Rombongan Batalyon Inheemsche Militie Manado tiba
di pelabuhan Poso di malam hari pada sekitar tanggal 25 Februari 1942. Komandan
batalyon kapten J.H.L.A.C. De Swert dan wakilnya letnan IW.H.J.E. Van
Daalen bersama pasukannya disambut di pelabuhan oleh TPC mayor B.F.A.
Schilmöller, residen F.C.H. Hirschmann, yang menggantikan residen Van
Rijn, asisten residenL.C.J. Rijsdijk yang menggantikan asisten
residen Jan Jurian Mendelaar, kontrolir H.J. Van Schravendijk, bestuursassistent Wim
S. Warouw, dokter A.G.J. Kandouw, kommies Katili, jaksaTheodorus
Polii, jaksa Barends Pontoh, kepala kantor pos Umboh, school
opziener (penilik sekolah) Marthin Supit, Tuan Raja Talasa,
serta para pemuka masyarakat lainnya.
Pasukan pertahanan tersebut langsung masuk tangsi militer yang masih dalam keadaan utuh, karena tidak sempat terkena gempuran bom-bom pesawat pembom-tukik Jepang. Tangsi itu juga kosong karena pasukan Beroepsmilitair yang sebelumnya bertugas di kota Poso, telah dialihtugaskan ke kota Palu, sedangkan sebagiannya lagi telah bergabung kembali dengan induk pasukan yang bermarkas di kota Kolonodale di bawah pimpinan komandan detasemen pertahanan letnan I J.A. De Jong.
Badai angin utara penyebar iklim peperangan dengan jatuhnya
kota Manado dan kota-kota di daerah Minahasa, telah menghembus dan terukir pada
roman muka para serdadu yang kini berstatus “serdadu profesional” dan bukan
sekedar serdadu milisi belaka. Kepedihan juga terbayang mengenangkan nasib para
aparat pemerintah dan kehidupan masyarakat umum di sana yang kini hidup di
bawah telapak penguasa aru, Tentara Jepang. Seribu satu kenangan indah kini
dibayangi oleh bayangan-bayangan hitam dari pasukan penyerbu dari negara Sakura
itu. Namun bayangan hitam itu sama sekali tidak tampak efek destruktifnya di
dalam suasana pertemuan pada saat kedatangan rombongan pasukan Batalyon Inheemsche
Militie Manado itu di kota Poso. Memang serdadu-serdadu muda belia itu
telah bertekad untuk memberikan kontribusi, ikut berperan dan memetik
pengalaman dalam Perang Dunia II itu.
Bukankah para serdadu dari ujung utara Sulawesi itu telah
terseleksi secara alamiah dan telah ditakdirkan untuk berjuang di tempat yang
masih serba baru itu? Sebagian besar rekan-rekan mereka dari batalyon tersebut
memang belum ditakdirkan untuk dapat menyeberangi laut dari Liyon ke Poso.
Rekan-rekan seangkatan mereka yang tertinggal itu kini berada dalam keadaan
kocar-kacir tanpa komando, lagi pula keadaannya tidak aman karena sewaktu-waktu
situasi bisa berubah total akibat diobrak-abrik oleh gempuran meriam kapal
perang Jepang di Terminal “X” Liyon.
Banyak di antara para serdadu milisi itu terpaksa
meninggalkan daerah itu dan akhirnya melaporkan diri ke pos-pos pasukan Jepang
di Kotamobagu, Belang, Langowan dan tempat lainnya di Minahasa, setelah
bergemanya pengumuman kapitulasi berupa “Pernyataan Kalah Perang” kepada
Angkatan Perang Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, yang dinyatakan oleh Letnan
Jenderal H. Ter Poorten di kota Bandung. Tetapi ada juga sebagian
pasukan, yaitu serdadu-serdadu yang tidak berniat melaporkan diri, menghilang
dengan begitu saja tanpa diketahui rimbanya dan tahu-tahu muncul dan “bergaya”
kembali setelah Jepang kalah perang.
Sebelum pendudukan Jepang, di teritorial residensi Manado
terdapat para tahanan politik, baik yang berdiam di dalam kota maupun di luar
kota, yang diciduk oleh petugas Stad Politie dan Veld PolitieHindia-Belanda
atas perintah pemerintah di kala itu. Ventje A.B.H. Waworuntu, salah
seorang di antara para tokoh perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, ketika
itu ditangkap di Noonganonderafdeling Minahasa, di saat ia sedang
berkumpul bersama istrinya, Nicolina Juliana Pandeiroot dan keempat
orang anaknya Jolly, Johnny, Winny dan Julie.
Politikus yang lahir pada tanggal 4 November 1891 itu
bertugas sebagai komandan Vernielingskorpssesuai ketentuan burgelijke
dienstplicht (dinas wajib sipil) dan masih menjabat sebagai unsur pimpinan
pada lembaga Minahasa Raad, yang dipilih melalui pemilihan umum oleh
rakyat daerah Minahasa. Dalam eselon pemerintahan kota, Ventje Waworuntu pernah
menjabat sebagai Directeur Gemeente Werken (direktur tatakota) Manado
dan pernah pula menjabat sebagai Locoburgemeester (pejabat pengganti
walikota) di masa jabatan walikota dipegang oleh Van De Wetering sebelum
pecah Perang Dunia II.
Peluru dan senapan Lamber milik pribadi disita berikut
dokumen-dokumen penting dan rahasia, yang menyangkut kegiatan politik para
tokoh pejuang nasional yang berada di Batavia, yaitu
DR.G.S.S.J. Ratulangie, Zus Kandouw, Abe A.B.H.
Waworuntu (adik kandung Ventje A.B.H. Waworuntu), Husni Thamrin,
dengan para tokoh politik dalam wilayah residensi Manado, yang membentuk
poros Batavia-Manado. Dokter Tilaar, teman seperjuangannya, datang
menjenguk Ny.Juliana Waworuntu-Pandeiroot di rumahnya untuk memberi
dukungan moril yang sangat diperlukan, berkaitan dengan perkembangan situasi
yang tidak menentu dan kurang menguntungkan di kala itu.
Abe A.B.H. Waworuntu selaku sekertaris dan redaktur
majalah mingguan “Nationale Commentaren” yang dipimpin oleh DR. G.S.S.J.
Ratulangie dan tokoh perjuangan nasional lainnya seperti Adam Malik, Husni
Thamrin dan Zus Kandouw, yang menjadi pendiri badan perjuangan
nasional GAPI(Gabungan Politik Indonesia), telah ditangkap terlebih dulu
di kota Garut, Jawa Barat oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1941.
Sedangkan tokoh-tokoh perjuangan nasional wilayah residensi Manado yang juga
diciduk oleh pemerintah Hindia-Belanda, adalah antara lain Dicky A.Th.
Gerungan dan Marinus Pandeiroot, kedua-duanya adalah pejabat hukum
kedua, O.H. Pantouw,G.E. Dauhan, R.C.L. Lasut, dan Max B. Tumbel.
Mereka berstatus tahanan politik atas tuduhan aktif
melakukan kegiatan korespondensi dengan pihak pemerintah Jepang yang dinilai
mengarah pada aktivitas “mantelspionnage” (mata-mata terselubung). Hal itu
sebenarnya merupakan tuduhan yang keliru. Para tahanan politik itu langsung
diangkut dari kota Manado ke kota Kotamobagu, onderafdeling Bolaang-Mongondow.
Interogasi politik diterapkan terhadap mereka tanpa ujung pangkal oleh para
petugas penyelidik pemerintah Hindia-Belanda.
Namun dari Kotamobagu, Dicky A.Th. Gerungan ketika
itu dipulangkan ke Manado karena kesehatannya memburuk akibat gangguan mental
yang dialaminya. Di kemudian hari, Dicky Gerungan diangkat menjadi
Hukum Besar Amurang (Maret 1942) dan sebagai Kepala Daerah Tingkat II Minahasa
menjelang pengakuan kedaulatan (20 Maret 1948 – 17 Desember 1949). SedangkanVentje
A.B.H. Waworuntu akhirnya dengan selamat dapat berkumpul kembali dengan
keluarganya. Bersama-sama dengan para tokoh politikus lainnya, mereka berhasil
“luput” dari cengkeraman maut, terhindar dari aksi gempuran meriam kapal perang
Angkatan Laut Jepang di lepas pantai Liyon.
Menurut rencana ketika itu, sebenarnya para tahanan politik
itu bersama seluruh serdadu pasukan pertahanan KNIL yang terkumpul di Liyon,
akan diberangkatkan dulu ke Poso untuk selanjutnya diangkut ke benua Australia.
Di Poso akan dibentuk suatu satuan pasukan gabungan yang dinamakan “Legiun
pasukan Manado”, yang direncanakan akan diberangkatkan ke pulau Jawa bersama
mayorWalangitan untuk memperkuat benteng pertahanan pulau tersebut.
Keadaan kocar-kacir di Liyon dimanfaatkan oleh para tahanan politik untuk
meloloskan diri. Dengan sebuah perahu penduduk, mereka berhasil mendarat di
Gorontalo dan diberikan pelayanan oleh tokoh-tokoh PPPG Nani Wartabone, R.M.
Koesno Dhanupoyo dan Pendang Kalengkongan.
Namun di kota itu situasi berkembang tidak menentu, karena
masih terjadi gesekan antara pihak pro dan kontra, ditambah lagi belum ada
jaminan kepastian tanggapan positif dari pihak Tentara Jepang terhadap aksi
kudeta pada tanggal 23 Januari 1942 di Gorontalo. Oleh karena itu, para tokoh
politik dari Minahasa itu memilih untuk segera kembali ke Manado dan daerah
Minahasa. Dengan mengenakan kain sarung, para tokoh politik itu harus menempuh
dengan berjalan kaki jarak sejauh kurang lebih 500 kilometer dari kota
Gorontalo menuju Minahasa dan Manado. Mereka harus menembus hutan rimba raya,
bukit-bukit dan pegunungan, baru akhirnya berhasil tiba dengan selamat di rumah
kediaman mereka masing-masing. Itu pun setelah mereka harus dibebani secara
terpaksa mengusung rekan mereka Max B. Tumbel dan Marinus
Pandeiroot, yang terkena penyakit selama dalam perjalanan pulang itu.
Para tokoh pejuang perintis kemerdekaan itu menyusun kembali
kekuatan eselon onderbouw politik mereka, yang meliputi para pemuda
kader pejuang yang aktif berjuang melaksanakan garis politik perjuangan
nasional, yang telah dirintis oleh para tokoh politik jauh sebelum pasukan
Tentara Jepang menginjakkan kaki mereka di bumi Nusantara tercinta ini. Dicky
Gerungan yang pernah menjabat sebagai Hukum kedua onderdistrik Tatelu,
Likupang periode tahun 1936-1938, memanggil kembali rekan pemuda pejuang Arend
Ganda asal Tatelu untuk menyusun dan mengutuhkan barisan perjuangan yang
disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi selama “masa pemerintahan
Jepang”.
Pemuda Arend Ganda diserahi tugas sebagai
koordinator wilayah onderdistrik Tatelu sampai Likupang, yang meliputi kurang
lebih empat puluh dua kampung. Ia secara rutin harus melaporkan kegiatan
politik kepada pimpinan yang memberikan kepercayaan terhadap dirinya. Pemuda
kelahiran Tatelu tanggal 5 Januari 1912 yang beristrikan Emma Dotulong itu,
dipercayakan menjadi pucuk pimpinan Pasukan Pemuda Indonesia (P.P.I.) wilayah
onderdistrik Tatelu Likupang, tepatnya di masa perjuangan mempertahankan
Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan
kakak kandungnya Oscar Ganda selaku unsur pimpinan Pemuda KRIS di
kota Yogyakarta di kala itu, turut aktif berjuang sejajar dengan saudaranya.
Hal yang serupa berlaku juga bagi pemuda pejuang George
Hendrik alias “Dore” Pandeiroot asal Langowan, yang bekerja
sebagai advokat (pengacara) di kota Manado, setelah melepaskan pekerjaannya
dari perusahaan minyak BPM Balikpapan sebelum pecah Perang Dunia II. Pemuda
pejuang yang beristrikan Leentje Lintang, diasuh oleh kakak
kandungnya Marinus Pandeirootyang menjabat Hukum kedua kota Manado
serta Ventje A.B.H. Waworuntu yang merupakanbovenbouw eselon
politik di kala itu. Di masa pemerintahan Jepang, Ventje A.B.H. Waworuntu,
putra Tumpaan ini pernah diangkat menjadi “Shiyoyaku” atau pejabat wakil
walikota kotapraja Manado, sedangkan Yanai Minoru menjadi “Shicho”
atau walikota kotapraja Manado, sebelum ia kemudian ditunjuk menjadi Residen
wilayah residensi Manado.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan
disunting kembali oleh Bpk Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar