempat tertentu, yang
menyelenggarakan acara pesta malam perpisahan Tahun Lama dan penyambutan Tahun
Baru, yang biasanya dibarengi acara dansa-dansi. Acara kebaktian di
gereja-gereja dilangsungkan sejak kurang lebih satu setengah jam menjelang
pukul 24.00 dan selesai beberapa menit sebelum lonceng gereja mulai berdentang
tanda memasuki Tahun Baru. Setelah itu kembang api, bunyi petasan, long-long
dan permainan spera (meriam bambu), mulai memeriahkan angkasa dan terdengar ke
seluruh sudut-sudut kota sampai ke kampung-kampung.
Tidak seberapa lama kemudian, beberapa kelompok
pemuda yang terdiri atas belasan orang mulai berkeliling kampung. Dengan
dipimpin oleh salah seorang yang tertua, mereka mengetok pintu rumah orang
sambil bernyanyi-nyanyi, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain untuk
maksud mengucapkan “Selamat Tahun Baru”, dan “kalu ada sopi tumpa akang sadiki”
(kalau ada tuak tolong tuangkan sedikit). Si pemilik rumah telah memahami apa
maksud mereka bertamu di tengah malam yang dingin itu. Ya, selain untuk saling
berjabatan tangan sebagai tanda suka cita, juga perlu disuguhkan sesuatu. Si
tuan rumah tanpa pikir panjang langsung menyuguhkan untuk setiap tamu itu,
beraneka macam kue-kue kering dan satu grim (sloki) minuman cap tikus, atau
anggur Port.
Setelah sempat mengunjungi dua-tiga rumah,
suguhan dari tuan rumah biasanya hanya sekedar dicicipi saja. Mereka menyadari
bahwa pada setiap rumah yang akan disinggahi, akan diberi pelayanan yang sama,
sedangkan perut kian lama kian “kencang” karena terus-terusan diisi kue dan
alkohol. Namun, setiap penghuni rumah berpandangan, bahwa “rezeki hidup ini
harus dibagi-bagikan setidaknya sekali setahun.” Ada juga semacam kebiasaan,
bahwa pintu dan jendela di rumah penduduk perlu dibuka untuk menyambut udara baru
pada malam Tahun Baru.
Sebenarnya sejak petang hari menjelang malam
Tahun Baru itu, jalan-jalan raya dan jalan-jalan samping di dalam kota maupun
di kampung-kampung, sudah mulai ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan
secara berkelompok. Ada yang sedang menyanyikan lagu-lagu rohani, seperti “Opo
Wana Natas” (Allah Maha Tinggi) dan “Amang Kasuruan” (Allah Bapa), dan ada pula
yang menyanyikan lagu-lagu daerah, seperti “Minahasa di Ujung Utara Selebes”,
“O, Minahasa”, dan lain sebagainya. Rakyat sendiri terlihat berbaur dengan para
aparat pemerintah dan para anggota tentara yang berseragam, lengkap dengan
atribut serta tanda-tanda satuannya masing-masing.
Pesta Tahun Baru kali itu agak berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya. Suasana pahit manis kehidupan di tahun 1941 untuk
sementara dilupakan dalam memasuki tahun baru 1942. Terutama dengan adanya
peristiwa tragis penyerangan terhadap pangkalan udara amfibi Tasuka, dengan
jatuhnya korban manusia selain timbulnya kerugian material yang besar. Dalam
memeriahkan pesta Tahun Baru 1942 itu, kelompok massa terlihat berjalan
perlahan-lahan sambil bergandengan tangan, hampir menutupi seluruh permukaan
jalan.
Mereka bernyanyi-nyanyi secara tidak
putus-putusnya dalam barisan kelompok yang teratur. Pada barisan terdepan
terlihat orang-orang dewasa, yaitu para oom-oom dan tante-tante serta para
opa-opa dan oma-oma, dan ada di antaranya yang sedang menggandeng atau
menggendong cucunya. Di barisan yang berikut tampak para kaum muda-mudi,
anak-anak remaja dan anak-anak sekolah rakyat. Suasana semacam ini telah
menjadi semacam tradisi di perkampungan daerah pedalaman Minahasa, misalnya di
kampung Watumea serta kampung-kampung lainnya di sekitar danau Tondano.
Di sana sini, jalan raya dipadati oleh berbagai
alat transportasi utama penduduk seperti bendi (dokar) dan roda kuda, yang
penuh sesak oleh anak-anak dan pemuda-pemudi yang sedang pesiar dari satu
kampung ke kampung lainnya, sambil bermain gitar atau ukulele diiringi nyanyian
bersama. Alat musik gramofon di beberapa rumah penduduk terdengar membawakan
lagu-lagu lama dalam bahasa Belanda, seperti “Daarbij die molen”, “Als die
orchideeën bloeien”, dan “Schoon ver van jou”, ketika sedang mengiringi mereka
yang sedang berdansa di dalam rumah. Di sisi lain, terdengar pula lagu-lagu
daerah yang sedang dimainkan oleh musik bambu, kulintang, atau musik bia
(keong), antara lain lagu “Si Patokaan”, “O Ina Ni Keke”, dan “Esa Mokan”, juga
mengiringi orang berdansa, tetapi di tempat terbuka.
Sedangkan di rumah hukum tua setempat, para guru,
para pensiunan, dan para manula, menyanyikan lagu-lagu seperti “Cerewerewe
bonbon” dan “Viktoria, Viktoria” dengan tarikan suara yang terkadang tidak
teratur, bahkan asal bunyi tetapi pokoknya meriah. Selesai menyanyikan sebuah
lagu, mereka mengangkat gelas bersama sambil berteriak “pros, pros, pros” pada
saat akan meneguk minuman saguer dicampur dengan bir, cap tikus atau anggur.
Di kala itu di kampung-kampung memang belum
dikenal pemakaian alat-alat elektronik yang modern, seperti mikrofon, megaphone,
loudspeaker, amplifier, dan sebagainya, karena semuanya masih serba
alamiah. Seorang penyanyi harus memiliki suara yang nyaring, tajam, tenor
atau bariton. Ada pun pesta Tahun Baru seperti itu biasanya berlangsung sampai
pada hari Minggu terakhir bulan Januari, yang lazim disebut pesta “Kunci Tahun
Baru”. atau "Kuncikan".
Bunyi Terompet, Lonceng Gereja dan Bedug Mesjid
Tengah malam menjelang dinihari tanggal 3
Januari 1942, cahaya bintang yang jatuh ke bumi meredup seolah-olah tidak mampu
mengusir udara dingin basah hasil penguapan danau Tondano yang menyelimuti
perkampungan kota Tondano dan sekitarnya. Malam yang dingin telah membuat
penduduk tertidur pulas karena keletihan. Selama dua hari berturut-turut
berpesta ria merayakan Tahun Baru, telah cukup menguras tenaga mereka.
Sekali-sekali terdengar siulan burung manguni (burung hantu), sahabat setia
orang-orang Minahasa sejak dahulu kala.
Tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang
bersumber dari arah tangsi Lewet Tondano, menusuk kegelapan malam itu. Beberapa
menit kemudian, menyusul terdengar pula bunyi dentangan lonceng gereja “Wangko”
GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa) Tondano tanpa putus-putusnya selama lebih
dari sepuluh menit. Gemanya terdengar sampai ke Kakas, Remboken dan
sekeliling danau Tondano. Lonceng gereja Wangko Tondano itu memang menjadi
barometer bagi seluruh lonceng gereja yang ada di kampung-kampung sekitar danau
Tondano yang akan menyusul berdentang secara bersama-sama. Sementara itu,
bedug-bedug mesjid juga terdengar ditabuh berulang kali.
Para muda-mudi yang malam itu masih bergadang,
ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi, karena baru kali ini
lonceng gereja berdentang begitu lama pada malam hari tanggal 3 Januari. Sejak
dulu lonceng gereja Wangko (besar) itu lazimnya hanya didentangkan begitu lama
pada saat tengah malam tanggal 25 Desember maupun saat memasuki Tahun Baru
tanggal 1 Januari. Dentangan lonceng raksasa itu membuat penduduk terbangun,
termasuk pula para serdadu pasukan Reservekorps dan Kortverband yang tinggal di
luar tangsi Lewet. Namun, semuanya tetap belum mengetahui apa makna isyarat
bunyi terompet, dentangan lonceng gereja dan tabuhan bedug mesjid itu.
Spandri Sethaan yang tinggal di kampung Koya
segera bangkit dan membasuh dirinya sebentar. Setelah mengenakan seragam dinas
lengkap serta menyiapkan senapan karabennya, dan seusai meneguk kopi panas yang
telah disiapkan dengan tergesa-gesa oleh sang istri, ia pun bergegas mengayuh
sepedanya bersama kawan-kawannya menuju tangsi Lewet.
Sebelumnya dan pada malam itu juga, TPC mayor
Schilmöller telah mengirim berita kilat yang ditujukan kepada seluruh jajaran
pasukan pertahanan di wilayah residensi Manado, tentang “Jatuhnya kota Metro
Manila ke dalam tangan pasukan penyerbu bala tentara Jepang”. Oleh karenanya,
perlu kewaspadaan dan keamanan lebih ditingkatkan bagi seluruh lapisan
masyarakat, terutama bagi pasukan pertahanan. Tentara diperintahkan untuk
dikonsinyir pada posnya masing-masing, yang berlaku mulai hari itu tanggal 3
Januari 1942. Itulah arti isyarat bunyi terompet, dentangan lonceng gereja dan
tabuhan bedug mesjid tersebut.
Selain itu, isyarat tersebut merupakan tanda
penghormatan serta rasa kesetiakawanan bagi pihak pasukan pertahanan Jenderal
MacArthur di kota Manila. Dan, bagi kota Manado dan daerah Minahasa sebagai
tetangga terdekat negara Filipina dengan ibukotanya Manila itu, kemungkinan
besar tinggal soal waktu saja akan menghadapi serbuan Tentara Jepang dalam
kampanye aksi agresi ekspansionisnya.
Disadur dari bahan tulisan alm. Jimmy A.
LegohDisunting oleh mantan Pilot Tempur TNI AU, Bpk. Johanes Mundung
Pangkalan Udara Amfibi Tasuka Diserang
Mendengar berita-berita perkembangan dunia yang
menjurus ke batas-batas jurang kehancuran, pintu hati masyarakat residensi
Manado mulai semakin terbuka. Kalau pada mulanya, sumbu peperangan masih
bersumber di benua Eropa yang letak geografisnya begitu jauh, kini sumbu peperangan
itu telah dinyalakan pada tanggal 7 Desember 1941 di Pearl Harbor, Hawaii,
dalam wilayah kawasan Pasifik, lalu menusuk ke wilayah Timur Jauh dan Asia
Tenggara. Letaknya sudah tidak jauh lagi dari kota “nyiur melambai”, Manado.
Namun, hati kecil rakyat tetap membenteng dengan
teguh, mengharapkan agar malapetaka seperti itu tidak akan mereka alami di
negeri tercinta ini. Akan tetapi rasio dan realita tidak selalu berjalan
paralel. Serangan udara oleh pesawat-pesawat udara pemburu Angkatan Laut
Jepang, akhirnya terjadi pada tanggal 26 Desember 1941 di atas permukaan danau
Tondano. Kobaran api yang terpancar keluar dari sumbu Perang Dunia II, kini
gilirannya menggelinding di bumi Minahasa yang tercinta ini, pada hari ke dua
Hari Natal 1941 itu.
Para opsir bawahan KNIL sersan Efron Paat,
sersan Paul Pinontoan, sersan Mo’e, sersan Daniel Timbongol, kopral Herman
Lowing, dan spandri Cornelis Wahani, memimpin tiga brigade pasukan Reservekorps
yang dibebani tugas menjaga pangkalan udara amfibi Tasuka, yang terletak di
perairan bagian timur danau Tondano, Minahasa. Sejak meletusnya dan meluapnya
peperangan di benua Eropa, suhu politik dan ekonomi di kawasan Pasifik pun
semakin menghangat antara pemerintah Jepang kontra blok Barat, dalam hal ini
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Selandia Baru dan Belanda.
Pangkalan udara pesawat amfibi Tasuka telah
dilengkapi pula dengan fasilitas militer yang cukup memadai sebagaimana
seharusnya. Beberapa buah terowongan dibuat dengan rapih dan kokoh, berfungsi
sebagai tempat penyimpanan bom-bom berukuran besar, sedang dan kecil. Rumah
untuk mess dan kantin bagi para pilot dan awak pesawat udara serta pasukan
pertahanan telah dibangun di dalam komplek pangkalan udara amfibi itu.
Luitenant ter Zee (letnan laut) De Ruyter dari
Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan) selaku commandant vliegbasis
(komandan pangkalan udara) Tasuka dan Kalawiran, bertempat tinggal di kampung
Wasian, Kakas, sedangkan para perwira dan kru pesawat skuadron “Dornier”
tinggal di rumah pasanggrahan di Kakas. Di Tasuka itu berpangkalan sejumlah 6
buah pesawat udara amfibi jenis Dornier dan sebuah pesawat udara jenis Sikorsky
milik maskapai penerbangan KNILM (Koninklijke Nederlands-Indische Luchtvaart
Maatschappij). Kapitein ter Zee (kapten laut) De Bruynne menjabat selaku
komandan skuadron, dengan para perwira penerbangnya, yaitu para luitenant ter
zee Holfsz, Reyndersz, Slottje, Belloni, dan Van Steen, yang juga berstatus
sebagai luitenant vlieger (letnan penerbang).
Kubu-kubu pertahanan dibangun di puncak-puncak
rantai perbukitan di sebelah utara, timur dan selatan dari tangsi Tasuka dengan
pos-pos penjagaan yang sangat ketat. Sersan laut Henkie Ratumbanua yang
memimpin ground technical crew (teknisi darat) bertugas mengadakan pemeliharaan
bagi pesawat udara amfibi, mengisi bahan bakar untuk pesawat udara, mengatur
pemuatan bom-bom bagi pesawat yang akan melaksanakan suatu misi, dan lain-lain.
Tugas pemuatan bom-bom yang merupakan tugas rahasia itu, biasanya dilakukan
pagi-pagi di waktu subuh dengan bantuan menggunakan roda ver kuda dan
dikerjakan oleh serdadu Reservekorps. Hal ini dijalankan semenjak pasukan bala
tentara Jepang menyerbu pula Luzon, Filipina.
Sedangkan bagi kalangan masyarakat, apa pun
profesi, jabatan atau fungsinya, tanpa pandang bulu, tidak diperkenankan untuk
masuk keluar secara bebas di pangkalan udara militer itu, terkecuali dengan
seizin komandan detasemen pasukan pertahanan distrik Toulour yang bermarkas di
kota Tondano. Hubungan komunikasi ke luar lingkungan pangkalan udara Tasuka,
dilaksanakan melalui jaringan hubungan telepon biasa, sedangkan komunikasi ke
dan dari luar daerah dilaksanakan melalui setasiun radio zender (radio
pemancar) yang berfungsi sebagai radio pengirim dan penerima, yang berlokasi di
Lelema, di pinggiran kota Tondano.
Pada akhir bulan Desember 1941 letnan M. Fuchter
mengadakan pergantian personil pada pos-pos penjagaan di pangkalan udara
Tasuka. Sersan Paul Pinontoan, sersan Herling Mirah, sersan Daniel Timbongol,
spandri Cornelis Wahani, dan beberapa rekannya dipindahkan menempati pos pertahanan
pantai Tanawangko. Sersan Efron Paat, kopral Herman Lowing dan rekan-rekannya
ditempatkan pada pos pertahanan pelabuhan pantai Labuan Kora-Kora untuk
memperkuat brigade pasukan sersan Roland Lompoliuw, kopral Monde, kopral
Muntuan, dan kawan-kawan mereka, dengan persenjataan yang berupa senapan
karaben, KM dan watermantel. Sedangkan Sersan Manueke, sersan Solang, sersan
Inarai, kopral Wonua, dan kopral Abner Sangkaeng, menempati pos pertahanan
pangkalan udara amfibi Tasuka.
Masa “Tijdens Voor De Oorlog” Telah Berlalu
Halaman sekeliling gereja kampung Talikuran,
Kakas, pada hari Jum’at pagi itu telah dipenuhi anak-anak yang sedang
bermain-main dengan riangnya, sambil menunggu dimulainya acara ibadah.
Sedangkan di luar lingkungan gereja itu, di pekarangan-pekarangan rumah
penduduk, rakyat baru saja selesai menghangatkan berbagai makanan yang dimasak
dalam bambu-bambu, sebagaimana kebiasaan di daerah Minahasa.
Masakan khas Manado itu rata-rata berupa sayuran
dan daging dari hewan babi, seperti sayur pangi, sayur saut, daging tinoransak
dan posana, serta tentunya tidak ketinggalan nasijaha (sejenis lemang).Pendeta
Wim Wagey bersama koster (penjaga gereja) sedang sibuk mengatur
persiapan-persiapan pelaksanaan acara kebaktian. Pagi itu akan diadakan acara khusus
permandian (baptisan) bagi 50 orang anak dan satu orang dewasa. Selain itu
pula, Ir. Soedarjono, kepala pengawas perlistrikan onderdistrik Kakas, yang
sebentar lagi akan menikah dengan seorang gadis asal kampung itu, Tine Sumayku,
akan diumumkan kepada sidang jema’at yang hadir mengenai rencana peneguhan
nikah kedua insan itu.
Suasana Natal yang penuh kegembiraan di hari ke
dua tanggal 26 Desember 1941 itu masih menyelubungi kampung yang terletak di
jantung daratan Minahasa itu. Langit tampak cerah di angkasa di atas kampung
Talikuran, Kakas, ketika itu. Lagu-lagu Natal yang sedang dinyanyikan terdengar
timbul tenggelam dalam keriuhan permainan anak-anak di pekarangan gereja itu.
Tetapi suasana riang gembira itu tiba-tiba lenyap.
Sekonyong-konyong terdengar bunyi raungan keras
di udara dan dalam seketika langit cerah di atas kampung itu seolah-olah telah
dipenuhi “burung-burung besi”. Semua mata yang curiga langsung menatap ke atas.
“Burung-burung besi” itu ternyata adalah 6 buah pesawat udara tempur Angkatan
Laut Jepang yang terkenal, yaitu pesawat pemburu “Zero”.
Suasana di gereja itu pun menjadi kacau balau,
dan semakin menambah kepanikan ketika pesawat-pesawat udara itu mulai
memuntahkan peluru-pelurunya. Rupanya yang menjadi sasaran gempuran oleh
pesawat-pesawat udara Jepang itu adalah pangkalan udara Tasuka di tepi danau Tondano,
yang letaknya tidak seberapa jauh dari Kakas. Tasuka memang telah lama menjadi
pangkalan udara amfibi Angkatan Laut Kerajaan Belanda, berbeda dengan pangkalan
udara Kalawiran yang di kala itu masih dalam tahap pembangunannya.
Sebuah pesawat udara amfibi jenis Sikorsky milik
KNILM yang sedang mengisi bahan bakar, langsung habis terbakar dan tenggelam
akibat ledakan bom yang dijatuhkan oleh pesawat-pesawat udara Zero Jepang itu.
Beberapa pesawat amfibi jenis Dornier milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda, yang
sedang menunggu giliran untuk mengisi bahan bakar sehabis melakukan aksi
ofensif ke wilayah Filipina, juga dihujani bom.
Pihak pasukan pertahanan yang terdiri dari
sersan Paul Pinontoan (adik kandung kopral Wolter Martinus Pinontoan), sersan
Herling Mirah, sersan Mo’e, dan rekan-rekan lainnya, pada saat itu sedang
berusaha memberikan perlawanan terhadap keenam buah pesawat udara Zero yang
tidak diundang itu, dengan senjata otomatis kaliber 12,7 mm, namun mereka
sia-sia saja menangkal serangan yang mendadak itu.
Akhirnya, lima buah pesawat udara Dornier
diketahui karam ditelan danau Tondano. Kelima buah pesawat udara Dornier dari
Koninklijke Marine itu baru saja kembali dari melaksanakan tugas pengeboman
terhadap satuan Angkatan Perang Jepang di Davao dan Palao, dalam rangka turut
membantu pasukan pertahanan Amerika Serikat sebagai sekutu mereka. Pesawat
udara Dornier satu-satunya yang luput dari serangan pendadakan itu, adalah
pesawat udara yang terlambat tiba dari tugas pengintaian udara di belahan utara
Laut Sulawesi. Bootschutter (juru tembak udara) sersan Robert Siezen, gugur
bersama keenam bangkai pesawat udara yang pernah menjadi andalannya itu.
Acara kebaktian menjadi kacau akibat dentuman
bom dan desingan peluru. Ibu-ibu berteriak histeris mencari anak-anak mereka
yang kalang kabut dan berhamburan tunggang langgang. Namun, mereka semua masih
bernasib baik. Keenam buah pesawat udara Zero itu memang tidak mengarahkan
moncong senapan mesinnya ke arah kampung Talikuran itu. Penyerangan yang
berlangsung selama lebih kurang tiga puluh menit itu, hanya membumihanguskan
pangkalan udara Tasuka, sedangkan pangkalan udara militer Hindia-Belanda
lainnya yang belum selesai dibangun, Kalawiran, luput dari serangan. Pangkalan
udara Kalawiran sedianya dibangun sebagai pangkalan pesawat udara pembom Sekutu
untuk menangkal serangan Jepang. Pesawat-pesawat udara Zero Jepang itu begitu
selesai melaksanakan tugasnya, langsung menghilang di balik pegunungan Lembean,
sambil melakukan tari kemenangan berupa “victory roll” (gerakan berguling
sambil menanjak).
Pendeta Wim Wagey segera mengambil sepeda yang
ditinggalkan oleh pemiliknya di depan gereja. Dikayuhnya sepeda itu menuju
Tasuka, dan di sepanjang jalan ia melihat banyak orang dan gerobak yang dimuati
barang-barang, yang rupanya tengah dalam perjalanan untuk mengungsi. Pintu
gerbang masuk ke pangkalan udara Tasuka dijaga oleh sersan Daniel Timbongol
dari satuan pasukan Reservekorps. Kedatangan pendeta itu membangkitkan
semangat para serdadu pasukan pertahanan di tempat itu. Mereka pun berkumpul
dan menceritakan peristiwa yang baru dialami itu.
Namun sedang asyik demikian, deru bunyi pesawat
udara kembali memecah langit Tasuka, sehingga semua orang lari berpencaran.
Sebuah regu penolong pada saat itu sedang menuju lokasi tenggelamnya
pesawat-pesawat udara yang telah menjadi bangkai itu. Mereka tentunya bermaksud
hendak memberikan pertolongan terhadap rekan-rekan awak pesawat udara yang
sedang terapung-apung di atas permukaan danau Tondano itu. Namun mereka
terjebak, tidak dapat bersembunyi dan hanya mematung saja di atasperahu motor
mereka, dengan kata lain, bersikap pasrah saja! Mendadak sebuah ledakan dahsyat
terdengar dan drum-drum pun terlihat beterbangan ke udara. Serangan bom dan
rentetan tembakan mitraliur pesawat-pesawat udara Jepang itu, kali ini
menghancurkan dan membakar tempat penimbunan bahan bakar pesawat udara di
Tasuka.
Jepang telah menguasai perairan Laut Filipina,
sedangkan kekuatan udara Hindia-Belanda praktis belum dapat unjuk gigi. Pihak
Tentara Sekutu pun kewalahan dan tidak mampu membendung arus penyerangan pihak
Jepang. Kekuatan udara Sekutu itu terpaksa ditarik mundur dan diungsikan ke
wilayah Hindia-Belanda. Malang, Kendari dan Samarinda II dijadikan benteng
udara Sekutu. Munculnya pesawat-pesawat udara Jepang pagi itu di langit tanah
Minahasa dan berhasil menggempur pangkalan udara Tasuka tanpa adanya perlawanan
yang berarti, telah cukup menunjukkan, bahwa “air superiority” (keunggulan di
udara) di wilayah udara semenanjung Minahasa saat itu telah dikuasai mereka.
Iring-iringan duka yang mengantarkan jenazah
itu, berjalan dengan kepala tertunduk. Tidak ada senyuman. Hanya tembakan salvo
dari senapan karaben yang terdengar, sebelum peti jenazah diturunkan ke dalam
liang lahat. Setelah komandan skuadronnya selesai menyampaikan kata-kata
penghargaan dan ucapan terima kasih, acara pemakaman dialihkan kepada pendeta
yang akan memimpin kebaktian secara agama Kristen. Upacara pemakaman secara
militer itu ditutup dengan doa dan kata-kata sambutan. Palang salib ditancapkan
dan sebuah topi baja milik si korban diletakkan tersandar pada palang salib
itu. Terbaca kalimat yang tercantum pada sekeping papan, berbunyi: “Hier Rust
Robert Siezen, Sergeant-majoor der Koninklijke Marine, Gesneuveled op de 26ste
December 1941 te Tasuka Kakas” (Di sini beristirahat Robert Siezen, sersan
mayor Angkatan Laut Kerajaan, gugur pada tanggal 26 Desember 1941 di Tasuka
Kakas).
Masa pahit dan manis yang terbentang panjang di
balik istilah “tijdens voor de Oorlog”, kini telah dimusiumkan dalam ruang kaca
perjalanan sejarah bangsa. Sebuah langkah sejarah baru telah dimulai, bermula
dimeteraikan di ujung kelewang pasukan KNIL melawan pedang samurai Jepang.
Jepang telah siap menginvasi tanah Toar-Lumimuut tercinta.
Acara Pesta Tradisional Tetap Didahulukan
Tepat pada pukul 00.00 waktu setempat, lonceng
gereja di seluruh wilayah keresiden Manado berdentang-dentang selama kurang
lebih sepuluh menit. Suatu tanda bahwa wilayah ini telah memasuki tahun
kalender yang baru, tanggal 1 Januari 1942. Masyarakat setempat penuh diliputi
kegembiraan, walaupun sesungguhnya mereka telah cukup letih, karena tenaga
mereka telah terkuras di hari-hari menjelang tibanya Tahun Baru yang memang
sudah dinanti-nantikan itu.
Persediaan sandang dan pangan di kala itu cukup
menggembirakan. Dari anak-anak sampai orang dewasa, rata-rata bisa memakai baju
baru di tahun yang baru. Penduduk juga tetap bisa menyediakan berbagai jenis
masakan dan kue-kue Tahun Baru di rumah mereka masing-masing. Di setiap
pekarangan rumah penduduk masih terlihat bara api memanjang sepanjang tiga
sampai empat meter, bekas membakar atau memanaskan masakan khas Manado, seperti
nasijaha, tinoransak, sayur pangi, sayur saut, posana dan lain-lain, yang
dimasak dalam bambu dengan bumbu khusus. Sepanjang deretan rumah penduduk
tercium aroma harum yang membangkitkan selera, dari kombinasi adonan kue-kue
dan masakan spesifik yang memiliki keunikan tersendiri.
Di sepanjang malam yang penuh dengan kegembiraan
itu, bunyi musik seruling bambu terdengar di tempat tertentu, yang
menyelenggarakan acara pesta malam perpisahan Tahun Lama dan penyambutan Tahun
Baru, yang biasanya dibarengi acara dansa-dansi. Acara kebaktian di
gereja-gereja dilangsungkan sejak kurang lebih satu setengah jam menjelang
pukul 24.00 dan selesai beberapa menit sebelum lonceng gereja mulai berdentang
tanda memasuki Tahun Baru. Setelah itu kembang api, bunyi petasan, long-long
dan permainan spera (meriam bambu), mulai memeriahkan angkasa dan terdengar ke
seluruh sudut-sudut kota sampai ke kampung-kampung.
Tidak seberapa lama kemudian, beberapa kelompok
pemuda yang terdiri atas belasan orang mulai berkeliling kampung. Dengan
dipimpin oleh salah seorang yang tertua, mereka mengetok pintu rumah orang
sambil bernyanyi-nyanyi, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain untuk
maksud mengucapkan “Selamat Tahun Baru”, dan “kalu ada sopi tumpa akang sadiki”
(kalau ada tuak tolong tuangkan sedikit). Si pemilik rumah telah memahami apa
maksud mereka bertamu di tengah malam yang dingin itu. Ya, selain untuk saling
berjabatan tangan sebagai tanda suka cita, juga perlu disuguhkan sesuatu. Si
tuan rumah tanpa pikir panjang langsung menyuguhkan untuk setiap tamu itu,
beraneka macam kue-kue kering dan satu grim (sloki) minuman cap tikus, atau
anggur Port.
Setelah sempat mengunjungi dua-tiga rumah,
suguhan dari tuan rumah biasanya hanya sekedar dicicipi saja. Mereka menyadari
bahwa pada setiap rumah yang akan disinggahi, akan diberi pelayanan yang sama,
sedangkan perut kian lama kian “kencang” karena terus-terusan diisi kue dan
alkohol. Namun, setiap penghuni rumah berpandangan, bahwa “rezeki hidup ini
harus dibagi-bagikan setidaknya sekali setahun.” Ada juga semacam kebiasaan,
bahwa pintu dan jendela di rumah penduduk perlu dibuka untuk menyambut udara baru
pada malam Tahun Baru.
Sebenarnya sejak petang hari menjelang malam
Tahun Baru itu, jalan-jalan raya dan jalan-jalan samping di dalam kota maupun
di kampung-kampung, sudah mulai ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan
secara berkelompok. Ada yang sedang menyanyikan lagu-lagu rohani, seperti “Opo
Wana Natas” (Allah Maha Tinggi) dan “Amang Kasuruan” (Allah Bapa), dan ada pula
yang menyanyikan lagu-lagu daerah, seperti “Minahasa di Ujung Utara Selebes”,
“O, Minahasa”, dan lain sebagainya. Rakyat sendiri terlihat berbaur dengan para
aparat pemerintah dan para anggota tentara yang berseragam, lengkap dengan
atribut serta tanda-tanda satuannya masing-masing.
Pesta Tahun Baru kali itu agak berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya. Suasana pahit manis kehidupan di tahun 1941 untuk
sementara dilupakan dalam memasuki tahun baru 1942. Terutama dengan adanya
peristiwa tragis penyerangan terhadap pangkalan udara amfibi Tasuka, dengan
jatuhnya korban manusia selain timbulnya kerugian material yang besar. Dalam
memeriahkan pesta Tahun Baru 1942 itu, kelompok massa terlihat berjalan
perlahan-lahan sambil bergandengan tangan, hampir menutupi seluruh permukaan
jalan.
Mereka bernyanyi-nyanyi secara tidak
putus-putusnya dalam barisan kelompok yang teratur. Pada barisan terdepan
terlihat orang-orang dewasa, yaitu para oom-oom dan tante-tante serta para
opa-opa dan oma-oma, dan ada di antaranya yang sedang menggandeng atau
menggendong cucunya. Di barisan yang berikut tampak para kaum muda-mudi,
anak-anak remaja dan anak-anak sekolah rakyat. Suasana semacam ini telah
menjadi semacam tradisi di perkampungan daerah pedalaman Minahasa, misalnya di
kampung Watumea serta kampung-kampung lainnya di sekitar danau Tondano.
Di sana sini, jalan raya dipadati oleh berbagai
alat transportasi utama penduduk seperti bendi (dokar) dan roda kuda, yang
penuh sesak oleh anak-anak dan pemuda-pemudi yang sedang pesiar dari satu
kampung ke kampung lainnya, sambil bermain gitar atau ukulele diiringi nyanyian
bersama. Alat musik gramofon di beberapa rumah penduduk terdengar membawakan
lagu-lagu lama dalam bahasa Belanda, seperti “Daarbij die molen”, “Als die
orchideeën bloeien”, dan “Schoon ver van jou”, ketika sedang mengiringi mereka
yang sedang berdansa di dalam rumah. Di sisi lain, terdengar pula lagu-lagu
daerah yang sedang dimainkan oleh musik bambu, kulintang, atau musik bia
(keong), antara lain lagu “Si Patokaan”, “O Ina Ni Keke”, dan “Esa Mokan”, juga
mengiringi orang berdansa, tetapi di tempat terbuka.
Sedangkan di rumah hukum tua setempat, para guru,
para pensiunan, dan para manula, menyanyikan lagu-lagu seperti “Cerewerewe
bonbon” dan “Viktoria, Viktoria” dengan tarikan suara yang terkadang tidak
teratur, bahkan asal bunyi tetapi pokoknya meriah. Selesai menyanyikan sebuah
lagu, mereka mengangkat gelas bersama sambil berteriak “pros, pros, pros” pada
saat akan meneguk minuman saguer dicampur dengan bir, cap tikus atau anggur.
Di kala itu di kampung-kampung memang belum
dikenal pemakaian alat-alat elektronik yang modern, seperti mikrofon, megaphone,
loudspeaker, amplifier, dan sebagainya, karena semuanya masih serba
alamiah. Seorang penyanyi harus memiliki suara yang nyaring, tajam, tenor
atau bariton. Ada pun pesta Tahun Baru seperti itu biasanya berlangsung sampai
pada hari Minggu terakhir bulan Januari, yang lazim disebut pesta “Kunci Tahun
Baru”. atau "Kuncikan".
Bunyi Terompet, Lonceng Gereja dan Bedug Mesjid
Tengah malam menjelang dinihari tanggal 3
Januari 1942, cahaya bintang yang jatuh ke bumi meredup seolah-olah tidak mampu
mengusir udara dingin basah hasil penguapan danau Tondano yang menyelimuti
perkampungan kota Tondano dan sekitarnya. Malam yang dingin telah membuat
penduduk tertidur pulas karena keletihan. Selama dua hari berturut-turut
berpesta ria merayakan Tahun Baru, telah cukup menguras tenaga mereka.
Sekali-sekali terdengar siulan burung manguni (burung hantu), sahabat setia
orang-orang Minahasa sejak dahulu kala.
Tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang
bersumber dari arah tangsi Lewet Tondano, menusuk kegelapan malam itu. Beberapa
menit kemudian, menyusul terdengar pula bunyi dentangan lonceng gereja “Wangko”
GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa) Tondano tanpa putus-putusnya selama lebih
dari sepuluh menit. Gemanya terdengar sampai ke Kakas, Remboken dan
sekeliling danau Tondano. Lonceng gereja Wangko Tondano itu memang menjadi
barometer bagi seluruh lonceng gereja yang ada di kampung-kampung sekitar danau
Tondano yang akan menyusul berdentang secara bersama-sama. Sementara itu,
bedug-bedug mesjid juga terdengar ditabuh berulang kali.
Para muda-mudi yang malam itu masih bergadang,
ingin mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi, karena baru kali ini
lonceng gereja berdentang begitu lama pada malam hari tanggal 3 Januari. Sejak
dulu lonceng gereja Wangko (besar) itu lazimnya hanya didentangkan begitu lama
pada saat tengah malam tanggal 25 Desember maupun saat memasuki Tahun Baru
tanggal 1 Januari. Dentangan lonceng raksasa itu membuat penduduk terbangun,
termasuk pula para serdadu pasukan Reservekorps dan Kortverband yang tinggal di
luar tangsi Lewet. Namun, semuanya tetap belum mengetahui apa makna isyarat
bunyi terompet, dentangan lonceng gereja dan tabuhan bedug mesjid itu.
Spandri Sethaan yang tinggal di kampung Koya
segera bangkit dan membasuh dirinya sebentar. Setelah mengenakan seragam dinas
lengkap serta menyiapkan senapan karabennya, dan seusai meneguk kopi panas yang
telah disiapkan dengan tergesa-gesa oleh sang istri, ia pun bergegas mengayuh
sepedanya bersama kawan-kawannya menuju tangsi Lewet.
Sebelumnya dan pada malam itu juga, TPC mayor
Schilmöller telah mengirim berita kilat yang ditujukan kepada seluruh jajaran
pasukan pertahanan di wilayah residensi Manado, tentang “Jatuhnya kota Metro
Manila ke dalam tangan pasukan penyerbu bala tentara Jepang”. Oleh karenanya,
perlu kewaspadaan dan keamanan lebih ditingkatkan bagi seluruh lapisan
masyarakat, terutama bagi pasukan pertahanan. Tentara diperintahkan untuk
dikonsinyir pada posnya masing-masing, yang berlaku mulai hari itu tanggal 3
Januari 1942. Itulah arti isyarat bunyi terompet, dentangan lonceng gereja dan
tabuhan bedug mesjid tersebut.
Selain itu, isyarat tersebut merupakan tanda
penghormatan serta rasa kesetiakawanan bagi pihak pasukan pertahanan Jenderal
MacArthur di kota Manila. Dan, bagi kota Manado dan daerah Minahasa sebagai
tetangga terdekat negara Filipina dengan ibukotanya Manila itu, kemungkinan
besar tinggal soal waktu saja akan menghadapi serbuan Tentara Jepang dalam
kampanye aksi agresi ekspansionisnya.
Disadur dari bahan tulisan alm. Jimmy A.
LegohDisunting oleh mantan Pilot Tempur TNI AU, Bpk. Johanes Mundung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar