Akhirnya pasukan korps marinir Jepang yang ribuan jumlahnya
itu berhasil juga menyingkirkan batang-batang pohon besar maupun kecil yang
dijadikan barikade jalan oleh pasukan lini pertahanan Km-17/Km-18 Tinoor. Selanjutnya
mereka pun bergerak maju terus untuk mencapai tujuannya, merebut kota Tomohon.
Pada petang hari tanggal 11 Januari 1942 itu, pasukan penyerbu Jepang itu
langsung melangkah maju dengan kekuatan penuh. Sambil membereskan
serdadu-serdadu mereka yang tewas maupun yang luka berat dan ringan, pasukan
Jepang itu secara perlahan-lahan serta penuh kewaspadaan mulai mendekati
kampung Kinilow.
Sementara itu, pasukan pertahanan KNIL yang berada di
Kinilow itu telah menempati kubu-kubu pertahanan di sisi sayap kiri maupun
sayap kanan jalan raya, menantikan lawannya tiba. Di lokasi ini, kekuatan
personil pasukan pertahanan berkekuatan tiga brigade. Mereka telah bertekad
bulat, bahwa kota sejuk Tomohon tidak bakal dihadiahkan secara cuma-cuma kepada
pihak pasukan penyerbu Jepang. Penduduk kampung Kinilow maupun kampung Kakaskasen
sejak waktu subuh pada hari sebelumnya telah meninggalkan kampung-kampungnya
itu dan mengungsi ke ladang-ladang perkebunan, mengingat pertempuran
sewaktu-waktu bisa terjadi di dalam lingkungan kampung-kampung itu. Demikian
perintah dari pihak militer ketika itu.
Menurut perhitungan, bila di pintu gerbang masuk sebelah
utara kampung Kinilow terbuka front pertempuran yang sengit, maka bisa terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menimpa penduduknya yang tidak berdaya.
Pihak Jepang mungkin saja menjadi mata gelap, bilamana di pihak mereka kemudian
jatuh banyak korban lagi di dalam pertempuran itu. Satuan pertahanan di Kinilow
yang merupakan gabungan dari satuan pasukan Reservekorps dan Beroepsmilitair itu,
berada di bawah komando ajudan K.T. Sembel.
Sekitar pukul 16.00 petang itu di balik bukit-bukit di
sebelah utara kampung Kinilow, terdengar deru mesin-mesin perang Jepang yang
merupakan pertanda, bahwa pasukan marinir Jepang saat itu telah berada di
ambang garis pertahanan pasukan KNIL. Pada waktu yang bersamaan terlihat awan
hitam kelabu cumulonimbus yang cukup tebal telah menyelimuti puncak
gunung Lokon dan puncak gunung Mahawu. Guntur dan petir terdengar
sambung-menyambung membelah angkasa. Tidak lama kemudian hujan rintik-rintik
pun mulai turun, membasahi petak-petak lahan persawahan di sebelah kiri dan
kanan jalan raya strategis, yang terletak di kaki rantai perbukitan tempat
ketiga brigade pasukan pertahanan mengambil stelling.
Tank-tank Jepang mulai menampakkan diri pada tikungan yang
pertama dan gerak maju mereka seterusnya akan melurus sepanjang lebih kurang
350 meter sampai di tempat permukiman penduduk. Pasukan marinir yang jumlah
sangat banyak berjalan di belakang tank-tank dan kendaraan bren-carrierberlapis
baja andalan mereka. Jembatan pertama yang harus diseberangi ternyata tidak
rusak dan bisa dilewati tank-tank berkulit baja itu. Namun, jembatan ke dua
sungai Kinilow yang berjarak lebih kurang hanya 100 meter dari jembatan pertama
itu, telah hancur didinamit oleh pasukan pertahanan.
Di saat gerakan pasukan penyerbu Jepang itu terhenti, maka
di saat itu pula terdengar tembakan-tembakan gencar dari sepucuk senjata
berat watermantel, senjata-senjata semi otomatis KM, senapan-senapan
karaben dan sepucuk mortir kaliber tiga inci, dari brigade pasukan pertahanan.
Pekikan “kumukuk” terdengar ikut meriuhkan suasana, berbarengan dengan suara
ledakan granat-granat mortir yang ditembakkan dari kubu-kubu yang berada di
atas bukit. Sambil bergegas, pasukan marinir Jepang segera mencari posisi untuk
berlindung di sungai yang lebarnya tujuh meter serta di tanggul-tanggul pada
sisi jalan raya.
Sementara itu, lebih dari sepuluh buah kendaraan berlapis
baja yang terdiri dari tank-tank dan bren-carrier yang ketika itu
sedang terhalang jalannya karena jembatan rusak, mulai menggasak tidak
henti-hentinya dengan senjata berat 12,7 mm dan watermantel terhadap
kubu-kubu pasukan pertahanan di bukit sebelah barat dan timur jalan raya. Telah
cukup banyak korban yang jatuh di pihak pasukan marinir Jepang yang ketika itu
berada di medan terbuka, namun dewi Fortuna rupanya berada di pihak mereka dan
tidak membiarkan bertambahnya korban lagi.
Sekonyong-konyong turunlah hujan lebat disusul turunnya kabut
tebal menutupi lokasi pertempuran itu, yang tentunya sangat mengganggu
pandangan mata pihak pasukan pertahanan dari kubu-kubu pertahanan mereka.
Pasukan Jepang benar-benar memanfaatkan bantuan alam itu, lalu serangan balasan
mulai dilancarkan. Pasukan marinir Jepang itu bergerak maju sambil melebar
secara bersaf, lalu membentuk formasi taktis setengah lingkaran untuk menjepit
dan menerobos kubu-kubu pasukan pertahanan, sambil mereka memekikkan “Banzai!
Banzai!” untuk menambah semangat.
Jepang akhirnya berhasil juga mendobrak pertahanan yang
kokoh dari pasukan pertahanan KNIL. Memang telah cukup dikenal dari dulu hingga
kini, bahwa cuaca alam Kinilow dengan lembahnya itu bisa secara mendadak
berubah ditutupi oleh kabut tebal dan hari pun akan terasa cepat menjadi gelap.
Keadaan cuaca yang demikian dan kebetulan terjadi pula pada saat-saat yang
genting itu, telah mendorong pihak pasukan pertahanan untuk secara lebih awal
meninggalkan kubu-kubu pertahanan mereka. Pasukan pertahanan pada bagian barat
akhirnya mundur ke arah gunung Mahawu, sedangkan yang tadinya bertahan di
bagian timur jalan raya, bergerak mundur ke arah gunung Lokon.
Pasukan korps marinir Tentara Jepang memforsir kekuatan
lapis baja mereka untuk terus bergerak maju tanpa menghiraukan lagi
korban-korban yang jatuh sebelumnya di lembah Kinilow dan di kawasan
Km-17/Km-18 Tinoor. Namun, setibanya di kampung Kakaskasen, situasinya menjadi
lain. Kampung itu terletak bersambungan langsung dengan kampung Kinilow. Di
Kakaskasen, pasukan Jepang terpaksa harus menghadapi lagi hambatan yang tetap
merepotkan mereka, sehingga cukup memusingkan kepala para komandan pasukan
tempur mereka.
Di sepanjang jalan raya yang datar di ujung utara kota
Tomohon itu, nampak telah terbentang melintang beberapa batang pohon besar yang
memang sengaja ditumbangkan oleh satuanVernielingskorps sebagai barikade
untuk menghalangi gerakan ofensif pasukan penyerbu Jepang. Kekuatan pasukan
pertahanan di lokasi ini terdiri dari lima brigade plus pasukan gabungan,
dipimpin oleh sersan mayor Lucas Timbuleng didampingi rekan-rekannya,
seperti sersan mayor Rory Ngantung dan sersan Indong Mangundap serta
rekan-rekannya ex-pertempuran Km-17/Km-18 Tinoor. Mereka langsung beraksi
dengan melancarkan tembakan-tembakan dari sepucuk senjata berat Vickers watermantel,
tujuh pucuk senjata KM dan sepucuk senjata mortir kaliber tiga inci, sedangkan
lainnya berupa senapan-senapan karaben.
Pasukan marinir Jepang dengan gelora semangat yang tinggi,
tetap bergerak maju sambil mengerahkan pasukan kampak dan gergaji mereka dari
zeni tempur untuk memenggal batang-batang pohon yang merupakan barikade itu.
Mereka nampaknya bergerak penuh kegirangan karena merasa telah menginjakkan
kaki di bumi kota Tomohon, sekalipun terus dihantam oleh peluru-peluru pasukan
pertahanan sersan mayor Timbuleng. Dua atau tiga orang opsir Jepang yang
perkasa dan sedang memimpin satuan pasukan marinir Jepang itu, sambil berteriak-teriak
histeris “Banzai! Banzai!”, telah terkena berondongan peluru senjata
berat watermantel dan karaben mitraliur dari arah sawah di sisi kiri
kanan jalan raya Kakaskasen. Salah seorang opsir dan seorang serdadu marinir
Jepang tewas di lokasi sekitar empat puluh meter dari jembatan Kakaskasen.
Namun demikian, pasukan Jepang tetap tidak goyah menghadapi
serangan lawan mereka itu. Dengan segera mereka mengatur taktik yang
disesuaikan dengan keadaan medan laga yang datar itu, yang tanpa bukit-bukit
seperti halnya di medan pertempuran Tinoor dan Kinilow. Pihak pasukan penyerbu
menyadari, bahwa pasukan pertahanan KNIL itu hanya berkekuatan kecil dan hanya
memiliki sepucuk senjata berat watermantel. Pihak pimpinan pasukan Jepang
itu bahkan mungkin hanya mengklasikasikan serangan dari pasukan pertahanan itu
sebagai serangan “penghadangan”, karena tanpa didukung oleh fasilitas veldbak yang
permanen dan biasanya sangat berbahaya itu.
Pasukan marinir Jepang mulai bergerak menyebar maju ke sisi
kiri-kanan jalan raya sampai sejauh 100 meter lebih dari sumbu jalan, dengan
dukungan tembakan perlindungan dari senjata berat kaliber 12,7 mm dan watermantel dari
satuan eskadron tank dan bren-carrier mereka. Adapun sasaran utamanya
adalah untuk membungkam senjata berat pihak lawan mereka. Juga tidak luput
adalah para anggota pasukan pertahanan yang berlindung di balik tanggul-tanggul
lahan persawahan; mereka itu disiram oleh peluru-peluru senjata berat dari
tank-tank dan bren-carrier.
Menjelang malam hari itu, medan pertempuran pun menjadi
semakin ramai. Pekikan-pekikan untuk menambah semangat perang di antara kedua
belah pihak pasukan yang berhadapan itu, saling bertabrakan di angkasa medan
laga. Jumlah korban yang tewas dan luka-luka baik di pihak pasukan penyerbu
maupun pasukan yang bertahan, tidak lagi merupakan suatu ukuran yang akan ikut
menentukan kemenangan atau kekalahan dalam pertempuran yang menentukan nasib
kota sejuk Tomohon. Sekalipun menguasai medan setempat, namun karena sersan
mayor Timbuleng telah mengalami cedera dalam baku tembak itu,
akhirnya ia bersama seluruh pasukan yang dipimpinnya angkat kaki juga dan
mengundurkan diri ke arah gunung Lokon dan gunung Mahawu. Mereka merasa tidak
mampu lagi membendung kekuatan pihak musuh mereka yang jauh “overmacht” alias
jauh lebih besar dan lebih kuat.
Sebaliknya pasukan kapten Abbink yang ketika itu
berada pada Lini Pertahanan V kota Tomohon, hanya berjarak sekitar dua
kilometer lagi dari arena pertempuran di Kakaskasen itu. Pada waktu itu, satuan
pasukan Kompi III Kortverband pimpinan kapten Abbink itu
tidak dapat memberikan bantuan sama sekali terhadap pasukan sersan mayor Timbuleng.
Hal itu disebabkan adanya pertimbangan-pertimbangan mereka yang berikut:
1) Penyerangan yang bertubi-tubi dengan senjata berat oleh
eskadron tank dan bren-carrier serta gempuran mortir dari pihak
pasukan penyerbu Jepang sulit terbendung.
2) Pemberian dukungan dengan senjata berat dari pasukan pada
Lini Pertahanan V terhadap Lini Pertahanan IV (pasukan Timbuleng) sangat
riskan, mengingat posisi pasukan Timbuleng yang di saat-saat sedang
bertarung melawan musuh, tidak menentu kedudukannya.
3) Tidak adanya fasilitas alat komunikasi seperti walkie-talkie,
sehingga sulit untuk dapat mengetahui posisi kawan dan lawan yang sebenarnya.
Akhirnya, dengan berat hati TPC mayor Schilmöller terpaksa
memerintahkan kepada kapten Abbinkbersama pasukannya, agar melepaskan kota
Tomohon. Perintah itu disampaikan pada detik-detik ketika TPC akan meninggalkan
kota Tomohon untuk bertolak menuju Minahasa Selatan. Sementara itu, pasukan
pertahanan yang telah terpecah-belah sempat mengadakan konsolidasi di kampung
Rurukan, untuk kemudian seluruh pasukan segera berpencar dan memasuki tahap
baru, “Perang Gerilya!” Sersan mayor Lucas Timbuleng dan pasukannya
mundur ke daerah perkebunan milik keluargaSimon Goni, yaitu di tempat bernama
Susuripen yang terletak di kaki gunung Mahawu, di mana terdapat banyak gua
kelelawar. Sersan mayor Rory Ngantung dan sersan Indong
Mangundapbersama rekan-rekan mereka lainnya, juga berada di lokasi yang sama
dan siap terjun dalam “perang gerilya”.
Ribuan pasukan korps marinir Jepang didampingi puluhan
kendaraan truk dengan muatan perlengkapan perang serta eskadron tank dan bren-carrier,
tiba di pusat kota Tomohon pada malam hari sekitar pukul 20.00 waktu setempat
tanggal 11 Januari 1942. Keadaan kota sunyi sepi. Sebagian besar penduduknya
masih berada di tempat pengungsian mereka.
Pada esok harinya, sebagian besar serdadu Jepang dengan
formasi tank dan bren-carrier serta konvoi truk yang padat dengan
pasukan dan perlengkapan perang, mulai bergerak pelan-pelan sambil menyesuaikan
diri dengan derap langkah pasukan yang sedang berbaris di jalan raya menuju
kota Tondano. Jaraknya hanya sebelas kilometer dari kota Tomohon. Mereka tidak
memperoleh sambutan sama sekali dari para penduduk, sebaliknya juga tidak ada
lagi perlawanan dari pihak pasukan pertahanan KNIL yang di pagi hari itu telah
menahan aksi penyerbuan mereka itu. TPC mayor B.F.A. Schilmöller memang
telah menetapkan dalam strateginya, bahwa kota Tondano dinyatakan sebagai “open
stad” atau “kota terbuka”.
Walaupun demikian, pada waktu pasukan marinir Jepang
melewati kampung Koya, tepatnya di samping gedung gereja setempat, mereka
sempat membunuh seorang pemuda warga kampung itu bernamaEvert Wuwungan.
Penduduk kampung itu tewas seketika ditusuk bayonet (sangkur) pasukan marinir
Jepang, hanya karena ulahnya yang tidak mau memberi hormat dengan membungkukkan
badan sembilan puluh derajat! Suatu tindakan provokatif pihak Jepang, yang bisa
saja disengaja untuk memancing reaksi dari penduduk terhadap Tentara Jepang
sebagai penguasa baru di wilayah itu. Peristiwa itu disaksikan pula oleh lima
orang rekan korban di kampung itu, yang langsung lari tunggang langgang
menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Pukul delapan pagi tanggal 12 Januari 1942, pasukan penyerbu
korps marinir Tentara Jepang dengan jayanya tiba di jantung kota Tondano.
Konsolidasi dilakukan di Walterplein (kini: Lapangan DR. Sam
Ratulangi) Tondano, dan bertepatan pula dengan tibanya pasukan korps marinir
dari front Timur Minahasa (Tonsea). Waktu mencatat, bahwa sejak pendaratan di
pantai Bahu-Sario kota Manado (front Barat Minahasa) pada tanggal 11 Januari
sekitar pukul 01.00 dini hari hingga saat mencapai kota Tondano pada tanggal 12
Januari pukul 08.00, rute perjalanan yang ditempuh adalah sejauh 32 Km. Jika
jarak 32 Km (32.000 m) itu dibagi dengan lamanya waktu perjalanan (31 jam),
hasilnya adalah jarak rata-rata yang direbut oleh pasukan Jepang front Barat
dalam satu jam, sejauh 1.042 meter.
Pada front Timur dengan pendaratan di pantai Kema pada
tanggal 11 Januari sekitar pukul 05.00 hingga saat mereka mencapai kota Tondano
pada tanggal 12 Januari pukul 08.00, rute perjalanan yang ditempuh adalah
sejauh 42 Km. Jika jarak 42 Km (42.000 m) itu dibagi dengan lamanya waktu
perjalanan (27 jam), hasilnya adalah jarak rata-rata yang direbut oleh pasukan
Jepang front Timur dalam satu jam, sejauh 1.555 meter.
Kesimpulannya, meskipun pasukan dari front Barat (Manado)
harus menempuh jarak yang relatif lebih dekat dibandingkan dengan pasukan dari
front Timur (Tonsea) untuk mencapai kota Tondano, namun mereka sangat lambat
majunya dikarenakan hambatan medan topografinya, terlebih pula harus menghadapi
ketangguhan pertahanan pasukan KNIL di sepanjang rute, seperti di lokasi
Km-17/Km-18 Tinoor. Patut pula dicatat, bagaimana cermatnya pihak pucuk
pimpinan komando tempur pasukan korps marinir Tentara Jepang memperhitungkan timing-nya,
sehingga baik pasukan pendarat dari front Barat Minahasa (Manado) maupun
pasukan pendarat dari front Timur Minahasa (Kema), dapat tiba secara bersamaan
di jantung kota Tondano pada tanggal 12 Januari sekitar pukul 08.00 pagi.
Menjelang tengah hari, enam buah tank dan tiga buah bren-carrier berlapis
baja serta puluhan truk yang penuh berisi pasukan marinir Jepang, bergerak
dalam konvoi menuju arah selatan melewati kampung-kampung Touliang Oki,
Ranomerut, Tandengan, Eris, Watumea, Telap, Toulimembet, Tasuka, Kaweng, Kakas,
Wasian, dan akhirnya tiba di pangkalan udara Kalawiran untuk selanjutnya menuju
markas komando pasukan payung Angkatan Laut Jepang di kota Langowan.
Pasukan payung pada front Selatan Minahasa yang diterjunkan
di pangkalan udara Kalawiran itu, nampaknya mengalami kesulitan menghadapi
perlawanan sengit dari pihak pasukan pertahanan KNIL di kawasan itu. Mereka
justru membutuhkan bantuan perkuatan, karena dari 519 anggota pasukan payung
yang diterjunkan itu, korban yang tewas relatif sangat besar, yaitu lebih dari
130 orang. Oleh karenanya, mereka tidak mungkin dapat segera meninggalkan
kawasan pangkalan udara militer Kalawiran untuk langsung bergerak maju lebih
lanjut.
Sebenarnya sesuai strategi yang digariskan oleh pihak pimpinan
komando tempur bala tentara Jepang, kota Tondano yang merupakan “jantung”
Minahasa harus direbut dari tiga arah (merupakan segitiga), yaitu dari front
Barat (Manado), front Timur (Kema) dan front Selatan (Kalawiran) itu. Dengan
kata lain, pasukan dari front Selatan Minahasa itu diharapkan akan dapat ikut
juga bergerak menuju kota Tondano, setelah berhasil merebut pangkalan udara
Kalawiran dan kota-kota sekitarnya.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legohdan
disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNi AU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar